Friday, July 22, 2005

Cerpen : PLAKAT BERBINGKAI BIRU

PLAKAT BERBINGKAI BIRU
By : Art 02

“Aku nggak pernah habis pikir, kok udara hari ini panas bangat,” geruru Faisha saat melintasi gang kecil menuju sebuah warnet yang sekarang ini menjadi tempat nongkrongnya, semenjak tugas kuliahnya mengharuskan diamengutak-atik berbagai situs untuk mencari data dan referensi.
Sambil mengusap keringat yang membasahi wajahnya, Faisha mulai mengaktifkan komputer dan langsung mengecek mailnya.
“Oh… ternyata hari ini tidak satupun pesan yang masuk.”
Adzan magrib mulai bergema, yang mengharuskan Faisha bergegas kembali, soalnya kata pak ustadz, “tidak baik loh, anak gadis keluyuran sampai malam.”
“Assalamu’alaikum… aku pulang. Kok nggak dijawab?”
Faisha melangkah menuju kamar kostnya dan ternyata semua kamar lagi tidak berpenghuni.
“Kemana ya, mereka?” Faisha agak sedikit bingung dan pikirannya semakin bertanya-tanya.
Namun tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah kotak surat yang tergantung di sisi pintunya. Dengan agak ragu diraihnya surat tanpa nama itu.
“Ini dari siapa? Atau jangan-jangan mereka ngerjain aku. Siapa yang lagi iseng di siang bolong begini?” dengan nada kesal Faisha membuka surat yang membuat dirinya penasaran tujuh keliling.

Dear Faisha,
How are you? Masih ingat sama aku?
Makasih yah, atas balasan mailnya.
Sekarang aku lagi di makassar dan aku
Tunggu kabar dari kamu.
Bisa, gak kita ketemu? 
Udah yah.

Wassalam

Adrian

Ada perasaan terkejud yang terlintas, mungkinkah dia adalah Adrian? Pemuda yang tidak sengaja kukenal lewat chatting, cannelnya ‘café Islam’. Apakah dia benar-benar ada di kota daeng ini?
“Ah… dasar rese, wajahnya saja aku belum pernah lihat. Kok berani-beraninya kirimin aku surat. Lagian di mana juga dia ngedapatin alamat aku? Biarin deh, emangnya aku pikirin.”
Belum habis rasa penasaran campur kesal Faisha, tiba-tiba ponselnya berdering keras. “Ass… Faisha jadi tidak kamu ikut seminar muslimah besok pagi? Aku tunggu yah, di tempat biasa. Wassalam.” Ternyata Faisha mendapat SMS dari temannya Qanita.
Tetapi belum cukup semenit, ponsel itu berdering lagi.
“Ini nomor siapa yah?” sambil mengerutkan keningnya, Faisha berusaha mengingat-ingat nomor ponsel kawan-kawannya. Namun hingga pencahrian yang terakhir tidak ada satupun yang sama dengan nomor yang muncul di layar HPnya itu.
“Assalamu’alaikum.” Terdengar suara dari seberang sana.
“Faisha, ini aku Adrian. Kabar kamu gimana?”
Faisha hanya terdiam.
“Nekat benar orang ini,” Pikir Faisha.
“Faisha, kok diam. Jawab dong!”
Faisha tersentak dan hampir saja HPnya terjatuh dari genggamannya.
“Eh… eh… eh… iya, wa’alaikum salam. Aku alhamdulillah baik. Oh yah, kamu dapat nomor HPku dari siapa? Akukan tidak pernah memberikannya pada kamu?”
“Ada aja… Faisha bisa tidak, kita ketemu besok pagi?”
“Maaf, besok pagi aku ada jadwal lain.”
“Oh… gitu yah, mmm…nggak apa-apa deh.”
Percakapan itu diakhiri dengan suara sinisnya Faisha. Dan kini Faisha yang sepanjang harinya di sibukkan dengan berbagai aktivitas, akhirnya terbuai dalam selimut malam, ditemani dengan mimpi-mimpi indanya akan hari esok.

***

“Faisha, bangun dong. Udah jam delapan nih. Tidak baik loh, anak gadis kayak kamu suka molor pagi-pagi.” Faisha disentakkan oleh suara Qanita yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya.
“Aku kira kamu janjinya nunggu di tempat biasa, kok sekarang malah penampakan di sini? Kalau masuk kamar orang minta izin dulu dong, jangan asal dobrak aja kayak maling.”
Ekspresi wajah Faisha yang sangat awut-awutan membuat Qanita tersenyum geli. “Sudah non, cepatlah nanti kalau telat gimana?”
“Hu… dasar penggangu kelas kakap.” Ucap Faisha sambil berlalu meraih sebuah handuk dan langsung menubruk kamar mandi.
“Yeeee… bukannya berterima kasih, malah sekarang ngomel-ngomel.” Balas Qanita.
Qanita mengamati kondisi kamar Faisha, yang lebih para dari kapal pecah. Dia menggelengkan kepalanya. “Sibuk sih, sibuk tapi perhatiin juga dong kebersihan lingkungan.” Gerutu Qanita.
Sementara dari sudut ruangan sana terdengar melodi yang dangdut bangat dari bibir Faisha ( tapi Upsss!! dangdut yang dimaksud nggak kayak KDI itu loh ).
“Hei…, Non. Kalau lagi mandi jangan suka nyanyi dong, ntar kamu dapat suami orang tua gimana? Teriak Qanita dari balik pintu.
“Alah… itu mah hanya mitos.”
“Terserah deh, kamu mau dengarin atau tidak. Yang jelasnya buruann dong mandinya. Sebentar lagi acaranya dimulai nih.”

***

“Qanita, kemarin sore aku dapat surat yang aneh bangat.”
“Dari siapa?”
“Adrian….” Jawab Faisha agak malu-malu.
Melihat kawannya bertingkah aneh, Qanita hanya tersenyum.
“Kamu kenal dari mana?”
“Lewat chatting, katanya dia orang Jogyakarta. Tapi dalam suratnya, sekarang dia ada di Makassar.
“Bagus tuh,” timpal qanita.
“Apanya yang bagus,” nada suara Faisha agak meninggi yang membuat seluruh peserta seminar menoleh kepadanya. Faisha lagi-lagi harus menahan perasaannya karena malu dengan peserta seminar.
Setelah itu mereka berdua terdiam dan konsentrasi penuh untuk memperhatikan bahasan pemateri tentang ‘Tanggungjawab dan Akhlak Seorang Muslimah’. Mereka berdua terlarut dalam dialog yang cukup sengit antara peserta seminar dengan nara sumber. Dan tanpa terasa di pertengahan siang kegiatan seminar harus berakhir karena jadwal shalat zduhur telah menanti.
“Aku sepakat dengan pemateri tadi bahwa muslimah saat ini harus mampu menampilkan akhlak yang mulia dan jangan mudah terpengaruh oleh kenikmatan dunia semata. Menurut kamu, gimana Nit?”
“Iya juga sih.” Jawab Qanita.
“Tapi bisa gak, yah? Soalnya saat ini generasi muda seumuran kita-kita lebih doyan nongkrongin TV untuk nonton konser KDI atau AFI ketimbang dengarin acara Tauziah. Mereka lebih tahu nama Maradonna atau Britney Spirt ketimbang Khadijah dan Fatimah.”
“Bisa… bisa, yang jelasnya kita mau membangun sebuah komitmen dan saling mengingatkan. Gimana?” Ucap Faisha menibis kekhawatiran sahabatnya.
Qanita tersenyum sambil mencubit lengan kawannya yang saat ini terbaluti semangat layaknya Imam Huzain saat terkepung oleh musuhnya dalam perang di tanah karbala.
‘Faisha, aku jalan duluan yah, soalnya aku mau mampir di toko buku An-nisa.”
“OK, hati-hati yah.”
Fasiha melangkah di antara kerumunan peserta seminar. Dia sesekali memalingkan wajahnya ke suatu arah yang tak jelas karena dia merasa ada yang mengikutinya dan memanggil-manggil namanya.
“Faisha… Faisha….”
Faisha berbalik ke arah sumber suara, tapi yang dia dapatkan hanyalah kerumunan peserta seminar yang baru saja keluar dari ruangannya. Tak lama kemudian panggilan itu terdengar lagi, bahkan sekarang terdengar sangat dekat.
“Apa betul anda, Faisha?”
“Iya….” Jawab Faisha sambil membalikkan badannya untuk melihat siapa yang menyapanya.
“Bagaimana kabar kamu?” Tanya pemuda itu lagi.
“Baik….” Jawab Faisha sambil menatap pemuda yang berdiri tidak jauh dari hadapanya dengan penuh selidik.
“Kalau boleh tahu, anda ini siapa?” Tanya Faisha diiringi dengan ekspresi wajah garang sebagai salah satu triknya untuk meng-KO- cowok-cowok yang sering iseng.
pemuda itu tersenyum.
“Adrian.” Jawabnya sambil mengulurkan tangan.
BRAKKKK!!! Tubuh Faisha terguncang dasyat. Tetapi dengan lafaz istikfar dia segera menata kembali hatinya. Meskipun demikian, kali ini Faisha benar-benar bingung, apakah uluran tangan itu harus dia sambut atau tidak. Lama Faisha menatap uluran tangan itu yang sampai detik ini masih setia menunggu. Faisha akhirnya tersenyum menatap uluran tangan tadi dan mendekapkan kedua tangannya sebagai simbol dia menerima uluran tangan Adrian, sebagai mana yang sering dia lakukan kepada teman-teman prianya di kampus. Tanpa pikir panjang, dia langsung pamit kepada Adrian sebelum lelaki itu mengeluarkan jurus selanjutnya.
“Nanti malam, pukul Delapan aku ingin ke rumahmu,” Adrian masih angkat bicara meskipun Faisha telah duduk manis di atas angkot.

***
Saat ini jam dinding telah beranjak dari pukul 07:00 WITA menuju pukul 07:30 WITA dan bayang-bayang Adrian masih saja menghantui Faisha.
“Benarkah dia akan datang malam ini? Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengunci pintu rapat-rapat, mematikan lampu dan pura-pura tertidur atau meminta bantuan teman sekostku menyuruh dia masuk dan aku pura-pura sakit sebagaimana resepnya ‘Ine Sintiya’ dalam lagunya Lima Menit lagi.”
Faisha tersenyum sendiri dan berusaha menutupi kebingungannya.
“Tetapi, kalau dipikir-pikir kasihan juga sih, jika saya harus menolak kedatangannya.”
Kembali pro dan kontra hadir di benak Faisha.
“Soalnya dia sudah jauh-jauh dari Jogyakarta datang berkunjung ke sini. Jika aku cuekin, apa katanya nanti. Aduh… aku harus bagaimana?”
Cemilan yang sedari tadi menemani pertapaan Faisha sudah hampir habis, sementara terdengar jam dinding berdetak delapan kali menandakan waktu yang dicemaskan Faisha sudah tiba. Tidak ada solusi yang didapatkan dari hasil semedi panjangnya dan tiba-tiba sosok yang dijumpai siang tadi, muncul dari balik pintu kamar kostnya.
“Selamat malam Faisha.”
Faisha tidak menjawab sapaan itu, dia langsung berbalik menatap hiasan dinding yang menempel di daun pintunya, ‘Jangan lupa Dong Ucap Salam’ Adrian seolah-olah menangkap maksud Faisha. Dia kembali meralat ucapannya.
“Maaf… assalamu’alaikum. Boleh aku masuk?”
Faisha lagi-lagi tidak tahu harus berbuat apa, karena biasanya anak-anak yang tinggal di pondokannya di wajibkan menerima tamu di ruang tamu pondokan, tapi karena ruangannya sedang direnovasi, ada sedikit dispensasi untuk menerima tamu di kamar masing-masing, tetapi ternyata kebijakan itu merepotkan Faisha.
“Apakah aku boleh masuk.”
“Oh… iya silahkan!” Faisha kembali tersentak setelah Adrian mengulangi ucapannya tadi.
“Maaf yah, kamarku berantakan nih.”
Kedatangan Adrian kali ini, dinilai nekat oleh Faisha, dia tidak menyangka pertemuannya siang tadi akan berlanjut seperti ini. Faisha terkejud ketika tanpa basa-basi Adrian mengajaknya keliling kota sebelum dia kembali ke Jogyakarta. Dalam kondisi yang sekarat, Faisha hanya bisa mengangguk dan sepakat dengan ajakan itu.
“Tapi pulangnya jangan terlalu larut yah,” pinta Faisha.
“OK….”
Dengan menggunakan stelan kerudung putih dan jubah biru bermotif kembang-kembang, Faisha keluar dari kamar kostnya. Tetapi sebelum pintu terkunci, ternyata HP nya ketinggalan dan dia kembali mengambilnya yang sedari tadi dia letakkan di atas meja belajar. Namun tanpa sengaja, sesaat setelah tangannya telah meraih Handphone. Dia menyentuh sebuah plakat berbingkai biru yang terpajang di sisi mejanya. Plakat itu terjatuh dan pecah. Faisha tersentak kaget dan langsung memungut plakat berbingaki biru itu, terlintas dalam benaknya sebuah kenangan indah ketika dia mengikuti pesantren kilat yang di wadahi di sekolahnya saat SMU dulu. Plakat itu dia peroleh sebagai penghargaan untuk peserta terbaik. Adrian hanya terdiam menatap tangan Faisha yang mengusap plakat itu.
“Ya, Allah, aku hampir saja lupa, seandainya Engkau tidak mengingatkanku. Aku hampir saja melanggar larangan-Mu. Maafkan aku ya, Allah.” Kembali Faisha menemukan sikap optimisnya.
“Maaf Adrian, aku tidak jadi pergi.”
“Kenapa?”
“Besok aku ada ujian,” Faisha mencoba meyakinkan Adrian, meskipun dia harus sedikit berbohong.
“Lain kali saja yah,” lanjutnya.
Entah mengapa Adrian dapat menerima alasan Faisha dan tanpa komentar lagi dia beranjak pergi. Faisha hanya mampu memandangi detak-detak langkah yang mengantarkan banyang-bayang Adrian lenyap dari balik pintu.
“Mudah-mudahan dia dapat mengerti dan memaafkan aku jika telah menyakitinya. Terima kasih ya… Allah, Engkau telah mengingatkanku disaat aku lupa.”
Plakat itu menjadi saksi bisu bahwa amanah yang diemban Faisha harus bisa dia pertanggung jawabkan.
“Menjadi pserta terbaik itu tidak mudah, Nak.” Kata Pak Sabri, kepala sekolah Faisha saat SMU dulu.

***

Mentari pagi menyapa disertai dengan kicauan burung-burung memeriahkan suasana pagi. Faisha yang tadinya terlelap harus terbangun dari tidurnya karena jadwal kuliahnya sebagai mahasiswa baru sangat padat.
“Hai… Fais, apa kabar?” sapa Qanita sahabat setia Faisha yang kebetulan satu universitas dengannya.
“Aku baik.”
“Oh yah, Fais. Ada yang nitip salam buat kamu.”
“Siapa?”
“Mmm… itu… tuh Si pengagum kamu.” Jawab Qanita setengah menggoda.
“Maksud kamu…?”
“Gimana sih, kami ini. Baru ditinggal sehari saja udah lupa. Siapa lagi kalau bukan Adrian.”
“Loh… Nit. Emangnya kamu kenal sama dia?”
“Iya dong. Masa adik sendiri, gak kenal sama kakaknya.”
“Ha…!?! Adrian itu kakakmu yah?”
Qanita mengangguk.
“Kok kamu nggak pernah cerita,” protes Faisha.
“Soalnya, kamu juga nggak pernah nanya.”
“Iya juga sih.” Pikir Faisha.
“Dia kakak sulungku yang kuliah di UGM, katanya Dia juga bergabung dengan anak-anak rohis di kampusnya.” Qanita berusaha memberikan penjelasan kepada Faisha.
“Kamu tega yah, ngerjain aku.”
“Maaf, aku tidak sengaja. Sueeer berani di sambar angin! Kakakku itu pernah cerita, katanya dia punya teman di Makassar dan setelah aku selidiki ternyata itu kamu. Jangan cemberut gitu dong.” Bujuk Qanita ketika melihat wajah kawannya bertambah beratnya beberapa kilogram.
“Iya, Aku maafin. Tapi kamu harus janji untuk tidak mengulangi lagi. OK!”
“OK boss.” Jawab Qanita.
“Fais, aku akui kamu hebat deh.”
“Hebat apanya?”
“Kamu sadar tidak? Semua itu ujian buat kamu dari-Nya dan ternyata kamu bisa lulus juga. Soalnya jarang bangat orang yang bisa berhasil seperti kamu. Kakakku kan lumayan ganteng.” Rayu qanita.
Faisha hanya bisa tersenyum dan mencubit lengan kawannya itu. Dan tiba-tiba HP nya berdering lagi.
“Ya… Tuhan. Ini nomor siapa lagi.” Bisiknya saat menyaksikan hadirnya nomor yang baru dilayar HP nya.


Buat sahabatku ( k’ Anty, k’ Amma, k’Ti2n dan k’ Ayu) serta anak-anak FLP Cab. Makassar tetap istiqomah and jaga hati, lisan dan perbuatan. Okey

Puisi : Ibu

Kucoba kenang kembali
Lembaran masa silam
Penuh canda dan ceria
Merajut cinta kasih
Dalam dekapan seorang ibu

Takkan habis tinta penaku
Menulis dan mengukir kisah
Dalam rangkaian mutiara kata
Untuk menyibak senyum ibu
Engkau kawanku
Kau sahabatku
Dan pembimbingku

Ibu… kini engkau telah pergi
Namun lautan kasihmu
Takkan pernah mengering
Ibu… kini aku seorang diri
Hanya senyum manismu
Dalam sketsa kenanganku
Menjadi lentera
Menepaki lorong kesunyian
Menyuluhi kegelapan jiwa
Membenahi pemberontakan qalbu
Menyegarkan kuntuman yang layu
Memotivasi kegelisahan langkah

Puisi : Bisikan Hati

Berisik…
Aku tak tahan
Sayapku kini tlah patah
Harapanku jatuh
Mawar yang kusanjungi kehilangan duri
Rapuh oleh realitas dunia

Bangkitlah hai gadisku
Rajut kembali jelaga senjamu
Tegakkan benang harapmu
Selama fajar tak berganti malam
Selama sigaun putih masi terpulas
Dan dendang hewan malam berhenti bersahut

Engkau masih bisa menari
Altar kemanisan terbuka
Teratai kesucian masih kau miliki
Jangan renggut asamu
Dalam kelamnya malam
Jangan kubur candamu
Pada sepinya hati.

Puisi : Mawarku

Sela-sela kelopak merah
Menebar wangi dalam lantunan pesona
Menuntun kumbang bertekuk lutut
Menyembah kecantikan yang hanya sesaat

Mawarku…
Indahmu kala bersemi
Wangimu kala mekar
Tak akan kekal hanya sezaman
Kekekalan ada pada namamu
Keabadian lukiskan kepribadianmu
Jikalau hadirmu tinggalkan kesan
Jikalau tatapmu damaikan hati
Dan senyummu taklukkan kerasnya dunia
Layumu pasti ibahkan jangat
Karena kecantikanmu bukanlah segalanya.

Puisi : Debu

Ringan, terbang, bertebaran
Mengisi dan menyusupi celah-celah kecil
Mengais sisa-sisa sumber hidup
Mendarat diatas pusaran air
Hanyut, berbaur dan akhirnya lenyap

Debu…
Rintihan deritamu bagai angin lalu
Perih, pedih dan menyayat
Engkau terusap oleh tangan kasar
Meninggalkan bekas telapak sabdah
Bak stempel keserakahan

Debu…
Kapankah engkau mendarat tenang
Di taman semedi panjang
Bersama sajadah usang
Kian hari, kian membentang

Puisi : Akulah

Akulah yang akan
Memberimu damai saat kau terjatuh
Dan saat kau resah

Akulah yang nanti
Membuatmu tegar
Saat kau rapuh dan saat kau sepi

Wangiku runtuhkan egomu
Indahku gugurkan angkuhmu
Kehadiranku membawa kedamaian

Puisi : Tentang Cinta

Pernah aku berjalan
Diatas trotoar tua
Sambil memegang harapan baru
Menggapai sebuah cita
Kini adalah hari kebangkitan
Sang gadis, yang kemarin
Samar memaknai cinta

Cinta adalah dusta
Cinta adalah bahagia
Cinta adalah rasa saling percaya
Cinta adalah kepasrahan
Cinta adalah peleburan
Cinta adalah persahabatan
Cinta adalah kasih sayang
Cinta adalah permata hati
Cinta adalah perjalanan spritual
Cinta adalah tangis
Cinta dapat meghadirkan bintang di tangan
Dan menghadiahkan jubah rembulan
Cinta adalah pusara keabadian
Cinta adalah altar senyum
Cinta adalah menghargai keindahan ciptaannya
Cinta adalah curahan rasa sukaku
Cinta menghempaskan ego kemepilikan
Cinta adalah diam dalam keterpesonaan
Satu Cinta yang hendak kujangkau
Jika sang khaliq menebar Cinta.

Puisi : Nyanyian Kebisuan

Jika setiap kebisuan kita maknai diam
Ataukah kebisuan diseru ketidaktahuan
Maka masih ada hijab di hati manusia
Kebisuan yang nampak kasat mata
Hanyalah mengurai kulit luar
Kebisuan sebenarnya adalah
Tirai yang menjembatani perjalana anak manusia
Menemuluri lorong kesunyian
Hingga kegelapan senja menyapa
Kemunafikan dan kebohongan tersibak
Sebab apalagi yang mesti disembunyikan
Manusia dalam gelap
Tiada yang melihat dan jika manusia khianat
Maka khianat itu adalah bingkisan untuk dirinya sendiri.
Kebisuan adalah gerbang sebuah kebenaran
Orang yang bisu menghempas kebohongan
Dan menjahui silat lidah
Kebisuan adalah milik
Orang yang paling pandai
Yang ketika merangkai kata
Dalam kalimat
Maka sekali pena tertoreh
Beribu kebenaran akan menyapa
Kebisuan adalah pengagum keadilan seorang syuhadah
Kebisuan juga dapat menjadi bumerang
Bagi kebebasan rohani
Karena terkadang
Kebisuan merenggut kebebasan manusia
Yang ingin berhatur bebas.

Puisi : Tentang Makna

TENTANG MAKNA

Ketika setiap orang berkata
Maka beribu kalimat akan terangkai
Beribu makna akan tercipta
Yang melahirkan dua makna
Antara jelas dan tidak

Kadang ada makna yang berisi hikma,
Puisi, canda, cinta, tangis, dendam, bahagia
Dan kadang pula makna menghadirkan
Ungkapan perasaan yang terbang
Kemudian terperangkap dalam sangkar kata
Pernah pula aku mendengar sebuah makna yang hampa
Sehampa sorotan mata
Kepasrahan yang merangkul inspirasi
Dalam kekosongan makna
Tahukak kita…?
Jika kata yang terucap
Dengan kehampaan makna
Maka diam lebih baik
Daripada menjunjung
Kebisuan membuang kata
Akan tetapi jika yang bermakna menjadi sebuah pilihan kata
Maka haram bagi manusia untuk diam
Sebab katamu adalah
Sumber hikma bagi yang berkubang
Pada kedangkalan hikma dan kebijaksanaan

PUISI : Binatng, Matahari Dan Malam

BINTANG, MATAHARI DAN MALAM
By : Art 02

Jika kutunjuk satu bintang
Apakah rembulan akan melepasnya?
Jika kupeluk matahari
Apakah siang tak kehilangan?
Jika kubaluti diri ini dengan tirai malam
Apakah pagi tak terdzalimi?
Kenapa manusia harus memiliki?
Ataukah memang pusaran ego sulit melepas
Mengapa manusia tak mau berbagi?
Ataukah berbagi enggan menjemput adil
Sebuah kanvas keserakahan
Dalam nafsu berpeluk ego
Menebis tanya yang bertepi
Menggertak mimpi di pagi hari
Mengapa manusia harus melukis tawa?
Ataukah tawa hadir melipur lara
Saat kutanya sang bintang
Tentang impian menjalin rumah salju
Selaksa senyum menjawab impian itu
Tetap hatiku tersayat menatap rembulan mengadu sinar sendiri
Saat kusapa matahari
Siang kian cemberut, bahkan enggan berhatur sapa denganku
Padahal tak ada niat membendung matahari menyapa siang
Kini langkah terakhirku
Tertambat pada sang malam
Kusujudkan diri di tengah kegalauan pagi
Tetapi lagi-lagi senyum pagi saat menyapaku tak secerah kemarin
Aku harus bertualang dengan siapa?
Ataukah aku harus rela sendiri
Melangkah tanpa bintang
Mengabaikan sapaan matahari
Dan bersembunyi saat malam tiba.
Tetapi bagiku itu sulit… sulit sekali
Karena bintang, matahari dan malam
Terlalu sakral untuk mengucap pisah

Sejak dulu aku selalu mengalah untuk merangkak pada kehidupan yang baru
Mengalah demi kebahagiaan cinta
Mengalah untuk orang tua
Bahkan terhanyut melebur cita
Saat bintang pertama kali berpendar di pelupuk mataku
Kukerdipkan cahayanya dengan anggun
Kemudian disuatu siang matahari memancar garang
Namun keceriaanku menebis kegarangannya dalam peluk kasih
Malam kemudian datang menyambut
Dan aku bahagia karena kawan-kawanku lagi-lagi bertambah
Tetapi rembulan, siang dan pagi menghancurkan asaku
Dengan serta-merta meruntuhkan
Benteng yang kubangun dalam pondasi hati

Akhirnya benar-benar harus memilih
Dan menghempaskan harap pada mereka
Karena hidup adalah sapaan pilihan
Dan menyandarkan harap selain-Nya hanya meleburkan diri pada kekecewaan

PUISI : Air Mata

AIR MATA

Seandainya kepedihan
Dapat terbendung dengan air mata
Maka mungkin tak ada lagi kegelisahan
Dalam setiap jiwa

Tetapi mengapa air mata
Tak mampu membahasakan
Jeritan jiwa yang gersang
Ia malkah menjadi tameng
Kelemahan jiwa

Apakah tangisan adalah
Solusi bagi segalanya?
Jika ia… lagi-lagi
Air mata hanyalah milik pengkhianat hati
Astagfirullah… dimanakah mutiara yang ihklas mengalir?

Wednesday, July 20, 2005

Cerpen

NUMINOUS
By : Art 02

Sebulan yang lalu, tepatnya dipertengahan bulan februari, ku tinggalkan gubuk mungilku kerena kenangan yang terlukis dibalik bilik bambunya tidak sanggup kuterima. Di gubuk itulah kuhabiskan masa kecilku dalam pelukan mesra seorang ibu pada sebuah atap keluarga. Semua akhirnya terenggut begitu saja oleh lambaian tangan ibu karena penyakit kanker ganas yang bersarang di kepalanya.
“Ibu, relakan kepergianku untuk menyongsong masa depan baru tanpamu.” Ucapku terakhir kalinya di pusara bunda.
Kini semusim telah berlalu. Namun seringkali aku merasa Tuhan tidak pernah adil dan berpihak kepadaku. Bahkan disaat aku terjatuh akibat kekecewaanku akan realitas Dia tidak pernah mau melirikku apalagi menolongku.
“Mengapa Engkau begitu kejam, memisahkan aku darinya saat usia remajaku membutuhkan rangkulannya, tidakkah Engkau sayang padaku? Aku juga ingin merasakan indahnya kemanjaan dan ceria ditengah keutuhan sebuah keluarga seperti mereka. Kembalikan ibu padaku!”
“Auliyah…apa yang terjadi?” tanya Sekar, kawan sekostku sambil menguncang-guncangkan tubuhku.
“Ya…Tuhan lagi-lagi aku bermimpi.”
Sekar tersenyum dan menyodorkan segelas air putih kepadaku.
“Kar, akhir-akhir ini aku sering memimpikan ibu.”
“Mungkin karena engkau terlalu memikirkannya. Sudahlah Li, tugasmu sekarang adalah mendoakan beliau agar gerbang syurga tersenyum kepadanya.”
Kini setelah kepergiannya memasuki tahun kedua, aku benar-benar telah berubah. Banyak hal yang tidak bisa aku terima dari keputusan-Nya. Aku yang dulunya patuh dan taat bersujud, terjebak dalam kelatahan realitas. Tidak ada makna yang dapat aku hadirkan dan spritualitasku bertahan di ujung tombak. Aku menjadi pemuja hedonisme yang menari di atas altar keremangan. Dilema hidup seringkali membenturkan aku kepada jalan yang buntu dan tidak ada setitikpun jalan terang buatku.
“Ibu, maafkan aku,” ucapku saat pertama kalinya tenggorokan ini merasakan asap rokok merasuk ke paru-paru, sebagai pelarianku.
Aku bahagia, dan kulampiaskan dukaku dan akupun tersenyum. Tidak ada yang tahu apa yang aku lakukan di kota metropolitan ini, mereka semua mengira aku adalah gadis lugu dan mahasiswi teladan sebagai mana aku yang dulu. Ketika aku kembali ke kampung halamanku tempat para handaitaulan berkumpul aku selalu saja mendapat sambutan hangat dari keluarga ayah dan ibuku meskipun semua itu bagiku hanya karena mereka menghargai kebesaran nama ibu. Kerudung yang aku gunakan sejak SMU dulu juga tetap menghias di kepalaku sebagai konsekwensi kehadiranku pada komunitas yang dibesarkan dengan kekentalan tradisi. Kerudungku hanyalah penutup kemunafikan diri. “Andai kalian tahu siapa aku, maka peluk dan ciummu pasti akan sia-sia,” desahku
***
Suatu hari di pertengahan bulan Februari, aku bertemu dengan seorang pria tanpa sengaja pada sebuah halte bus. Awalnya aku risih juga karena dia terus menatapku.
“Apakah ada yang salah pada diriku,” selidikku
Aku putuskan untuk tidak memperdulikannya dan berlalu pergi bersama sebuah bus menuju kampusku.
“Kamu dari mana saja Li?” tanya Sekar saat aku telah tiba di depan kelas.
Aku tidak menjawab pertanyaan itu karena konsentrasiku berpusat pada ruangan kelas yang tiba-tiba saja meriah dan papan tulis yang tertutupi sebuah spanduk bertuliskan “Kajian Bulanan Badan Eksekutif Mahasiswa….”
“Lia, kamu mau kemana?” cegah Sekar ketika melihat aku beranjak pergi.
“Pulang.”
“Kamu harus ikut Li, soalnya kegiatan ini wajib untuk mahasiswa fakultas kita.”
Dengan rasa malas kuputuskan untuk ikut dengan niat sekedar mengisi daftar hadir lalu pulang. Namun tiba-tiba niatku berubah ketika ku palingkan wajah dan melihat sosok lelaki yang aku jumpai di halte bis siang tadi.
“Oh…my God!”
“Dia adalah uztad Solikh, kuliah di pondok pesantren Az-Zakiyyah.” Terdengar suara Sekar memperkenalkannya kepada peserta.
Aku terperangah karena semua itu di luar dugaanku. Tetapi aku memilih untuk diam dan mengunggu kejutan selanjutnya. Lelaki itu mulai berkhutbah di hadapan para peserta kajian sementara aku hanya duduk terbengong-bengong. Aku merasa ada yang benar dalam ucapan lelaki ini setelah seorang peserta menanyakan apa sebenarnya yang manusia cari dalam hidup ini? Benakku dipenuhi berbagai pertanyaan, mengapa aku menerima begitu saja apa yang dia ucapkan padahal aku selama ini sangat benci ceramah-ceramah yang menurutku hanyalah permainan retorika dan apology manis belaka.
Berawal dari kegiatan itu aku mengenal dia dan sering kali berdialog dengannya. Aku mengagumi wawasannya yang luas, wibawa dan kedewasaan yang tercermin didirinya meskipun usia kami hanya terpaut bilangan bulan. aku juga sangat penasaran dengan sikapnya yang enggan menatapku saat berpapasan dan bertegur sapa dengannya.
“Wanita dan pria diciptakan dengan kelebihan masing-masing, kaum hawa mewakili sifat keindahan Tuhan dan kaum Adam mewakili sifat keperkasaanNya. Jadi sudah selayaknya jika aku yang tercipta sebagai kaum Adam menghargai keindahan yang dititipkanNya dengan menundukkan pandangan ini,” kata kak Sholik mencoba menjawab rasa penasaran ini.
Akhir bulan maret hubungan kami terjalin layaknya kakak dan adik. Aku banyak belajar darinya dan kehampaan yang selama ini merasukiku perlahan-lahan menjadi sebuah ketenangan jiwa. Dunia glamor dan kehura-huraan yang selama ini menyelimuti lambat laun tinggal menjadi seberkas kenangan. Kerudung yang selama ini kumaknai sebagai hiasan semata dan sering kutanggalkan jika merasa gerah akhirnya terpasang rapi. Semua kawan-kawan kampusku heran akan perubahan sikapku, akan tetapi aku tidak perduli karena aku bahagia dengan keadaanku sekarang.
“Setiap peristiwa pasti meyimpan sebuah hikmah Auliyah, dan kamu harus menyakini hal itu. Jalan yang kamu tempuh saat ini bukan merupakan solusi tetapi malah akan mencampakkanmu pada kegersangan spritual, aku yakin kamu pasti bisa Lia.” Kata kak Solikh saat ku ceritakan lika-liku hidupku.

***
Waktu terus bergulir menghantarkan kepada sebuah realitas baru. Kini sudah Dua bulan kepergiannya sebagai relawan pada kawasan konflik di Ambon. Aku relakan kepergiannya dengan satu harapan dia akan kembali untuk menghiasi hari-hariku dalam keindahan bahasanya dan keteduhan wajahnya. Dia telah berjanji Enam bulan kemudian perjumpaan kami akan diawali dengan khitbahnya padaku agar tercipta ikatan suci yang hakiki. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain, selang beberapa waktu aku menerima kabar dari temannya bahwa namanya telah terukir sebagai syuhadah yang gugur di medan jihad oleh sebuah timah panas yang bersarang di jantungnya saat melintasi daerah perbukitan tempat para pengungsi muslim berlindung.
Aku tersenyum untuk menutupi kepedihanku dihadapan orang-orang yang berempati kepadaku. Meskipun ingin rasanya menghamburkan butiran air mata dari peraduannya yang semakin lama semakin berpendar. Tetapi tetap kusembunyikan dalam kepedihan ini.
“Ya…Tuhan mengapa Engkau mengambil dia lagi dari genggamanku. Belum puaskah Engkau menitikkan air mataku dengan memisahkan aku dari ibuku. Kini saat aku berusaha memaknai seruanMu dan keluar dari pusaran keragu-raguan akan kuasa dan adilMu. Engkau malah menghempaskan aku pada kubangan kepedihan dan kesendirian. Jika Engkau maha kuasa, kembalikan dia kepadaku dan tegakkan kembali impianku bersamanya.” Desahan kekecewaanku kepadaNya.
Aku berjalan tanpa arah menyusuri titian kenangan yang lebur dalam kehampaan. Kuliahku berantakan dan impianku semakin terpuruk. Kehadirannya dalam imaji selalu saja membuat kalbuku sakit dan semakin benci padaNya. Aku putuskan kembali kejalanku yang dulu karena orang-orang yang berada di sekitarku menurut aku hanyalah seonggokan daging yang berjalan dalam balutan topeng-topeng kemunafikan. Sosok dia tidak dapat kutemukan dalam diri siapapun. Semua yang bersimpati padaku hanyalah kamuflase belaka. Kubenamkan diriku di dalam taman pemuja narkotika dan ku tanggalkan kerudungku sebagai wujud pemberontakanku kepadaNya. Malam bukan lagi hal yang menyeramkan bagi aku karena dalam tirai malam manusia dapat berjumpa gerbang maya keindahan sesaat dan hanya senyuman malam, alkohol dan canda penguhuni night club yang dapat meredam rasa kehilangan ini.

***
Malam menjemput pagi dan tersenyum pada benang putih di cakrawala. Sayup-sayup terdengar gema adzan subuh. Sementara aku masih menyandarkan punggungku di beranda halaman kostku. Entah mengapa hatiku terusik oleh seruan itu. Banyangan ibu dan dia hadir bergantian di benakku.
“Auliyah, temukan dirimu kembali.” Bisik mereka.
Aku sangat bingung dan hadir perasaan mencekam. Ku usap pandanganku yang dikaburkan oleh pengaruh alkohol semalam.
“Auliyah…anakku,” kini aku mendengar panggilan ibu.
“Adikku, Auliyah,” kurasakan dia juga memanggilku.
“Tidak….”
Aku berusaha berteriak sekeras mungkin untuk menghapus bayang-bayang itu, akan tetapi teriakanku tidak sanggup menandingi kalimat syahadah yang bergema di balik suara adzan. Jantungku berdetak keras, ada sebuah getaran aneh di dada ini. Semakin gema adzan itu berseru getarannya akan semakin dasyat. Kurasakan diriku semakin kerdil dan akhirnya aku hanyalah bagaikan seekor semut di tengah samudera. Gema adzan itu menggiring langkah kakiku membentuk irama kepasrahan dan tanpa kusadari ternyata aku telah berdiri di depan sebuah surau.
“Ya…Tuhan mengapa Engkau masih mengusikku? mengapa Engkau masih peduli kepadaku setelah aku berusaha menghindar dan melupakanMu? Inikah wujud kasihMu yang selama ini engkau janjikan bagi setiap umatmu?”
Air mata yang selama ini berusaha kubendung, menetes di sela-sela kelopka mata yang memerah. Seruan itu meleburkan egoku yang telah aku pertuhankan. Kubasuh wajah ini dengan tetesan air pengampunan dan kubenamkan diriku dalam sujud panjang.
“Inikah kesejukan itu Tuhan?” tanyaku kala rasa damai itu hadir kembali.
Terlintas dalam benak ini kata terakhirnya sebelum pesawat Lion Air mengantarkannya mendarat di Ambon . “Dinda, semakin engkau berharap kepada sesamamu manusia maka semakin engkau akan kecewa karena manusia hanyalah mampu menghadirkan kekecewaan. Berharaplah kamu kepadaNya karena Dialah penentu segalanya.”
“Insya Allah…kak.”


Makassar, 30 April 2005
Untuk kanda yang telah memberikan aku motivasi





Numinous adalah perasaan takut yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan gaib. Perasaan ini menyebabkan tumbuhnya rasa keagamaan dalam diri seseorang.

CERPEN

Tuhan, Izinkan Aku Mengucap Cinta

By : Art 02

Aku lebih memilih duduk di serambi masjid kampus saat waktu senggang menyapaku di sela-sela padatnya jadwal perkuliahan. Kehadiranku di tempat itu bukan berarti aku adalah pencinta masjid akan tetapi aku hanya melepaskan lelahku di sana karena menurutku inilah satu-satunya tempat yang steril dari gadis-gadis jutek, nona-nona pemuja gosip dan udara pengap. Salah satu hal yang membuat aku betah berlama-lama di sini adalah hadirnya sekawanan burung pipit yang saling berebut sebatang rumput kering untuk dijalinkan menjadi sangkar yang hangat. Di tempat ini pula sering kujumpai sekelompok wanita berbusana muslimah duduk melingkari seorang gadis manis jilbaber yang terus terang mengusik perhatianku. Entah apa yang mereka lakukan, jelasnya ada aura damai dan bahagia yang terpancar dari wajah mereka ketika tanpa sengaja mataku beradu pandang dengannya.
Senja kian kelabu, memaksa aku untuk kembali ke pondokanku karena sebentar lagi masjid itu akan dipenuhi manusia-manusia yang ingin berjumpa dengan Rabbnya. Kehadiranku pasti akan menimbulkan rasa risih bagi mereka, soalnya aku bukanlah pencinta gamis sebagaimana yang membaluti tubuh mereka, aku juga tidak pernah mengenal jubah apalagi kerudung layaknya gadis jilbaber senja tadi. Istilah gamis dan semacamnya kebetulan saja aku dengar lewat ceramah dosen agamaku. Selanjutnya akan menjadi bahan tertawaanku tatkala mereka mulai mengeluarkan kutipan ayat-ayat Al-Quran untuk menyentilku.
“Aku adalah aku dan semua yang aku lakukan akan aku pertanggungjawabkan sendiri.” Gerutuku lirih.
***
Siang ini pikiranku dipenuhi kepenatan, selepas mengikuti praktikum kimia instrumen. Getaran-getaran spektronik 20 menyerap seluruh tenagaku karena banyaknya larutan sampel yang harus diamati. Aku melangkah lunglai sambil merapikan baju praktikum yang baru saja aku lepas.
“Rye, kamu langsung pulang yah?” tanya Sita gadis berdarah Menado yang sekelas denganku.
“Kenapa?”
“Kita barengan yah.”
“Sorry deh, kamu jalan duluan saja soalnya aku masih ada urusan.”
Sita tidak menjawab dan langsung berlalu dengan air muka kecewa. Kutatapi kepergiannya dengan tatapan hampa hingga dia menghilang pada sebuah belokan menuju halte bus. Ada satu bus berhenti tepat di hadapannya dan ketika bus itu sudah berlalu sosok Sita berganti dengan kehadiran gadis yang sering kali aku dapati di masjid kampus. Dari kejahuan aku melihat dia tersenyum. Aku membalas senyuman itu, akan tetapi ternyata senyumannya bukan untukku melainkan untuk tiga orang gadis yang berjalan di belakangku.
“Senyuman yang indah,” desahku saat aku rasakan ada getaran aneh melintas di kalbuku.
Ketiga gadis tadi menyambut kedatangannya dengan saling bersalaman dan bertukar kabar. Aku yang meyaksikan pertemuan itu serasa larut dalam khayalan. Dari senyumnya kurasakan damai di hatiku, langkahnya yang anggun dalam balutan kain panjang membiaskan kesucian dan keterjagaan dirinya, keteduhan tatapan dan wajahnya yang bercahaya menarik perhatiannku untuk mengenal siapakah dia? Meskipun benakku masih berpendar beribu tanya akankah semua itu terwujud.
Aku langkahkan kakiku di atas ubin-ubin lantai masjid berkeramik hijau, ku sandarkan tubuhku pada dinding yang bertuliskan kalimat Ilahih dan kupejamkan mataku untuk mengobati rasa lelah ini. Samar-samar dari balik tirai jendela kudengar suara gadis itu mengeluarkan kalimat-kalimat tauziyah. Suara itu mengusik tidurku dan mendorong hasratku untuk memperhatikan gadis itu sebagaimana yang sering terjadi tanpa sepengetahuannya.
“Ya…Tuhan alangkah indahnya sosok yang Engkau hadirkan ini, akankah dia tercipta untukku? Jika memang benar maka datangkanlah keberanian dalam diriku untuk menyapanya dan mengenal siapa dia. Bukankah Engkau menitipkan rasa cinta pada setiap hambamu dan saat ini izinkan aku untuk menyatakan cintaku padanya.”
Aku terhanyut dalam lamunan dan tanpa kusadari ternyata tirai malam telah menutupi kecerahan senja dan menghadirkan keheningan. Gadis itu ternyata telah pergi. Ku raih tas ransel dan jaketku kemudian beranjak pergi melintasi jalan tol reformasi dengan sepeda motor.
***
Tepat pukul 21.00 WITA. Aku melintasi gang kecil di depan sebuah pasar tradisional. Cahaya lampu weser sengaja kunyalakan karena malam itu jalanan sangat gelap. Tiba-tiba aku berhenti saat mataku melihat sosok gadis berkerudung putih sedang berjalan sendirian dengan dua kantung plastik di tangannya. Rasa persaudaraan mengusikku memberi tumpangan untuknya
“Kamu mau ke mana?” tanyaku.
“Gang 12,” jawabnya.
“Kalau begitu sekalian saja kebetulan aku juga tinggal di daerah sekitar situ.”
Gadis itu menatapku penuh selidik kemudian dia tersenyum.
“Iya deh.”
Setelah tiba di sebuah rumah berukuran 5 x 5 m gadis itu menyuruhku berhenti. Dia mengajakku mampir tapi aku menolaknya karena sekarang sudah larut malam. Di bawah sorotan lampu jalan kuperhatikan wajahnya yang sedari tadi disamarkan oleh kelamnya malam. Ternyata dia adalah gadis jilbaber tempo hari.
“Terimah kasih,” ucapnya.
Aku mengangguk meskipun kesadaranku saat ini terhipnotis antara percaya dan tidak.
“Apakah Engkau merestuiku Tuhan?”
Pertemuanku yang terbilang singkat malam itu akhirnya membuahkan hasil karena aku telah mengetahui namanya adalah Zoraya dan kami kuliah pada kampus yang sama. Ada secercah harapan di hatiku untuk lebih mengenal dia. Koridor kampus menjadi saksi ketika secarik pesan kutitipkan untuknya.
“Cinta adalah anugerah terindah dari-Nya. Di saat cinta telah menyapa, maka naluri insan pemujanya akan berbisik titipkan rasa itu kepadanya. Meskipun aku tidak begitu mengenalmu akan tetapi entah mengapa rasa ini senantiasa menghadirkan resah dihatiku untuk menunggu jawabmu. Aku mencintaimu dan janganlah engkau tebiskan rasa ini pada kedangkalan spritualku.”
Entah apa yang dipikirkan gadis itu saat ini. Karena menurut informasi yang aku peroleh dari teman dekatnya, sudah banyak yang berusaha menarik simpati gadis ini akan tetapi satu persatu diantara mereka akhirnya memendam harapnya kerena gadis itu sama sekali tidak perduli dengan ungkapan cinta yang berkedok silaurrahmi. Tetapi tekadku saat ini sudah bulat dan pesan itu pasti telah terbaca olehnya.
***
Seorang gadis yang tidak kukenal tiba-tiba menyapa dan menitipkan secarik kertas untukku pada sebuah pagi yang diselimuti mendung. Rasa penasaran membuatku segera membuka dan membaca kertas tersebut.
“Cinta memang anugerah terindah darinya, akan tetapi tidak selamanya rasa yang dititipkan harus menuai jawab. Cinta yang hakiki adalah perjalanan spritual menggapai kesempurnaan. Jika engkau sang pencinta maka mendakilah pada bukit peleburan ego kepemilikan yang selalu saja menjadi tabir yang membatasi pertemuan pemuja cinta dengan pemilik cinta. Seandainya cinta yang engkau rasakan adalah suci maka hilangkanlah rasa suka yang bersemayam di dalamnya karena rasa itu hanya akan menyesatkanmu pada hasrat kepemilikan. Aku dan kamu tidak akan mungkin memupuk rasa itu dalam sebuah ikatan kerena kita telah ditakdirkan olehNya menjadi pendamping kaum Adam. Maafkan aku Ryanti.”
“Engkau salah paham Soraya, bukan itu yang aku maksud.” Ucap Rye dalam hatinya yang memberontak.
Terus terang ada rasa kesal dan kecewa terbersik di benakku selepas membaca surat tadi. Sehingga aku lebih memilih untuk bolos kuliah hari ini. Kuhabiskan waktu menatap kepasrahan rumput kecil di bawah injakan telapak kaki manusia, kutegarkan hati, setegar rumah Tuhan di hadapanku dan kuhibur diriku bersama tarian rimbunan pohon dalam irama angin pagi. Hatiku berbisik hari ini dia pasti akan datang dan selang beberapa waktu bisikan hatiku terbukti.
“Zoraya, maafkan aku,” ucapku saat dia melintas di hadapanku.
Tidak ada jawaban yang terucap dan sikapnya sangat dingin.
“Bukankah cinta hadir tanpa memandang kedirian dan keakuan manusia. Kita semua berhak mencintai dan dicintai karena itu adalah bingkisan yang tercipta dari-Nya. Aku mencintaimu bukan karena aku tidak normal, akan tetapi aku sangat membutuhkan kehadiran seseorang yang dapat menanamkan benih keimanan agar kegersangan spritualku dapat menghijau sebagaimana hamba-Nya yang lain. Aku memang tidak sesuci engkau yang senantiasa terjaga dalam balutan jubah kasih-Nya karena aku terlanjur tercipta dalam istana yang hampa akan singasana Ilahiah. Olehnya itu aku berharap dapat memupuk sepenggal semangat Ilahiah yang tersisa dengan mencintaimu sebagai manifestasi cintaku pada-Nya. Aku berharap rasa itu dapat menciptakan kesejukan di hatiku.” Rye terus berucap tanpa memperdulikan apakah Soraya mendengarkan atau tidak.
“Maafkan aku Rye,” ucap Soraya dengan tiba-tiba dari belakang Rye. Dia meletakkan tangannya di punggung tangan Rye dan secercah senyum terlukis di bibirnya
Aku mengangguk dan titik-titik bening berjatuhan di kelopak mataku, membasahi genggaman tangan kami. Kehadirannya menebis kerinduanku akan cinta yang teramputasi oleh kepergian Bunda, menyambut uluran tangan Tuhan tujuh tahun silam. Dan perselingkuhan ayah dengan seorang gadis muda, rekan kerjanya sendiri.
Soraya menatapku dan kutahu tatapan itu mengisyaratkan makna dari ketulusan hatinya. Dia mengusap air mata ini yang semakin sulit terbendung, kemudian membenamkan aku dalam peluknya.
“Menangislah Rye, jika tangisan itu dapat melegakan hatimu.”
“Terima kasih Soraya,” ucapku sambil melepas peluknya.
Soraya lagi-lagi tersenyum. “Sekarang engkau adalah sahabat baruku.”
Aku membalas senyumnya, diapun menjabat tanganku dan berlalu pergi menyambut kedatangan tiga orang gadis jilbaber, seperti hari kemarin.
Dalam hati aku berjanji, esok akan menjadi hari di mana kerudung dan jubah yang selama ini kukumpulkan satu-persatu akan menutupi tubuhku. Selamat datang cinta, sinarilah hatiku, hatinya dan hati semua hambamu agar kami lebih mengenal siapa Engkau.
Pesanku Untukmu
Persahabatan adalah makna dari segala makna, dia akan abadi selama persahabatan itu dapat kita hargai sebagaimana adanya, manusia berhak memilih yang lain sebagai kawannya yang jelasnya ada sesuatu yang mesti diperhatikan dan dipertahankan karena kita terlahir dari dua jenis yang berbeda dan kita terikat oleh aturan yang syar’i….jagalah hati, ucapan dan perbuatan…agar makna persahabatan kita tidak lebur pada lembah zina

CERPEN

SEPERTI HARI KEMARIN
By : Art 02

Seperti hari kemarin, sebuah topi hitam dengan warna yang sudah pudar oleh sengatan matahari beserta sepeda kumbangnya selalu menemani. Hampir setiap kali adzan subuh berkumandang, dia merebahkan diri di telapak Tuhan sembari mengadukan keluh-kesahnya pada sang Khaliq. Setelah itu dia berkemas untuk berangkat kerja sebelum kokokan ayam berhenti bersahut. Dia berusaha mengejar matahari untuk berlomba mengais rezeki.
“Pagi yang indah,” desahnya setelah jemarinya menggeser tirai jendela yang menghalangi pandangannya untuk menambatkan kekaguman akan indahnya ciptaan Tuhan.
Suara siulan mengiringi langkah kakinya menuju pintu rumah. Namun sebelum tangannya meraih daun pintu, dia menoleh ke salah satu sudut ruangan untuk mencari anak semata wayangnya. Dia membalikkan badan menuju kamar Iradah. Sekilas senyum menghiasi bibirnya disusul dengan gelengan kepala sang ayah.
“Tidurlah anakku,” bisiknya.
Dia sangat mencintai buah hatinya itu, “semalam memainkan jari di atas tuts mesin ketik untuk menyelesaikan laporan praktikum kimia yang semakin menumpuk, akan menguras tenaga dan pikiranmu.” Ucap Pak Walid lalu meninggalkan Iradah yang masih bungkam dalam tidurnya.
***
Petualangan dalam perjuangan hidup akan dimulai. Sudah setahun dia bekerja di sebuah perusahaan tekstil sebagai buruh harian dengan gaji yang tak seberapa. Setiap hari dia menguji kesabarannya di antara tumpukan-tumpukan kain batik yang akan dihiasai dengan berbagai motif melalui tangannya sendiri. Ketika matahari tergelincir di ufuk barat, Pak Walid serta merta tersenyum ceria karena malam menjemput kepulangannya untuk merajut kasih dan kenangan di rumah mungilnya.
“Assalamu’alaikum.” Ucapnya dari balik pintu. Tetapi jawaban Rada yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba.
“Rada… Rada… kamu ada di mana?” lanjutnya sambil melangkahkan kakinya ke ruang dapur. Namun sosok sang anak tidak juga dia jumpai. Dia malah disambut dengan senyuman secangkir kopi hangat dan secarik kertas bergoreskan tinta hitam.
“Ayah… malam ini Rada tidak pulang. Jika ayah lapar, makan malam sudah Rada siapkan di atas meja.”
Seberkas sinar kerinduan yang terpancar di wajah Pak Walid tiba-tiba redup. Bungkusan makanan kecil di tangannya dibiarkan dingin. Ada yang pergi dalam hidupnya. Semenjak Irada berkuliah dan disibukkan dengan berbagai kegiatan ekstrakulikuler. Rumah mereka bagi Rada, hanya sebatas tempat persinggahan yang memaksa Pak Walid bertualang sendiri dalam irama serunai sepi.

***
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara Iradah dari balik pintu.
“Wa’alaikum salam,” balas Pak Walid disusul dengan tarikan tangannya pada daun pintu.
Iradah tersenyum dan menjabati tangan ayahnya. Tetapi tiba-tiba desiran darahnya terhenti dan senyumnya tertahan.
“Apakah Ayah sakit?”
Pak Walid menggelengkan kepala.
“Kalau tidak, mengapa wajah ayah sangat pucat?” lanjutnya sambil memandangi wajah lelaki tua yang ada di hadapannya.
“Saya tidak apa-apa, Nak.”
Pak Walid melekatkan pandangannya pada sang anak. Kasih sayang yang terpendam meletupkan pendaran risau di hatinya.
“Rada, kamu jangan terlalu sering pulang malam. Ayah khawatir dengan keselamatanmu.”
“Ayah nggak perlu khawatir, aku sudah besar. Dan Rada yakin kerudung ini dapat menjadi pelindung buatku.” Jawab Iradah sambil menarik salah satu ujung kerudungnya.
“Tetapi saya tetap tidak yakin, Nak. Tadi siang ayah mendengar dari salah satu siaran TV swasta, seorang gadis ditemukan tewas setelah sebelumnya diperkosa oleh sekawanan pemuda. Gadis itu juga memakai kerudung sama sepertimu.”
“Berarti, Ayah masih ragu dengan kerudung ini dan menafihkan janji Tuhan.”
“Bukan begitu, Nak. Kejahatan itu tidak pernah mengenal apa dan siapa. Jika nafsu bergejolak dan kesempatan memberi peluang, mereka dapat melakukan apa saja. Kehadiran-Nya untuk memberi perlindungan kepada manusia memang senantiasa ada, dan mewujudnya perlindungan itu tergantung dari usaha manusia, makanya Allah menganjurkan kita untuk selalu berhati-hati dan menjaga diri.”
Irada terdiam dan merenungi ucapan ayahnya. Tetapi lagi-lagi ambisi tidak memberi kesempatan kepada hatinya untuk menerima ucapan itu.
“Aku tidak bisa, Ayah.” Ucapnya kemudian berlalu dari hadapan Pak Walid.
Ada setitik air mata yang coba disembunyikan dari balik senyumnya. Garis-garis ketuaan yang menghiasi wajahnya semakin berkerut. Dia memaklumi sikap Iradah yang tidak pernah betah di rumah, hanyalah wujud pelampiasannya akan rasa kehilangan dan kesendirian sejak ibunya pergi dengan lelaki lain. Tetapi walau bagaimana pun dia sangat mencintai putrinya dan hati nuraninya senantiasa membisikkan kerisauan setiap kali anaknya tidak ada di rumah.
“Maafkan ayahmu ini yang tak mampu menjadi ayah dan sekaligus ibu yang baik buatmu,” desahnya sambil menyandarkan diri di sisi pembaringan ditemani sebatang rokok yang dibiarkan mengepulkan asap.
Dengan langkah perlahan, dia menghampiri sebuah bingkai foto yang terpajang di dinding rumahnya. Diusapnya debu yang mengaburkan wajah sosok manusia dalam sketsa yang terbingkai dan ditatapnya wajah polos Iradah kecil.
“Mengapa waktu begitu cepat berlalu? Mengapa dia merampasmu dari pelukku? Bukankah sejak kecil engkau sangat dekat dengan Ayah. Kemana pun Ayah pergi engkau pasti merengek untuk ikut. Apakah kau masih ingat, saat kakimu terkena terali sepeda karena tertidur di gandengan sepeda ayah?” Pak Walid merangkai dialog dalam kebisuan sketsa Iradah kecil.
Di luar sana, ada air mata yang menetes, ada kesedihan tak terkira dan rasa bersalah yang menghadirkan fluktuasi dalam sebuah jiwa. Iradah menyaksikan kepiluan yang membaluti wajah ayahnya. Diam-diam, ternyata sedari tadi dia mendengarkan ratapan Ayah. Baru kali ini dia melihat air mata yang tumpah dari kelopak mata yang dipaksakan tegar oleh ayahnya.
“Apakah yang membuatnya menangis? Seberapa besarkah arti cintanya padaku? Apakah dosa ini sudah semakin menebal sehingga membatasi pandanganku melihat gumpalan derita Ayah?”
Air mata itu menyudutkan Iradah pada keterasingan hati. Aura ketegaran sang ayah membuat dia menyadari bahwa selama ini kesibukan menjauhkannya dari kasih ayah. Dia menggadaikan kewajibannya dengan ambisi pribadi untuk menjadi seorang aktivis. Di mata kawan-kawannya dia mampu mengukir prestasi gemilang yang menjadikannya buah bibir. Tetapi salah satu sisi hidupnya terlupakan dan dia gagal meraih bintang dalam keluarganya, meskipun sang ayah tidak pernah menuntut balas budi. Iradah menghamburkan tangisnya, tanpa berani mengusik romantisme masa lalu yang dirajut sang Ayah. Mereka terdiam dalam keheningan malam dan menyisakan titik-titik air mata pengakuan mengiringi hujan gerimis yang menyapa malam.
***
Masih seperti hari kemarin, sebuah topi dan sepeda kumbang menjadi kawannya. Dia kembali mengadu nasib bersama dinginnya udara pagi dan tebaran debu-debu jalanan yang selalu hadir mengisi kerongkongannya. Di perempatan jalan, kakinya berhenti menggayuh sepeda, jalan yang membentang di hadapannya tiba-tiba mengecil, pohon-pohon yang berdiri kokoh di sisi jalan satu persatu tercabut dan terbang menghampirinya dan di atas sana langit terasa bergemuruh. Wajahnya berubah pucat dan semua menjadi gelap.
Selang beberapa waktu, suasana telah berubah. Tak ada topi, tak ada sepeda kumbang dan berganti dengan satu tubuh yang terbaring lemah dalam sebuah ruangan berukuran 3 x 4 cm, beserta selang infus dan oksigennya. Pak Walid harus di opname akibat paru-paru basah yang dideritanya.
“Air muka penyesalan terpancar di wajah Iradah. “Maafkan aku ayah.”
“Tidak ada yang perlu Ayah maafkan, Nak.” Jawab Pak Walid dengan suara serak.
Sekarang, ada yang berbeda dari hari kemarin. Kerinduan yang selama ini pergi kembali menyapa. Tak ada tangis karena air mata enggan menampakkan diri di hadapan senyuman ayah dan anaknya. Akankah hari esok seperti hari kemarin? Ataukah secercah harapan baru akan mewarnai hari esok? Takjub dan ucapan syukur mengalun dari bibir mungil Iradah akan indahnya kebersamaan.

Makassar, 11 Juni 2005

PUISI UNTUK ADIKKU

SEBUAH PUISI UNTUK ADIKKU

sepertinya aku ingin mengajak Tuhanku, agar
kami berkata kepada adikku :

kabur terlalu samar
engkau terkasih
menepi sudah aku, dari kejauhan datangku

sembunyi sunyi
kau yang ku pilih
meski sudah aku jelang, waktu yang terjauh

kemarilah dari kerinduan
jangan simpan pucatnya matamu
kelak kugenggam tanganmu langkahi ragu
kesepian kita bersama
adalah debar janji
mengisi sunyi hidup ini

dan sepertinya aku ingin mengajak Tuhanku, untuk
berkunjung ke jiwa adikku, untuk menetap di sana dan selalu
mendengar nyanyiannya :

kasihilah aku, bila sepi adalah waktu, bila mimpi adalah ragu
milikilah aku, dengan utuh dan sempurna
dan taruhlah di mataku bintang, di hatiku cakrawala
agar tak pernah berpisah dari tanganMu
selalu merajut benang-benang cinta
selalu melihat wajah-wajah surga
a poem for niart
habib

Jejak Tersisa

    Nama :
    Web :
    Jejak :
    :) :( :D :p :(( :)) :x
Muchniart Production @ 2006