Tuesday, September 08, 2009

Pendar Rindu Rena


“Rena, tak bisakah setitik ruang hatimu kau sisakan untukku? Aku mencintaimu….”
Kadang kebimbangan hadir, menyapa lewat hendakan jendela. Mengirimkan kabar kebisuan, sehening gemerisik daun oleh hembusan angin. Aku bingung dengan realita, kenapa rasa kadangkala membuat manusia terpenjara dalam kebodohan. Aku telah mencoba lepas darinya…ingin lari sekencang mungkin atau larut bersama rinai hujan. Namun aku tak sanggup, semakin aku mencoba menghindarinya, semakin rasa itu mendera. Padahal rasa itu tak boleh kubiarkan berkecambah dalam hatiku, sebab kutahu tempatnya bukan di sana. Ada istana hati yang lain mengunggu benih itu tumbuh, berbunga dan berbuah. Aku resah! Hingga malam berjelaga, mataku enggan terpejam. Mungkin karena rindu atau mungkin juga karena aku mulai dibodohi rasa. Entahlah!!!!padahal sudah berkali-kali aku katakan persetan dengan rasa…persetan dengan Cinta, bahkan kadang aku berpikir manusia tak seharusnya mengaku mencinta karena tak ada yang mampu merealisasikannya hingga materi melebur bersama ego.
“Aku … aku… apakah aku memang bodoh?”
Tak ada jawaban, hening berbisik bersama suara winamp yang setia menemaniku.
“Ayo jawab… apakah aku memang bodoh?”
Kudengar retak dinding kamarku. Apakah suaraku terlalu keras, ataukah malam yang terlalu hening hingga bisikpun tak mampu ia sembunyikan?
“Bisakah malam ini kau beri aku jawab? Hingga tak perlu kutunggu esok yang mungkin tak menyisakan jawab.”
Kali ini desahan malam membuaiku. Tetapi aku telah kepalang tanggung, malam ini juga kepastian harus terkabar buatnya. Aku tak bisa terus-terusan begini, benar-benar tidak produktif. Jangan sampai virus pergerakan berwujud rasa sungguh telah mewabah dalam diriku. Buktinya, satu karyapun akhir-akhir ini tak mampu kutorehkan, bahkan sebait puisi hanya mampu kutuntaskan dalam pahamanku. Realitasnya nol besar.   
            “Bagaimana bisa jawab menghampirimu, sementara engkau hanya duduk terdiam tak berani bertanya apalagi menjempuat jawab!” entah darimana datangnya suara ini.
            “STOP! Siapa bilang aku hanya diam, tidakkah kau lihat lantai-lantai ini sampai bosan tergilas injakan kakiku? Tidakkah kau dengar ocehan tirai-tirai jendelaku yang kedinginan karena sedari tadi kubiarkan tertiup angin? Tidakkah… ? akh, sudahlah! Aku yakin kau tak bisa mengerti!”
            “Aku tak tahu, siapa yang tidak mengerti. Seandainya sedari tadi kau benar-benar ingin jalan keluar, niscaya akan kau dapatkan. Kau tidak perlu resah, bimbang, bingung dan mencaci maki diri sendiri. Awalnya kau sendiri yang coba bermain api, setelah terbakar mengapa kau tak mencoba memadamkannya dengan kejernihan pikiran. INGAT!!! Api tak mungkin bisa padam dengan api, kamu pasti tahu yang dapat memadamkan api adalah air. Ngerti nggak?”
            Aku tersentak, siapa gerangan yang berani menghardikku malam-malam begini! Aku mencoba tak peduli. Kurebahkan punggungku di atas sofa, kuseruput secangkir teh yang tinggal menyisakan dingin. Kutenangkan pikiran lewat lagu-lagu yang bersenandung dari speaker komputer. Benar-benar malam tak bersahabat.
Ass” aq tlah menemukn tlng rusukku! Dinda, dia ada dlm dirimu. Bagaimana mungkin kamu menghlangiku untuk menjmputnya?
Pesan singkat ini mengangetkanku!081342002xxx nomor yang selalu menerorku. Harus kujawab apa? Lelaki ini tak menyisakan sedetikpun waktu untukku berpikir. Tidakkah dia tahu, malam ini dia telah menyiksaku. Kalau mungkin boleh aku katakan malam ini dia telah membunuhku, menjadikan jasadku mumi dalam peti mati. Meski begitu, aku tak bisa membencinya. Sengaja aku tak membalas pesan itu. Toh esok semuanya akan jelas. Aku menyayanginya, tetapi sekeping tulang rusuknya yang hilang tak pernah aku sembunyikan. Aku mencintainya, tetapi tak mungkin raga dan hatiku kuserahkan untuknya. Semua sudah terlambat! Andai kata-kata ini tak menyakitinya….akh!!!!
***
            “Rena….” Lelaki itu memanggilku.
            Aku menoleh ke arahnya.
            “Lupakan apapun ucapanku yang kemarin! Aku hanya bercanda… nggak mungkinlah orang sepertiku mengungkapkan cinta. Aku seorang aktivis kiri, apa kata dunia kalau mereka tahu aku mengungkapkan cinta pada seorang gadis sepertimu?”
            Kutatap matanya, dia berusaha menunduk, pandangannya berpendar pada tumpukan tanah. Aku mencari celah kebenaran ucapannya lewat aura mukanya. Detik berikutnya, kutemukan dia berusaha membohongi kata hatinya. Ada hal lain yang terselip rapi dalam tatapannya.
            Aku tersenyum, “Baru kali ini kekalahan jelas terlihat pada dirimu!Deny, masihkah engkau Deny yang dulu kukenal? Kawan tempatku berbagi dan membincang tentang negara impian kita. Tanpa penindasan, tanpa kemiskinan apalagi busung lapar. Dimana Ahmad Dinejad dan Chaves mewujud di dalamnya.  Mengapa hari ini kau tak lebih dari seorang pecundang yang mengaku kalah sebelum menarik pedang dari sarungnya. Tidak… jangan bohongi kata hatimu!”
            “Revolusi beda dengan masalah cinta, Rena! Jangan paksa aku!”
            “Justru, revolusi tanpa cinta akan melahirkan manusia-manusia robot. Berbuat tanpa hati, berkata tanpa akal.”
            Lelaki itu terdiam.
            Sejenak ,”Rena, maafkan aku. Mungkin aku memang pecundang. Semalam aku telah menyakiti hati seorang gadis. Rara… gadis itu bernama Rara. Aku telah menganggapnya sebagai saudara. Aku berusaha menyayanginya karena aku prihatin dengan kebiasaannya mengepulkan asap rokok dengan minuman beralkohol. Kuikuti apa maunya selama ini, rasa sayangku padanya layaknya seorang kakak dengan adiknya. Tetapi ternyata semua perhatianku ditanggapi lain olehnya. Dia mengungkapkan sukanya padaku dan mengancam akan berbuat nekat jika aku tak menerimanya. Ren, apa yang harus aku lakukan. Aku sebenarnya tak mencintai dia!”
            Aku menarik nafas dalam-dalam, ternyata pendar duka itu yang membuatnya bingung. “Maafkan aku… aku tak bisa lakukan apa-apa untukmu. Sebenarnya sudah lama aku mengetahui hal itu, tapi sengaja tak kuungkapkan padamu. Aku takut kau tersinggung dan marah!”
            “Rena, aku sayang padamu….”
            “Aku juga, Den.”
            “Maukah kamu menjadi pendamping hidupku.”
            “Biarkanlah waktu yang akan menjawabnya, aku berharap kau tetap menemaninya, membimbingnya dan jemput dia kelak saat kau telah siap untuk itu, Den!”
             “Aku tak percaya pada waktu, aku tak ingin menunggu jawaban waktu!”
            Aku bingung harus menjawab apa? Lagi-lagi aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.
            “Rena, kenapa kau tak menjawabku? Bukankah kau menjanjikanku hari ini?”
            Aku menatapnya, benarkah dia mengharapkan jawaban ini? Ataukah semua hanya skenarionya untuk mengerjaiku! Dengan nada yang berat, kutarik nafas dalam-dalam lantas kulafazkan basmalah!
            “Aku tak bisa, Den………”
           

Thursday, December 07, 2006

Terbunuh Imaji (sebuah puisi)

dalam mimpi ketemukan duniaku
penuh warna dan canda
kudirikan rumah di tepi pantai
dipagari ombak beratap langit langit biru
kupanggil sahabat-sahabat jiwa
mendendangkan lagu hati
bermelodi angin sepoi
bertabuh genderang gelombang

tak ada yang mengusik mimpiku
bahkan mereka berlomba
menghiasinya dengan latar mega merah dan siulan camar
kurasakan mimpiku benar-benar nyata

jilatan air membasahi ujung jemariku
tetapi aku terus melangkah
hingga tubuhku tertelan gelombang
aku tenggelam, dadaku sesak
oksigen tak berani menyelamatkanku
aku hamper mati
tenagaku tinggal sepenggal
rumah impianku lenyap
gemuruh ombak semakin keras
langit mendung, aku kini telah mati
dalam mimpi yang kucipta sendiri

makassar, senin(27 Nov 2006)

sosok dalam imaji (sebuah puisi)


memandangmu dalam kebisuan
terkisah cerita dari redupnya tatapan
tentang satu sosok
yang pernah berteduh di sana
melakonkan teater kebengisan
merobek-robek kornea matamu
hingga tak mampu lagi menembus bias sinar

mencandaimu lewat tulisan
kudapati lelucon bidadari mungil
bergaun doraemon dengan kantung ajaibnya
darinya kau kabulkan apa saja
yang kuminta
meski kuingin terbang kelangit ketujuh

memikirkanmu dalam doa
ruang kosong akalku
tak mampu kau isi
bukan dengan sosokmu
bukan dengan senyummu
aku tak mampu memanggilmu
bersama bermain ayunan
lewat neuron-neuron otakku

aku hanya bias menatap
tapi tak kujangkau
aku hanya bias rangkai cerita
dan menghidupkanmu di sana
karena kutemukan duniamu di situ
karena engkau mungkin tak ada
dan tak bias menjelma dalam duniaku

makassar, rabu (6 Desember 2006)

Revolusi Sebutir Debu (sebuah puisi)


Beruntunglah engkau dicipta dalam gejolak
Disaat api tak hanya membara dalam sekam
Dan pecahan beling
Tak hanya menusuk satu orang
Beruntunglah engkau dapat
Merasakan indahnya sebuah fitnah
Saat kebenaran berjalan menjahui logika
Dan sugesti menjelma belati
yang siap menerjang dadamu

beruntunglah engaku masih tegar
oleh sebuah senyum
disaat orang-orang di sekelilingmu
bermain dadu dan kartu ramalan
menaruh idealisme di telapak kaki
ambisi di atas kepala
saat berontak berbalas jeruji
beruntunglah, engkau masih teriak "tidak"
di antara letupan senjata
sederetan manusia berseragam

meski revolusi sudah tak bermakna
tak lebih dari tarian anarkis
dan nyanyian antagonis
setidaknya kita pernah duduk bersama
bercerita tentang revolusi
saat pandanganmu menangkap
butir-butir debu
yang menempel pada sederetan meja
tempat pendahulu kita bercengkrama
yang konon kabarnya mencetuskan misi revolusi

beruntunglah revolusi diterjang badai
menyisakan butir-butir debu di pundakmu
setidaknya aku masih bisa
menghapusnya dengan telapak tanganku tanpa kau minta
karena aku begitu mencintaimu
sebagai pemimpin revolusiku

engkau menamainya revolusi sebutir debu
yang kau cipta dari bentukan telapak tangan
saat engaku mengetukkannya
karena resah dihantam realitas
iya... ini adalah revolusi sebutir debu
revolusi yang tak butuh rupiah
tak butuh pengakuan dan retorika
melainkan hanya ingin
kumpulan titik-titik debu menjelma sahara

makassar, selasa(5 Desember 2006)
buat : pak presiden BEM UNM...........tetap semangat!!!aku berharap engaku bisa membaca puisiku ini secepatnya. oh ya...tubuh emang bisa dipenjara kawan but pikiran TIDAK!!!!!!!!!!

Saturday, November 04, 2006

Belajar Dari Cerita Pohon (my dream)

"Hati adalah rahasia keindahan manusia karena di dalamnya ada keberkahan, ada perhiasan dan ada ketenangan bagi jiwa. keberkahan tumbuh dari akhlak yang mulia. perhiasan muncul dari pemikiran yang cantik sedang ketenangan muncul dari kepercayaan dan keyakinan. Dan tidak ada kecantikan bagi jiwa manusia, kecuali akhlak, pemikiran, dan keutamaan kepercayaan." (Musthafa Shadiq Ar-Rafi'ie)

Pohon selalu punya dua cerita
yaitu cerita daun dan cerita kulit
coba kamu perhatikan, daunan senantiasa melakonkan ritme kehidupan dimana setiap hari puluhan dari mereka akan gugur dan berganti tunas baru. Demikian halnya dengan cerita tentang kulit.

Awal kehadirannya, dia begitu halus, lunak dan segar. tetapi lama-kelamaan usia mengantarkannya pada batas, dimana dia harus berhenti berkembang dan akhirnya mengelupas dari pohonnya. Jika daun dan kulit sudah masanya pergi! Maka apalagi yang tersisa dari cerita sebuah pohon, selain asap bekas bakarannya atau kenangan akan sebuah pohon yang memberikan buah yang manis bagi para musafir. Tetapi bisa juga menyisakan kekesalan bagi pemiliknya, karena ternyata pohon tersebut menyembunyikan banyak benalu. meski sepintas, terlihat rindang dan hijau namun membinasakan pohon-pohon yang tumbuh disekitarnya. Dalam posisi yang demikian, cerita sebuah pohon akan menjadi kosong, padahal semestinya kepergiannya menyisakan romansa indah.

Lantas bagaimana dengan manusia? kayaknya cerita pohon ini dapat menjadi satu perumpamaan yang baik bagi manusia yang terlalu memuja keindahan fisiknya dan lupa pada keindahan rohaninya. padahal keindahan fisik (empiris) itu gak kekalkan? Lihat saja wajah yang dulunya halus, mulus karena setiap hari dirawat dengan berbagai produk kosmetik, toh akhirnya tidak bisa lari dari "keriput" kecuali jika pemiliknya mati muda. Artinya bagaimana pun manusia berusaha lari dari kejaran waktu, usia pasti akan membawa kita pada sebuah kenyataan dimana kita akan mendapati sosok kita "tua, reot, renta, keripu, dll". Lalu bagaimana dengan keindahan non fisik (rasional)? mampukah waktu merubahnya? Jawabanya pasti "iya"waktu juga akan mengubahnya. Tetapi tidak akan sama dengan perubahan yang di alami oleh keindahan empiris. Waktu akan mengantarkan keindahan rasional pada sebuah kematangan diri! Salah satu buktinya, "kesabaran, kelembutan, kecerdasan, dan kualitas keimanan" yang merupakan manifestasi dari keindahan rasional. menurut kamu akan terkikis seiring perjalanan waktu? nggak kan! Malah waktulah yang mebukakan ruang baginya untuk berproses dan berbenah diri menuju pribadi yang matang.

Salahkah manusia yang memiliki wujud keindahan empiris? Padahal itu juga merupakan anugerah dari Tuhan! Jawabannya pasti nggak juga kan! Tetapi meski itu juga adalah anugerah dari Tuhan, terkadang anugerah inilah yang menjauhkan manusia pada DIA sebagai sumber segala keindahan. Karena kesibukannya mengurus diri sendiri. Padahal keindahan empiris, sebenarnya adalah ujian dari-Nya sekaligus anugerah yang harus disambut dengan lafaz syukur yang terintegrasikan dalam perbuatan. Memiliki keindahan empiris bukanlah kesalahan dan alangkah baiknya jika keindahan ini dipadukan dengan keindahan rasional. Atau setidaknya kita belajar mencari jalan ke sana. Ingat ya... jika manusia mati, dia hanya akan meninggalkan "nama" serta kenangan yang menyertainya. Harum, tidaknya "nama" tiu tergantung pada perilaku si pemilik nama, semasa hidupnya!!!!

Pondok Biru, Kamis, 26 Oktober 2006 (23:55)

BERSAHABAT DENGAN CINTA (my dream)

love is short
forgetting is long
and understanding is longer still



Cinta memang sulit untuk dipahami, anehnya kenapa bisa begitu banyak yang terinspirasi dari kata CINTA tanpa mau tahu apa defenisi CINTA. namun semakin orang memenjarakan CINTA dalam sangkar defenisi, maka semakin pula bertambah kebingungannya tentang apa sebenarnya CINTA itu.

Terkadang kita merasa telah mencintai sesuatu dan berhasrat memilikinya. Padahal, lama-kelamaan waktu akhirnya menjelaskan bahwa itu sebenarnya bukan CINTA, melainkan hanyalah sebuah keserakahan nafsu manusia yang coba mengatasnamakan CINTA. Terkadang pula kita merasa sangat benci pada sesuatu itu, bahkan kita berusaha menjahuinya. Tetapi lambat laun ketika ia benar-benar pergi menjahui kita. Hadirlah rasa kehilangan, rindu dan berbagai hal yang membuat hati kita ingin sekali memanggilnya kembali, dan.... mereka menyebut itu CINTA.

Cinta itu aneh ya…..? tetapi dibalik keanehannya, terpendam berjuta keindahan bagi manusia yang benar-benar memposisikan CINTA sebagai sahabat hidupnya. Mungkin ada benarnya bahwa CINTA itu bukan untuk dimiliki. Dia hanya bertugas untuk menemani kita dan menjadikannya tempat berkeluh kesah, sebab istana yang paling CINTA sukai adalah hati. Dan inilah organ yang paling sensitif dan melankolik yang dimiliki manusia yang seringkali menantikan penyejuk yang bernama CINTA. Dan kesejukan itu tidak akan mungkin hadir jika CINTA, kita tempatkan pada kotak kaca dan berusaha kita miliki sendiri! Mengapa? Karena CINTA tak suka pada istana hati yang egois.

Coba saja engkau paksakan CINTA jadi milikmu sendiri! Pasti engkau akan merasakan sakit yang luaar biasa. Tak jarang loh! Sumpah serapah ditujukan pada CINTA, tetapi tak jarang pula banyak orang memuja CINTA, sekali lagi mengapa? Manusia marah pada CINTA karena mereka kecewa dan sakit hati sebab CINTA yang ia puja, juga ada pada manusia yang lain. Mereka enggan berbagi, padahal CINTA itu dapat hadir dan ditemukan kapan dan dimana saja. Wajarkan? Jika setiap manusia berhak bersahabat dengan CINTA, dan mereka memuja CINTA karena dengan berkenalan dengannya sebagian manusia belajar untuk hidup bersama. CINTA mengajarkan mereka makna ketulusan dan CINTA pulalah yang mengajak mereka untuk meleburkan ego individu menjadi ego semesta. Jika sudah begini CINTA akan tersenyum, karena dia berada pada istana hati manusia yang mengerti akan dirinya. Kerinduan serta kedamaian akan benar-benar terwujud karena CINTA berada diantara mereka. Sehingga prasangka, sekat-sekat hati dan kecemburuan akan terbang bersama angin keangkuhan. Cinta itu indahkan…? So… jadikanlah CINTA sebagai sahabat hatimu.

(Art 02/ pondok biru(kamis,26 okto’06 pukul 23;05))

Tuesday, October 31, 2006

Spektrum Hitam Putih (sebuah puisi)

jarak itu semakin membentang
melewati batas pandangku
warna yang dulu menghiasi jalan kita
terperangkap dalam spektrum hitam-putih
tak ada gemerlap
yang mestinya kita tatap bersama
sebab kabut hitam menyembunyikan gemintang
padahal cahanya itu selalu menyilau
kala duka, menyapa kita

sepotong bulan pun enggan tersenyum
lantaran mendung memperebutkannya
dengan langit cerah kita
padahal dulu, saat kelam
tawa kita tetap berpadu
dengan setitik cahaya
yang kita cari bersama
kelakar begitu mudah tercipta
lantaran banyaknya cerita cinta
perjalanan Karl Marx, Descartes, Lenin,
Imam Khomeni, Ali syariati, Aris toteles, Plato bahkan Tommy&Jerry

aku semakin tertatih
jika harus menepaki jalan berjarak
sebab dayaku tak mampu mengikuti
lantaran kita terlanjur
memasang pagar beton
bersemat kawat berduri
berlapis ego dan kesombongan
padahal jarak itu tak semestinya ada
karena atap kita berpintu satu
meski ada merah, orange, hijau dan biru
yang memainkan melodi di dalamnya
karena dulu kita sama berikrar
untuk berlari di atas pelangi

kini jalanku semakin berjarak
oleh spektrum hitam-putih
mengabaikan warna-warni
bias kromatografi kertas
tak ada lengkungan pelangi!
tak ada lingkaran CINTA!
pautan tangan, tinggal sekedarnya!
ciuman sayang, menjadi langkah!
ucapan salam, menyisakan ritual belaka!
bertanya kabar, apa lagi!
kita telah terjatuh
dalam kubangan HITAM-PUTIH
yang tak semestinya ada
dan saling menghukumi

pondok biru, selasa (12 September 2006)

Goresan Kecil Buat Penyairku (sebuah puisi)

karena kau inspirasiku
kulukis wajahmu dengan penaku
kucandai dirimu dalam imajiku
kusapa dikau di beranda puisiku
berharap kau hadir lewat tarian jemarimu!

karena kau yang mengajariku menghargai hidup
kuminta satu kehidupan darimu
dalam kelembutan bahasa
yang tercitra oleh karyamu
berharap desiran ombak
menghantarkan perahu untukku, menujumu!

karena kau yang pertama mengetuk qalbuku
dengan nyanyian CINTA gubahan rasa
kau lukis aku bagai pagi
tatkala angin seperti mati
kau isyaratkan keteguhan hati
berharap DIA, satukan mimpi dalam jiwa!

karena kau penggerak penaku
kupinta, tolonglah jemariku yang kini kaku
lewat sentuhan puisimu
tentang romansa hidup
berharap buah tanganmu
sekali lagi dapat kubaca
setiap gundah menghantui!

karena kau menghargai kodratku
yang sering dilecehkan oleh kaummu
dan kau tempatkan aku bak teratai putih
kusimpan namamu dalam satu ruang hatiku
berharap malam tak kelamkan kita


Pondok biru, sabtu (28 oktober 2006)pukul 23:14 WITA

buat _MH_.......tak selamanya kelam menyembunyikan bencana
karena dalam kelam begitu banyak rahasia yang harus
dipecahkan. ga usah takut...kk ga sendiri!!!!!

camar dan mega merah (sebuah puisi)

senja, kala menatap senda camar
diantara mega merah
saling berkelebat, memamerkan sayap
dalam perjalanan ke barat

layaknya sekawanan manusia
yang dikalungi kebebasan
tanpa beban, berputar menukik
hinggap sebentar, melepas lelah

diantara lengkingan adzan
dan sepoi angin senja
satu-persatu berkejaran berbagi tawa
menikmati sapuan awan putih

perlahan, mega merah mengabur
sekawanan camar pun hilang
entah kemana perginya
ataukah malam, mungkin menyembuyikannya

pomdok biru, jum'at (27 oktober 2006)

Hidup Sebatang Lilin (sebuah puisi)

dia pernah berkisah
ingin hidup layaknya sebatang lilin
lebur menerjang gelap
memberi sinar pada kedalaman pandang
sampai akupun marah padanya
dan memadamkan hasratnya
mengejar mimpi hidup sebatang lilin

dia bertanya padaku
"bukankah hidup butuh pengorbanan?
itukan yang kau ajarkan padaku?"
meski aura murka itu masih ada
dia tetap ingin menjadi sebatang lilin
yang harus memendam senyum
untuk keceriaan saudaranya
bukankah lilin juga seperti itu?
yang tak ingin terus menyala
sementara yang lain merasa terpadamkan

aku tak rela melihatnya
menjadi sebatang lilin
namun dia terus memaksaku
"engkau melarangku menjadi sebatang lilin
tetapi realitas memaksaku begitu
sebagai konsekwensi kebersamaan hidup
kadangkala ambisi pribadi harus diduakan
untuk kesatuan kita
dan persahabatan dibungkam
agar yang lain tak merasa diabaikan!"
bukankah lilin juga seperti itu?

kukatakan padanya
"justru itu yang tak kumau"
lantas dia tersenyum padaku
"aku sayang padamu
yang melarangku menjadi sebatang lilin
yang tak membiarkanku lebur dalam sunyi
apa yang harus aku lakukan?
aku terlanjur menjadi lelehan lilin
yang luruh terbakar
meski engkau ingin menolongku
semua sudah terlambat
lelehan itu akan menempel di tanganmu!"

"sudahlah sobat!"
aku tak ingin mendengar
engkau juga ikut jatuh
oleh lelehan sebatang lilin
dari saudara kecilmu yang cengeng
cukup aku yang menjadi sebatang lilin
tak usah kau peduli
atau ikut lebur bersamaku
karena sebatang lilin
sudah terbiasa hidup sendiri!

aku tak bisa mencegahnya
perlahan kulihat titik api
membakar kepalanya
terus.... terus ke bawah
hingga seluruh tubuhnya lebur
SELAMAT MENJADI SEBATANG LILIN, KAWAN!

Air Mataku Bukan Untuk Negeriku (sebuah puisi)

air mataku bukan untuk negeriku
tetapi buat bapak si pedagang kerang
yang berjalan tanpa alas kaki
membiarkan telapaknya tertikam kerikil
merelakan kulitnya tersengat mentari

aku menangis untuk telapak kasarnya
karena di sana penguasa negeriku
pameran kilatan sepatu
aku bersedih untuk pakaian usangnya
karena dalam selimut kayu berukir
tumpukan batik licin memberi makan rayap

aku berduka untuk kerut wajahnya dan bau keringatnya
karena dalam istana negeriku
aroma farmum,saling bersilang
perang merek sudah biasa
berbagai kosmetik dilelang
bau keringat jadi kasturi

air mataku bukan untuk negeriku
monster-monster berdasi telah menyihirnya
menjadi sangkar nenek sihir dan burung gagak
meski kini usianya beranjak menua
negeriku juga semakin tergadai
ia menjadi rebutan dalam bursa kuasa
menjadikan pemimpinku layaknya boneka
pajangan etalase kapitalis
berbagai musibah yang melanda
bukannya mengikutkan istiqfar
tetapi menjanjikan lahan investasi

air mataku bukan untuk negeriku
meski kutahu ia sekarang diuji
sebab air mataku telah terkuras
memandikan jenazah si miskin
yang menggadai nyawanya di ranjang putih
air mataku sudah mengering
untuk saudaraku di Papua
busung lapar di kerajaannya sendiri
yang terisolasi karena hartanya dirampas

sekarang titik-titik air mataku yang masih tersisa
sekali lagi bukan untuk negeriku!
tetapi akan kutampung
untuk memberi minum adik-adik kecilku
diperempatan jalan
yang menggantungkan hidupnya
pada tutup botol berkayu
serta kantongan plastik bekas gorengan
sebagiannya, akan kugunakan membersihkan
tubuh saudaraku yang terguyur lumpur panas
oleh mesin-mesin pemaksa alamku
melahirkan semburan uang

tak ada lagi yang tersisa
untuk aku meratapi negeriku
karena aku terlalu lama menunggu
tetapi janji tak kunjung tiba
di hari lahirmu ini
ingin rasanya menciumi telapak nakhodanya
tetapi aku kembali enggan
karena telapaknya begitu halus dan kukunya licin
sentara si bapak penjual kerang
telapaknya mengelupas, kasar!kukunya hitam
setiap hari berjalan puluhan kilo
bersama gerobak dan seember kerang
namun nuraniku berbisik
ciumlah tetapak itu dan menangislah untuknya!

pondok biru, kamis (17 Agustus 2006)

Sepotong Besi (sebuah puisi)

sudah kuperingatkan!
jangan kau seret besi itu
dia akan menggores jalanku
dan merusak pondasi istanaku

tapi,lihat!apa yang kau cipta sekarang!
semua jadi hancur berantakan
menjalin suram
tak ada rasa saling percaya

sepotong besi yang membantu kita
melukis asap pada dapur tanah
reot bersama gumpalan debu
menyelimutinya

padahal, awalnya dia kawan kita
dan dewa fortuna untukmu
sebelum engkau datang menyeretnya
dan memaksanya melukis pasir dengan karat

Pondok biru, sabtu (14 oktober 2006)

Sunday, October 08, 2006


Muliakanlah keluargamu karena mereka adalah sayap untuk menerbangkanmu, tempat asal untuk kepulanganmu, dan tanganmu untuk mencapai keinginnmu (Ali Bin Abi Thalib)

Jangan kamu sibukkan hatimu dengan kesedihan karena yang hilang darimu, sehingga kamu tidak sempat bersiap sedia untuk menerima yang datang padamu (Imam Ali)

to you


Sahabat terbaik adalah sahabat yang senantiasa menjadi sayap buat kawannya ketika ia udah tak mampu untuk terbang. Perjuangan belum usai, perjuangan tak membutuhkan tepuk tangan... perjuangan akan ternilai jika diikuti dengan rasa ikhlas demi jihad!!!

Sunday, August 13, 2006

Sekedar Melempar Tanya

pernakah kau dengar gemuruh ombak
yang datang menggulung
menerkam dan menyapu apa saja yang dilaluinya?
ia ganas, SERAKAH!!

pernakah kau lihat lahar panas meleleh
pada bibir manis julangan hijau?
dan hujan debu tiba-tiba menyiram tubuhmu?
itu mengerikan, MENAKUTKAN!!

pernah pulakah kau merasakan terhimpit belahan tanah
oleh lempeng dasar laut yang patah
dan tektonik mengetuk jalan tempatmu berpijak
serta rumah tempatmu berteduh
itu sadis, KEJAM!!

pernah pulakah kau melihat kobaran api
menjilat dan memanggang tubuh saudaramu
serta menghanguskan harta bendanya?
itu adalah penderitaan yang sangat perih!

dan sekarang jawab yang ini, tapi jangan sekali bersuara!
pernakah kau merasakan satu tragedi tentang narasi seorang sahabat
yang coba mereduksi "rasa" atas nama persaudaraan
sementara ikrar sudah terjalin
bahwa persaudaraan akan abadi
jika "suka" tak mengambil ruang di dalamnya

SSssssttt... jangan berisik
karena aku hanya sekedar bertanya
bukankah itu sebuah PENGKHIANATAN!!

Danau UH, jumat,11 agustus 2006

Indah...Cantik

rindangnya pohon
tak bisa gambarkan cerianya akar
bisa saja banyak cacing dan belatung
yang menggerogotinya

rupawannya wajah
juga bukan jaminan ketulusan hati
bisa saja rupanya cantik
tetapi hatinya busuk

terbalutnya tubuh dengan gamis atau jubah
tak bisa pastikan sucinya akhlak manusia
meski itu penegas identitas
bisa saja itu hanyalah kedok
untuk kelabuhi manusia
tapi tidak TUHAN

Danau UH, 11 Agustus 2006

KENAPA?????????????(Sebuah Puisi)

Kenapa arang itu hitam?
kenapa bukan putih,ungu,hijau ataukah biru!

kenapa bukan matahari saja yang sapa malam?
biar bulan dan bintang yang sambut pagi!

kenapa begini? kenapa begitu?
banyak hal yang mengundang tanya
namun jawab tak mampu kujemput

aku bingung, pada sebuah pertanyaan
aku takut pada semua jawaban
sebab mereka berkata
"tak semua yang kamu dengar itu benar"

Danau UH, Jumat, 11 Agustus 2006

Pipit Hitam (sebuah Puisi)

seekor pipit berpijak
pada ubin yang ditumbuhi ilalang
mengais-ngais sisa kehidupan
menelan remah-remah roti yang didapatnya

entah apa yang dia cari
sambil menelan rezkinya hari itu
dia terus menoleh dan melompat
berbisik riang pada batu dan rerumputan
seakan ingin berbagi cerita
hari ini dia bisa makan!!

kini dengar kicauannya
sedikit remah roti membuatnya riang
entah esok masihkah ada
atau ini yang terakhir kalinya

Danau UH, Jumat, 11 Agustus 2006

Narasi Gundah Seorang Kawan

jika yang terbaik
adalah tidak mengenalnya
mungkin itulah yang kulakukan!!!

jika menyayanginya
adalah sebuah kesalahan
kutakkan pernah izinkan hatiku untuk itu!!!

jika mempercayainya
adalah sebuah kebodohan
ku tak ingin lagi meletakkan tanganku dipundaknya
dan berjalan bergandengan

meski kuingin kasihnya
terus bersamaku!!!tapi itu mustahil
karena kutahu itu melenakannya

aku hanya mampu berjalan
untuk menghindar darinya
karena kutak ingin menyaksikan
cerita lain hadir dipancaran wajahnya!!!

pondok biru,sabtu,13 agustus 2006

Friday, July 28, 2006

Aku dan Kenangan

aku berpijak pada tempat mimpi kutabur
dan amanah terbahasakan
tempat berpuluh sosok berusaha menjadi
dan tempatku belajar tentang makna sebuah perjuangan

gedung tua ini terlalu banyak melukis kenangan
dimana kita saling memberi dan memotivasi
dikala resah melodi berbagi
saling mengingatkan
pada sebuah konvensi yang memangari istana hijau kita

detik ini, aku masih berdiri
pada tempat kenangan kita
menatap atap-atap yang memudar
serta ubin putih yang retak
untuk memunguti sisa-sisa perjuangan
agar kelak dapat menjadi teman
dalam kesendirianku
yang setiap aku rindu, akan kurilis kembali
pada kamar rekaman mimpi.

tepi danau UH, jumat/28 juli 2006

Danau dan Mimpiku

menatap aliran danau yang hijau
aku teringat pada ketengangan jiwa
pada kelembutan langkah
dan pada kepasrahan air oleh terpaan angin
menatap gejolak syahdu
aku dihimpit ragu
benarkah danau seanggun yang kusangka?

aku sama sekali tak menyaksikan gejolak
yang ada hanyalah barisan air
laksana laskar patuh
aku tak temukan pasang
karena langkahnya begitu lurus

coba seandainya ketenangan danau itu
kuusik dengan sengenggam kerikil
hanya dibalas dengan teriakan riak
bukan gelombang mematikan
dan riak tiu perlahan dimanjakan oleh waktu
dan sekejab seolah tak terjadi apa-apa

menatap pada permadani biru
aku terbawa arus pusaran imaji
tentang hidup bak aliran danau
meski hidupku tak layak disandingkan dengannya
namun setidaknya kuingin belajar pada ketenangan danau
dimana usikan-usikan manusia
tidak menjadi penentu langkahku
penyebab kesendirianku
dan penyulut bara egoku

tepi danau UH, jumat/ 28 juli 2006

Jejak Tersisa

    Nama :
    Web :
    Jejak :
    :) :( :D :p :(( :)) :x
Muchniart Production @ 2006