« Home | PUISI UNTUK ADIKKU »

CERPEN

SEPERTI HARI KEMARIN
By : Art 02

Seperti hari kemarin, sebuah topi hitam dengan warna yang sudah pudar oleh sengatan matahari beserta sepeda kumbangnya selalu menemani. Hampir setiap kali adzan subuh berkumandang, dia merebahkan diri di telapak Tuhan sembari mengadukan keluh-kesahnya pada sang Khaliq. Setelah itu dia berkemas untuk berangkat kerja sebelum kokokan ayam berhenti bersahut. Dia berusaha mengejar matahari untuk berlomba mengais rezeki.
“Pagi yang indah,” desahnya setelah jemarinya menggeser tirai jendela yang menghalangi pandangannya untuk menambatkan kekaguman akan indahnya ciptaan Tuhan.
Suara siulan mengiringi langkah kakinya menuju pintu rumah. Namun sebelum tangannya meraih daun pintu, dia menoleh ke salah satu sudut ruangan untuk mencari anak semata wayangnya. Dia membalikkan badan menuju kamar Iradah. Sekilas senyum menghiasi bibirnya disusul dengan gelengan kepala sang ayah.
“Tidurlah anakku,” bisiknya.
Dia sangat mencintai buah hatinya itu, “semalam memainkan jari di atas tuts mesin ketik untuk menyelesaikan laporan praktikum kimia yang semakin menumpuk, akan menguras tenaga dan pikiranmu.” Ucap Pak Walid lalu meninggalkan Iradah yang masih bungkam dalam tidurnya.
***
Petualangan dalam perjuangan hidup akan dimulai. Sudah setahun dia bekerja di sebuah perusahaan tekstil sebagai buruh harian dengan gaji yang tak seberapa. Setiap hari dia menguji kesabarannya di antara tumpukan-tumpukan kain batik yang akan dihiasai dengan berbagai motif melalui tangannya sendiri. Ketika matahari tergelincir di ufuk barat, Pak Walid serta merta tersenyum ceria karena malam menjemput kepulangannya untuk merajut kasih dan kenangan di rumah mungilnya.
“Assalamu’alaikum.” Ucapnya dari balik pintu. Tetapi jawaban Rada yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba.
“Rada… Rada… kamu ada di mana?” lanjutnya sambil melangkahkan kakinya ke ruang dapur. Namun sosok sang anak tidak juga dia jumpai. Dia malah disambut dengan senyuman secangkir kopi hangat dan secarik kertas bergoreskan tinta hitam.
“Ayah… malam ini Rada tidak pulang. Jika ayah lapar, makan malam sudah Rada siapkan di atas meja.”
Seberkas sinar kerinduan yang terpancar di wajah Pak Walid tiba-tiba redup. Bungkusan makanan kecil di tangannya dibiarkan dingin. Ada yang pergi dalam hidupnya. Semenjak Irada berkuliah dan disibukkan dengan berbagai kegiatan ekstrakulikuler. Rumah mereka bagi Rada, hanya sebatas tempat persinggahan yang memaksa Pak Walid bertualang sendiri dalam irama serunai sepi.

***
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara Iradah dari balik pintu.
“Wa’alaikum salam,” balas Pak Walid disusul dengan tarikan tangannya pada daun pintu.
Iradah tersenyum dan menjabati tangan ayahnya. Tetapi tiba-tiba desiran darahnya terhenti dan senyumnya tertahan.
“Apakah Ayah sakit?”
Pak Walid menggelengkan kepala.
“Kalau tidak, mengapa wajah ayah sangat pucat?” lanjutnya sambil memandangi wajah lelaki tua yang ada di hadapannya.
“Saya tidak apa-apa, Nak.”
Pak Walid melekatkan pandangannya pada sang anak. Kasih sayang yang terpendam meletupkan pendaran risau di hatinya.
“Rada, kamu jangan terlalu sering pulang malam. Ayah khawatir dengan keselamatanmu.”
“Ayah nggak perlu khawatir, aku sudah besar. Dan Rada yakin kerudung ini dapat menjadi pelindung buatku.” Jawab Iradah sambil menarik salah satu ujung kerudungnya.
“Tetapi saya tetap tidak yakin, Nak. Tadi siang ayah mendengar dari salah satu siaran TV swasta, seorang gadis ditemukan tewas setelah sebelumnya diperkosa oleh sekawanan pemuda. Gadis itu juga memakai kerudung sama sepertimu.”
“Berarti, Ayah masih ragu dengan kerudung ini dan menafihkan janji Tuhan.”
“Bukan begitu, Nak. Kejahatan itu tidak pernah mengenal apa dan siapa. Jika nafsu bergejolak dan kesempatan memberi peluang, mereka dapat melakukan apa saja. Kehadiran-Nya untuk memberi perlindungan kepada manusia memang senantiasa ada, dan mewujudnya perlindungan itu tergantung dari usaha manusia, makanya Allah menganjurkan kita untuk selalu berhati-hati dan menjaga diri.”
Irada terdiam dan merenungi ucapan ayahnya. Tetapi lagi-lagi ambisi tidak memberi kesempatan kepada hatinya untuk menerima ucapan itu.
“Aku tidak bisa, Ayah.” Ucapnya kemudian berlalu dari hadapan Pak Walid.
Ada setitik air mata yang coba disembunyikan dari balik senyumnya. Garis-garis ketuaan yang menghiasi wajahnya semakin berkerut. Dia memaklumi sikap Iradah yang tidak pernah betah di rumah, hanyalah wujud pelampiasannya akan rasa kehilangan dan kesendirian sejak ibunya pergi dengan lelaki lain. Tetapi walau bagaimana pun dia sangat mencintai putrinya dan hati nuraninya senantiasa membisikkan kerisauan setiap kali anaknya tidak ada di rumah.
“Maafkan ayahmu ini yang tak mampu menjadi ayah dan sekaligus ibu yang baik buatmu,” desahnya sambil menyandarkan diri di sisi pembaringan ditemani sebatang rokok yang dibiarkan mengepulkan asap.
Dengan langkah perlahan, dia menghampiri sebuah bingkai foto yang terpajang di dinding rumahnya. Diusapnya debu yang mengaburkan wajah sosok manusia dalam sketsa yang terbingkai dan ditatapnya wajah polos Iradah kecil.
“Mengapa waktu begitu cepat berlalu? Mengapa dia merampasmu dari pelukku? Bukankah sejak kecil engkau sangat dekat dengan Ayah. Kemana pun Ayah pergi engkau pasti merengek untuk ikut. Apakah kau masih ingat, saat kakimu terkena terali sepeda karena tertidur di gandengan sepeda ayah?” Pak Walid merangkai dialog dalam kebisuan sketsa Iradah kecil.
Di luar sana, ada air mata yang menetes, ada kesedihan tak terkira dan rasa bersalah yang menghadirkan fluktuasi dalam sebuah jiwa. Iradah menyaksikan kepiluan yang membaluti wajah ayahnya. Diam-diam, ternyata sedari tadi dia mendengarkan ratapan Ayah. Baru kali ini dia melihat air mata yang tumpah dari kelopak mata yang dipaksakan tegar oleh ayahnya.
“Apakah yang membuatnya menangis? Seberapa besarkah arti cintanya padaku? Apakah dosa ini sudah semakin menebal sehingga membatasi pandanganku melihat gumpalan derita Ayah?”
Air mata itu menyudutkan Iradah pada keterasingan hati. Aura ketegaran sang ayah membuat dia menyadari bahwa selama ini kesibukan menjauhkannya dari kasih ayah. Dia menggadaikan kewajibannya dengan ambisi pribadi untuk menjadi seorang aktivis. Di mata kawan-kawannya dia mampu mengukir prestasi gemilang yang menjadikannya buah bibir. Tetapi salah satu sisi hidupnya terlupakan dan dia gagal meraih bintang dalam keluarganya, meskipun sang ayah tidak pernah menuntut balas budi. Iradah menghamburkan tangisnya, tanpa berani mengusik romantisme masa lalu yang dirajut sang Ayah. Mereka terdiam dalam keheningan malam dan menyisakan titik-titik air mata pengakuan mengiringi hujan gerimis yang menyapa malam.
***
Masih seperti hari kemarin, sebuah topi dan sepeda kumbang menjadi kawannya. Dia kembali mengadu nasib bersama dinginnya udara pagi dan tebaran debu-debu jalanan yang selalu hadir mengisi kerongkongannya. Di perempatan jalan, kakinya berhenti menggayuh sepeda, jalan yang membentang di hadapannya tiba-tiba mengecil, pohon-pohon yang berdiri kokoh di sisi jalan satu persatu tercabut dan terbang menghampirinya dan di atas sana langit terasa bergemuruh. Wajahnya berubah pucat dan semua menjadi gelap.
Selang beberapa waktu, suasana telah berubah. Tak ada topi, tak ada sepeda kumbang dan berganti dengan satu tubuh yang terbaring lemah dalam sebuah ruangan berukuran 3 x 4 cm, beserta selang infus dan oksigennya. Pak Walid harus di opname akibat paru-paru basah yang dideritanya.
“Air muka penyesalan terpancar di wajah Iradah. “Maafkan aku ayah.”
“Tidak ada yang perlu Ayah maafkan, Nak.” Jawab Pak Walid dengan suara serak.
Sekarang, ada yang berbeda dari hari kemarin. Kerinduan yang selama ini pergi kembali menyapa. Tak ada tangis karena air mata enggan menampakkan diri di hadapan senyuman ayah dan anaknya. Akankah hari esok seperti hari kemarin? Ataukah secercah harapan baru akan mewarnai hari esok? Takjub dan ucapan syukur mengalun dari bibir mungil Iradah akan indahnya kebersamaan.

Makassar, 11 Juni 2005