Wednesday, November 30, 2005

JERAMI HIJAU (Sebuah Puisi)

Masih seperti kemarin
Padi mulai berisi
Dan arit siap memetik

Menyisakan rumpunan
Jerami kering
Yang perlahan lapuk

Selaksa sinar
Kehijauan terpancar
Kala jerami kering
Tersapu siang

Ada jerami hijau
Yang tersulur sendiri
berusaha lepas dan lari

setangkai jerami hijau
Ditengah petaka panas
Mencari jalan
Menembus kegetiran
Antara tetap hidup
Atau mati bersama jerami kering

Makassar, 1 Desember 2005

Elegi sepenggal hari ( Sebuah Puisi)

Pagi, tatkala jalan
Membasa....
Kusaksikan puluhan perempuan desa
Menarik sabit
Terlilit kebaya
Berjalan riang
Bergandeng canda
Mentari menarik simpati

Siang, tetesan keringat
Menjatuh....
Usapan manja mencuat
Kerlingat mata perih tertutup
Mentari menerjang ganas

Senja, langkah bergegas
Kembali....
Gemerincing gelang terdengar
Gadis desa melipat selendang
Bersandar pada pohon lelahnya
Tak sadar, ia terlelap
Dan bencana itu datang
Kesuciannya pergi bagai mimpi
Membalut malam, menjemput kesengsaraan

Kini, ia hanya mampu
Menatap....
Namu diam, adalah pilihannya
Karena, petaka melahirkan kehinaan
Sedangkan ia tak pernah tahu
Dan tak akan ingin
Bukankah itu adalah kehendak-Nya juga?

Makassar, 1 desember 2005

Wednesday, November 23, 2005

Pendar risau (sebuah puisi)

Untukmu yang menabuh ikrar
Kucipta harap yang tulus
Kugubah syair yang halus
Dan kuharap Cinta yang ikhlas

Namun kulihat ada segumpal
Awan hitam
Ukiran kata yang terkirim
Melelehkan lilin-lilin hatiku
Secerca sinar yang kupertahankan hidup
Redup dan menyisakan lelehan putih

Tapi akan tetap ku jalin ia
Agar sumbunya mampu
Mengidupkan sinar yang kau kirim
Lewat kata yang kemarin

makassar, 23 Nopember 2005
To K' M_H

Senandung Pagi

Sebilah cahaya menikam mataku
Tatkala kelopaknya perlahan terbuka
Dzikir coba kutabur
Menemani riangnya sang pagi
Menyambut senyum mentari

Altar alam mulai menantang
Langkah manusia akan menyeruak
Takbir pun mengiringinya
Namun tak sedikit yang lupa diri
Menghamba pada dunia
Menuhankan jabatan
Menuduh bukan masalah
Membunuh sudah biasa

Senandung pagi lelah
Tak seindah hari kemarin
Sunyi oleh kejujuran
Samar dengan keihklasan
Parau oleh gilasan ambisi
Semua salah
Dan aku bingung

Senandung pagi luruh
Dan entah kapan kan merdu lagi
Ku harap ulur kasihmu
sahabat....agar
Senandung itu membangunkan aku lagi

makassar, 23 November 2005
Buat temannya K' Samsir

Monday, November 21, 2005

Senandung Angin (sebuah puisi)

Ketika kubertanya pada angin
Tentang dia yang disana
Kudengar berhembus pelan
Mengantarkan bahasa jiwa seorang kawan

Lihatlah dibalik tiraimu
Diantara gelapnya malam
Senyumnya menghalau purnama
Diantara teriknya mentari
Tulusnya meneduh bumi
Tetaplah menjalin pelangi bersamanya
Dan himpunlah setiap tetes jiwa
Agar aku dan kamu
Setia merajut kasih

Bawalah setiap helai
harapmu..
Bisiki aku jika kau rindu
Biar senandung Cinta
Tetap menjalin ceria
dihatimu..hatinya dan hati kita

makassar, 20 November 2005

Saturday, November 19, 2005

Tarian Ilalang (Sebuah Puisi )

Lambaian benang halus
Menyapa lembut
Bersama ia menari
Meskipun irama pagi
Tak seriang kemarin

Sari-sari lembutnya
sesekali dibiarkan gugur
menemani bisikan mentari

saat siang telah tertambat
putihnya ilalang kian pudar
namun ilalang
tak berhenti menari
selama angin
berhembus sepoi

lantas hadirlah
gerakan membentak
tarian ilalang terhenti
entah tangan siapa
yang mencabutnya?
hingga ia terkulai
dan senyum pun tak mau

makassar, 19 november 2005

Tarian Ilalang (Sebuah Puisi )

Lambaian benang halus
Menyapa lembut
Bersama ia menari
Meskipun irama pagi
Tak seriang kemarin

Sari-sari lembutnya
sesekali dibiarkan gugur
menemani bisikan mentari

saat siang telah tertambat
putihnya ilalang kian pudar
namun ilalang
tak berhenti menari
selama angin
berhembus sepoi

lantas hadirlah
gerakan membentak
tarian ilalang terhenti
entah tangan siapa
yang mencabutnya?
hingga ia terkulai
dan senyum pun tak mau

makassar, 19 november 2005

Thursday, November 17, 2005

CERITA SELEMBAR DAUN ( Sebuah Puisi )

Kelopak senja gugur meranum
Menikam hitamnya tanah tandus
Menindih ketakberdayaan rumput
Tetapi dia dipermainkan angin
Dan hanyut dalam pusaran badai

Kini dia melayang pasrah
Diatas seretan air berarus
Sesekali riak mempermainkannya
Namun apa yang mesti
Dia lakukan???
nafaspun tak cukup mendetakkan nadi
Dia kini telah mati
Diantara rindu dan dendamnya

YANG KUCINTA ( Sebuah Puisi )

Engkau sering bertanya
Siapakah yang kucinta?
Maka sekarang dengar jawabku
Yang kucinta adalah dia
Yang telah merangkulku
Dalam rahimnya
Yang telah membuaiku
Di atas pangkuannya
Dan menyapihku dengan Cinta
Dialah yang kasihnya tak tuntut balas
Dan dia pulalah yang mengajarkan arti hidup

Kemudian engkau lagi-lagi bertanya
Tentang siapa yang kucinta
Lantas kuberkata
Yang kucinta adalah dia
Sosok yang menabur janji
Kala bidadarinya telah pergi
Yang kucinta adalah
Dia yang menari bersamaku dalam melodi usia

Merekalah yang kucinta
Merekalah yang kurindu
Bukan kamu dan dia
Kerana selain cinta-Nya
Dan cinta mereka
Aku meragu akan keihklasan cinta lain

makassar, 14 November 2005

JANGAN... JANGAN (Sebuah Puisi )

Jangan paksa aku berdiri
Jika bersimpuh lebih baik untukku

Jangan ajak aku berdiri
Jika melangkah pelan kurasa pasti

Jangan seru aku dengan lafazmu
Jika kurasa aku bukan bagian darimu

Sebab aku tak ingin
Hidup dalam bayang-bayangmu
Aku ingin segalanya
Diawali dengan keihklasan

Mungkin engkau akan berucap
Aku egois!!!
Namun sekali lagi
Jangan menerka
Sebab sangkaanmu tak mesti benar
Jangan... jangan dan jangan!!!

Makassar, 14 November 2005

Monday, November 14, 2005

RUMAH PANGGUNG ( sebuah Cerpen )

By : Art 02

Pukul 21.00 WITA, kutelusuri sebuah gang kecil menuju pondokanku yang baru. Sudah hampir seminggu aku mendiami pondokan itu. Penghuninya kebanyakan mahasiswa kelas rendahan seperti aku. Dan hampir seminggu pula aku melintasi gang ini, namun keterasingan yang kurasa belum juga sirna. Aku juga tak tahu, mengapa lingkungan yang baru ini terkesan sangat tak bersahabat. Padahal sudahku coba menjalin keakraban dengan beberapa tetangga terdekatku. Bahkan setiap aku pulang kampung tak lupa kubagikan oleh-oleh buat mereka. Tetapi hingga detik ini kurasa itu sia-sia saja. Setiap malam yang dapat aku saksikan saat aku pulang kerja adalah pemandangan yang sama. Yaitu sekelompok pemuda sedang asyik bercanda disertai dengan beberapa botol minuman beralkohol. Jika pagi telah tiba alunan musik dangdut yang saling bertalu terdengar begitu keras dari sound syistem penghuni rumah semi permanen yang memadati sepanjang gang itu.
Aku seringkali berpikir, mungkin suatu saat kawasan ini akan tergusur juga oleh dinas keindahan kota, sebagaimana yang sering aku saksikan di layar TV. Tetapi untuk saat ini aku berdoa semoga hal itu tidak terjadi, karena bagiku inilah satu-satunya tempat yang strategis untuk menghemat dana transpor antara rumah, kampus dan tempatku bekerja. Bersyukurlah, saat ini semuanya bisa kujangkau dengan jalan kaki, mengingat harga BBM semakin membukit, dan otomatis hal itu berpengaruh terhadap naiknya tarif angkot. Sehingga aku yang terlanjur dimiskinkan oleh yang mengaku kaya menjadi semakin tercekik.
Pernah suatu ketika, ada seorang teman yang menawarkan aku untuk pindah ketempat kost-kostannya yang terletak pada salah satu kawasan real estate. Namun aku tetap memilih disini karena menurutku aku ke kota metropolitan bukan untuk rekreasi tetapi kuliah!!! Orang tuaku di kampung yang nota bene adalah pedagang kaki lima pasti tidak akan sanggup mendanai keperluan yang terkesan hedonis, jika aku memilih itu. Cukuplah aku bisa dikuliahkan dan urusan hura-hura sebaiknya dilupakan dulu. Rumahku saat ini terdiri dari beberapa kamar yang saling berhadapan atau lebih dikenal dengan sapaan pondokan. Ia berada di sudut gang dan diapit oleh rumah-rumah kost yang lain beserta rumah penduduk setempat.
Satu hal yang masih menjadi tanda tanya dibenakku, setiap kali aku berdiri di jendela kamarku adalah mitos rumah panggung yang menjadi buah bibir penduduk setempat. Rumah itu berdiri tegak tak jauh dari jendela kamarku, sehingga setiap kali aku membuka tirai jendela, pemandangan pertama yang menusuk mataku adalah rumah panggung itu. Beberapa kali penduduk pernah memperingatkanku agar berhati-hati dengan rumah panggung tersebut, namun aku tak memberikan tanggapan apa-apa karena menurutku rumah itu tampak biasa saja. Tak ada kesan menakutkan apalagi mesti harus kujahui. Kalau sudah begini aku lebih memilih diam, setiap kali nada-nada sumbang itu kudengar dan selanjutnya kukubur rasa lelah diantara heningnya malam yang sesekali diriuhkan oleh petikan gitar pemuda-pemuda yang ingin menghabiskan malamnya dipinggiran jalan.

***

Tak terasa ternyata malam menemaniku begitu lama. Pukul tiga dini hari aku masih tetap terjaga. Mungkin ini adalah pengaruh secangkir kopi yang kuteguk semalam, disaat mataku mulai meredup.
“Aku harus tetap terbangun karena tugas kuliahku belum selesai.” Bentakku dalam hati sebagai motivasi diri.
Menjelang adzan subuh berkumandang, kembali kugeser tirai jendela kamarku untuk menjemput cahaya benang putih dicakrawala. Namun lagi-lagi pandanganku berpendar pada rumah panggung itu. Tetapi sebagaimana biasanya, kesan yang dapat kulihat, rumah itu tampak sunyi dan gelap gulita. Kupalingkan pandanganku ke arah yang lain, dan tiba-tiba saja sekelebat cahaya lampu pijar menerangi sisi belakang rumah itu dan selanjutnya cahaya itu padam.
Mungkinkah rumah itu berpenghuni? Atau jangan-jangan ada yang ingin merampok isi rumah itu? Pikirku.
Dan seketika pikiranku tentang apa yang kusaksikan tadi menjadi buyar oleh kehadiran Pak Darmo, seorang imam mesjid di tempat itu.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya.
“Wa’alaikum salam,” jawabku sambil melangkah ke arah sumber suara.
“Bagaimana kabarmu, Nak? Apa kamu betah tinggal di tempat ini?” tanyanya.
Aku tersenyum karena kukira dia akan mengajakku shalat subuh berjama’ah, tetapi ternyata shalat subuh telah usai mereka laksanakan. Aku baru tersadar bahwa sedari tadi waktuku begitu banyak terkuras oleh peristiwa rumah panggung tadi. Sampai-sampai adzan subuh tak sempat kudengar. Astaghfirullah .
“Kamu baik- baik saja?” lanjutnya, sambil menatap aneh ke arahku.
“Iy… iya, Pak!” jawabku dengan nada terkejud.
“Kalau begitu bapak pamit dulu. Oh yah, pukul delapan nanti penduduk akan mengadakan kerja bakti untuk membersihkan selokan, dan tumpukan sampah di pojok sana.” Ucap Pak Darmo, sambil menunjuk tumpukan sampah yang berada di ujung lorong. Setelah itu dia bergegas pergi.
Kuhirup udara pagi dalam-dalam, dan segera menghampiri keran air di belakang rumahku untuk berwudhu sebelum subuh benar-benar berlalu dan kutambatkan diriku di telapak Tuhan.

***
“Kak, jangan dekat-dekat rumah itu,” ucap seorang anak kecil saat kakiku telah berpijak di bawah kolong rumah panggung tersebut.
Aku terdiam sejenak.
“Hei… sobat!!! Sebaiknya kamu istirahat saja.” Teriak penduduk yang lain.
Kucoba memalingkan wajah, untuk menghindri bau tak sedap dari aroma air selokan dan kuperhatikan disekelilingku. Ternyata semuanya sudah bersih, kecuali halaman rumah panggung ini. Satu persatu penduduk memasuki atapnya masing-masing. Sementara sebagaian yang lain mulai menjalankan aktivitas rutinnya seperti menggayuh becak dan menjajakkan kue-kue kecil.
Dengan agak berat, kulangkahkan kakiku untuk kembali ke pondokanku juga, istirahat dan bersiap-siap ke toko MEBEL ABADI tempatku bekerja.

***
Hari ini, aku harus kerja lembur. Ada pasokan barang yang baru tiba malam tadi. Aku sangat lelah, langkahku kubiarkan lambat dan sesekali mataku menoleh pada sekelompok pemuda yang lagi-lagi dimabukkan oleh alkohol. Aku berusaha untuk tidak memperdulikan mereka, karena mereka sudah tak bisa lagi diingatkan. Telinga mereka sudah tuli dan hati mereka telah mati. Yang dapat aku rasa, malam ini ternyata udara begitu dingin dan memaksa aku untuk menyalakan sebatang rokok agar dapat menghela kebekuan malam. Aku terus berjalan, sesekali kuperhatikan kepulan asap rokokku yang membentuk lingkaran asap. Tanpa kusadari ternyata aku sudah berada tidak jauh dari rumah panggung itu. Ini berarti sebentar lagi pondokanku akan kucapai. Kupercepat langkahku agar dapat cepat tiba di pondokku, tetapi tiba-tiba langkahku terhenti saat kusaksikan lagi tebaran cahaya lampu pijar di rumah panggung itu. Aku terpaksa menghentikan langkah dan kulirik seiko dipergelangan tanganku. PUKUL 01.00 DINI HARI!!!!
“Siapa sebenarnya yang menyalakan lampu pijar itu? Bukankan rumah ini tak berpenghuni!” ucapku setengah berbisik.
Entah kekuatan apa yang menstimulus keberanianku, sehingga tanpa sadar aku telah berdiri di atas beranda rumah itu. Kubuka perlahan-lahan daun pintunya. Dengan dada berdebar kulangkahkan kakiku ke dalamnya dan aku sangat terkejut. Saat sebatang korek api kunyalakan dan kudapati beberapa helai kain putih menutupi perabot-perabot yang ada di dalam rumah ini. Dan yang paling membuat aku terkejut, ketika kulangkahkan kakiku menuju cahaya lampu pijar yang kulihat tadi dan kudapati beberapa macam makanan untuk sesajen yang dihiasi dengan lilin-lilin merah. Sesaat tenggorokanku terasa sesak oleh kepulan asap dupa yang terperangkap dalam ruangan itu.



Makassar, 13 November 2005

Sunday, November 13, 2005

Seruling Malam III ( Sebuah Puisi )

Nada enggan mengalun
Lantaran diluar sana terdengar jeritan
Entah apa dan siapa?
Karena rintihan hujan
Seakan menyumbat semuanya
Perlahan kuraih seruling
Dan kutiupkan kesan hatiku saat ini
Lantas kudapati
Sebuah irama yang tak kumengerti

Makassar, 14 November 2005

Saturday, November 12, 2005

Pena Berduri ( Sebuah Puisi )

Kutorehkan sebuah pena
Pada selembar kertas kesendirian
Lantas setitik tinta
Mulai menodai kepolosan lembaran

Aku merasa simpati
Karena ia tertikam belati
Lantas kukirim lembaran kertas bernoda
Karena aku bukanlah sosok dewa suci
Ia kini tertawa
hingga kudengar kabar
Pena tak selamanya jujur merangkai
Karena ternyata goresan penaku
Terbalas dengan
Kecurangan pena berduri

Makassar, 11 November 2005

Perawan Desa ( Sebuah Puisi )

Kutatap ia melangkah gemulai
Menuruni sebuah anak sungai
Dengan seutas kain
Membaluti pancaran mahkotanya
Sesekali ia mengibaskan selendang itu
Tatkala ia mencoba menggelitik bahunya
Dipinggulnya yang ramping
Bertengger sebuah bakul
Tempat ia menaruh harap

Kini kucoba menyapanya dengan senyum
Tetapi dia malah tertunduk malu
Wajahnya yang memerah
Coba ia sembunyi
Dibalik tabir keanggunannya

Berbeda...sungguh berbeda...
Ini adalah pemandangan yang alami
Yang tak dapat kulihat lagi
Karena zaman telah melangkah jauh
Bahkan berusaha mengasingkan
Perawan desaku

Modernisasi
Mencipta topeng kosmetik
Dan membuat perawan desaku menghamba
Sehingga hilanglah harapku
Akan keterpesonaan pada
Sosok perawan desa

Makassar, 09 Novemver 2005

Wednesday, November 09, 2005

gadis tepi pantai (Sebuah Puisi)

Suatu senja kau bercerita
tentang seorang gadis di tepi pantai
Menyeka airmata yang bersimbah
Berteriak menembuas ketegaran karang
Terhempas dalam gulungan ombak
Dan berjalan lunglai kala malam mulai menyapa

Suatu senja engkau berkata
Dapatkah gadis itu mencipta
Siluet halus tamaran senyum
Dan melukis di pinggiran pantai
Membelah pasir putih
Tetapi engkau tak pernah
Coba bertanya
Siapakah gadis itu?
Padahal dia adalah diriku sendiri
Dan sedari tadi engkau telah
Bercerita apa yang telah aku tahu

Makassar, 09 November 2005

PENGKHIANATAN JANJI (Sebuah Puisi)

Dalam hidup
Ada yang datang
Ada yang pergi
Silih berganti mencipta makna
Bahkan terkadang mengugah
Mutiara putih berjalan
Meninggalkan singgasananya

Bukankah dulu engkau berjanji
Akan merangkai kamboja
Menghiasi balutan kerudungku
Dan akan mengusung tandu
Pada gemerlapnya hari

Tetapi semuanya tersapu senja
Ketika bidadari malam
Mengembangkans senyum
Engkau terlupa
Dan lelap dibawah keteduhan sinarnya
Janji hanyalah tinggal
Sepenggal asa
Yang akan membusuk
Oleh bakteri pengurai kata

Makassar, 09 November 2005

INSTRUMEN HATI ( Sebuah Puisi )

Jangan sekali lagi kau usik lamunanku
Karena ingin kubiarkan sendiri
Membelai sepi
Menghapus banyang-bayang yang berkelebat
Diantara puing-puing kegundahanku
Biarkan melodi kasih
Mengalun pelan
Dalam hati ini

Seandainya engkau tahu
Betapa hidup adalah nada
Maka mungkin
Engkau akan duduk terdiam
Dan mendengarkan
Instrumen yang kau cipta
Tetapi engkau lebih memilih
Menangis kala sedih menikam
Teriak saat kejutan menghampiri
Tertawa jika bahagia menyapa
Dimana lafazd syukurmu
Aku juga tak tahu?
Padahal dalam segumpal daging
Ada kedamaian terpendam
Bukan hura-hura atau hedonisme
Ada irama hati
Yang selayaknya membuatmu bersyukur

Makassar. 09 November 2005

TUBUH TAK BERBADAN (Sebuah Puisi)

Dialog yang sarat akan komedi
Tertawa membahana disetiap
Pelosok-pelosok ruang suci
riuh, ceria, diam dan tertidur

Pagi menjelma, sapaan tawa
Kembali membahana
Namun yang dulu ceria, tertawa
Kini tercegang menatap
Asal inspirasinya tersenyum aneh
Digoncangnya tubuh
Yang bersimbah keringat itu
Tetapi tak ada balasan dan kosong

Hingga ketika kulihat senyumnya kembali
Di sisi tempatnya bersandar
Kesadaranku mulai bangkit
Tubuhnya kini tak berbadan
Badannya telah menyatu dengan tanah
Dan tubuhnya menjelma dan bersayap
Untuk terbang pada setiap jeritan hatiku
Dan hinggap membelai rambut dukaku
Serta berdongeng untuk adik kecilku

Makassar, 08 November 2005

Sunday, November 06, 2005

BERITA UNTUK SAHABAT ( Sebuah Puisi )

Aku lantunkan melodi Cintaku
Untuk sosok yang memanggil namaku
Dari balik deburan ombak dan hempasan senja
Aku tak kuasa saat ia mengulurkan tangan
Ingin kusambut kemesraan yang dihadirkan
Lewat lengkungan bibirnya
Dan tulus tatapnya

Aku merindukan terpaan badai
Disela-sela kilauan pasir putih
Aku mendambakan tawa jenaka
Yang membela indahnya nyanyian alam
Aku menangih ucapan janji
Akan kekekalan ada-nya kita

Kini kukabarkan berita untukmu
Yang pernah menabur Cinta
Yang dulu menabuh genderang persahabatan
Yang kini berada antah berantah
Aku tetap merindu
Lafaz ceriamu
Canda riangmu
Apalagi ketukan pasir putih kala itu
Pasti menanti aku, kamu dan kita.

Makassar, 4 November 2005
Specialy to my friend's, K'dyah, Dinda Rasyita, k'Yaya dan kawan-kawan yang bersamaku tempo hari di Tanjung Karang, Donggala.

Jejak Tersisa

    Nama :
    Web :
    Jejak :
    :) :( :D :p :(( :)) :x
Muchniart Production @ 2006