Saturday, October 29, 2005

SEKEPING HATI TERTAMBAT ( Sebuah Puisi )

Sekeping hati tertambat
Pada sebuah nama tak beraras
Dia perlahan terperangkap
dan selanjutnya mengharap iba

Sekeping hati tertambat
Dan selanjutnya merambat
Dia mengibaskan norma
Dan menuhankan nafsu
Menciptakan kubangan maksiat
Memburamkan kemurnian nama

Sekeping hati tertambat
Membisikkan luka pada dua anak manusia
Yang mengaku salah
Disaat noda telah bernanah

Makassar, 29 Oktober 2005

SEKEPING HATI TERBELAH ( Sebuah Puisi )

Syaraf yang sejengkal
Menjerat tubuh yang tegak
Membiuskan nafsu amarah
Memnggertak impian bersama
Menghancur dan menyatu

Embrio yang mewujud ini
Membentuk garis-garis wajah
Tanpa rupa dan harapan
Sebab segalanya telah terampas
Tatkala sibayi mungil mulai menangis

Ada yang hilang
Dalam sisi kemanusiaan kita
Ada yang pergi meninggalkan
Kedirian manusia
padahal Dia telah menyeruh
bahwa semua dari Allah dan akan kembali padanya

makassar, 29 Oktober 2005

SKETSA ( Sebua Puisi )

Siluet ketuaan berbaris pada sebuah wajah
Senyum bahasa lelah
Menghadirkan ilustrasi
Sekeping hati pudar
Rangka-rangka yang rapuh
Berusaha menegakkan gumpalan
daging, agar dia layak
Disapa manusia

Kau sambut kemanjaanku
Dengan keteduhan sebuah tatapan
Kau rangkul egoku
Dengan lafaz kelembutan
Berbagi ceria terpaksa terlukis
Demi ketabahan sang permata hati

Lambaian tangan sang bidadari
Tujuh tahun kemarin
Tak selangkah menggerakkan
Engkau mengejar bidadari lain
Engkau tenggelamkan dirimu
Dalam lautan Cinta hakiki
Engkau leburkan hatimu
Ditengah ratapan sapaan malam
Menanti secercah asa
Bersama hamparan
Permata berbisik

Makassar, 28 Oktober 2005

MUNAJAT KEFAKIRAN HAMBA ( Sebuah Puisi )

Bersama lengkingan waktu
Yang terus menjerit
Kurasa ada yang berlalu
Namun tak sanggup kupandangi
Lantaran dia terus memanggilku
Dibalik tirai usang yang pudar

Lalu kutanya pada hati
Apakah dia lapang
Pada pengkhianatan sumpah
Yang pernah kuucap
Saat segumpal janin
Mendiami rahim?
Lantas kudengar ia menjerit

Kucoba berkaca pada kilauan cermin
Namun balasannya adalah keretakan
Sehingga biasan cahaya sulit terpancar
Aku menjerit, sebab maaf juga
Ingin kupanggil
Layaknya mereka

Sekarang kurasa Tuhan semakin murkah
Karena kasihnya kutikam dengan
Keangkaraan nafsu
Padahal aku juga rindu usapan kasih-Nya
Lewat tangan taubatku yang kuulurkan
Dan kuharap dia akan menyambutnya
Dalam munajat kefakiran hamba

Makassar, 29 Oktober 2005, For my new friend..INDRA..

Dua Lelaki ( sebuah Puisi )

Pada aliran nadi yang tersumbat
Terlukis dua sosok yang pasti
Kedua lelaki itu berjalan
Menelusuri teratak nasib
Bertualang menggapai impian kasih
Merajut kembali puing-puing cinta
Yang berserakan
Bersama si buah hati
Saling megisi dan menghibur

Dua lelaki itu menatap jendela
Menanti sang bidadari
YAng telah melambai
Menunggu bayang-bayang
Yang sulit mewujud
Tapi cinta dan canda tetap
Menghiasi guratan wajahnya

Makassar, 28 Oktober 2005

SEPOTONG ROTI ( Sebuah Puisi )

Semuanya berawal dari sepotong roti
Ketika ia hadir mengundang selera
Ketika ia datang membuyarkan ambisi

Sepotong roti
Berlanjut perang
Ia meletupkan bara
Yang terkubur
Ia mendzalimi hati
Yang ingin mengirimkan suluh
Karena sepotong roti
Aku, kamu dan dia terlunta
Deburan air mata tumpah
Kokohnya hati luruh
Lantunan maaf berlalu
Kisah dan cerita hambar

Iya... semuanya berawal dari sepotong roti
Carut marut mencakar bara
Pontang-panting karena rupiah
Dahi berkerut mewarnai usia
Otot menegang tersembul di dahi

Karena sepotong roti
Kebeningan pikiran terserang virus
Dia sakit, aku dan juga kamu
Diantara lengkingan ramadhan
Tak ada yang mengakhiri
Semuanya menanti jawab
Akan harapan pada sepotong roti

makassar, 28 Oktober 2005
Tuk' Seorang ibu yang memarahi anaknya di pinggiran lampu merah Alauddin hanya karena sepotong roti...sayangi anakmu....!!!!!

GALAU ( Sebuah Puisi )

Ada yang datang
Ada yang pergi
Silih berganti
Saling bertaut menjalin
Barisan kerinduan
Seumpama sapaan itu ada
Lantas apakah tawa bersembunyi dibaliknya?
Ada risau yang menerkam
Galau turut bersambut
Hati menciut
Nyali mengecil
Menyatu dalam kegalauan hati

Makassar, 28 Oktober 2005

Wednesday, October 26, 2005

MENANTI JAWAB ( Sebuah Cerpen )

By : Art 02

“Aneh, setiap kali aku duduk di sini, setiap itu juga aku rasakan ada yang mengintaiku. Tapi siapa yah?” Arya terus berguman sambil menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon Akasia.
“Arya, kamu lagi ngapain,” sapa seorang lelaki jangkung yang akrab dipanggil Johan.
Arya yang mendengar sapaan itu hanya membalasnya dengan senyuman kecil.
“Kamu tahu nggak, anak baru yang masuk ke kampus kita seminggu yang lal ternyata pindahan dari UI ( Universitas Indonesia ).”
“Kalau itu sih aku sudah tahu,” balas Arya dengan jari tangan yang terus memainkan hamparan rumput di hadapannya.
“Arya, gadis itu lumayan juga yah.” Johan kembali angkat bicara.
“Tuhkan… penyakit kamu kambuh lagi.”
Johan menanggapi ucapan Arya dengan senyum santai.
“Udah deh Jo!” seru Arya sambil menarik lengan kawannya untuk bergegas ke ruangan kelas karena sebentar lagi perkuliahan akan dimulai.
Seperti biasanya, jadwal kuliah sore pasti akan diwarnai wajah-wajah kusut para mahasiswa, ada juga yang saling kirim SMS untuk menghindari rasa bosan, ada yang ngobrol diam-diam bahkan ada yang sampai tertidur. Suatu keberuntungan besar jika dosen tidak melihat gelagat mereka, kalau tidak mereka pasti akan babak belur.
“Arya, anak baru itu perhatiin kamu terus.” Sambil setengah berbisik Johan menyapa Arya.
“Itu hanya kebetulan saja,” jawab Arya dengan nada cuek.
Akan tetapi, saat dia menoleh ke sudut ruangan tempat anak baru itu duduk, ternyata memang benar. Gadis berkerudung jingga itu tengah memperhatikannya dan ketika beradu pandang dengan Arya dia langsung menundukkan wajahnya. perasaan Arya terusik oleh tatapan yang penuh tanda tanya dari kebisuan sorot matanya. Dia menyadari bahwa pancaran tatapan itu memendam luka yang sangat dalam dan harapan yang menanti jawab.
Perkuliahan kini telah berakhir dan bagai domba-domba yang kelelahan, para mahasiswa berhamburan keluar dari ruangan kelas. Arya masih tidak habis pikir dan tatapan yang penuh rahasia itu tetap membanyangi imajinasinya. Apalagi saat dia melihat langsung gadis itu mengintipnya dari balik pintu ruangan perkuliahan. Dia semakin bertanya-tanya benarkah gadis itu datang membawa anugerah kasih untuknya dan menanti uluran tangan Arya untuk menggenggam anugerah itu, sebagaimana hasil survei Johan dan kawan-kawannya.
Arya tersenyum sendiri, membayangkan dirinya dengan si gadis yang selalu mengintai dia. Arya berusaha mendekati sosok itu tetapi semakin dekat, gadis itu berusaha menjauh bahkan lari darinya.
“Dia benar-benar gadis misterius.” Guman Arya.
Waktu terus berlalu tanpa berusaha menghadirkan solusi bagi manusia yang menanti jawab. Ia akan terus berputar mengiringi perjalanan zaman yang mengantarkan manusia pada sebuah pengharapan.
Hari ini Arya sangat terkejut menyaksikan jari-jari lembut mengutak-atik tas ranselnya, yang tertinggal saat dia ke kantin kampus.
“Eh… kamu lagi ngapain!” seru Arya pada pemilik jemari lembut.
Gadus itu terdiam, rona merah di wajahnya tidak dapat dia sembunyikan.
“Maaf,” hanya itu kata yang terucap.
“Tidak bisa, kamu harus memberikan penjelasan kepadaku. Kemarin kamu menatapku seolah-olah aku ini seorang penjahat besar. Sekarang kamu membuka milik orang tanpa izin, apa sih yang kamu inginkan?” Kali kesabaran dan rasa penasaran Arya semakin memuncak.
Mata yang memerah dan jawaban yang nyaris tak terdengar mengiringi kepergian gadis itu. Dia terus berlari menghindari kegugupannya akan kenyataan yang baru saja menyapanya.

***
Keesokan harinya, Arya dikejutkan dengan kehadiran sepucuk surat yang terselip di sisi pintu lokernya.
“Benarkan, apa yang aku bilang tempo hari.” Goda Johan.
“Maksud kamu apa, Jo?”
“Gadis itu naksir sama kamu.” Balas Johan sambil tersenyum-senyum.
Arya tidak lagi memperdulikan apa ucapan Johan. Dia segera membuka surat yang kini ada di tangannya.
Assalamu’alaikum wr.wb
Dear, Arya
Aku tahu bahwa penasaran itu bukanlah hal yang menyenangkan
Aku juga merasakan hal yang sama saat ini
Kamu mungkin akan marah dan resah atas segala hal yang kuhadirkan
Namun bayangkan saja, jika manusia yang kita sayangi suatu saat
telah melambaikan tangan dan disaat yang lain hadir kembali.
Apakah engkau titisannya? Aku bingung dan maafkan aku atas kejadian kemarin.
Wassalam

Arya menoleh ke seluruh sisi ruangan untuk mencari gadis itu, namun yang dicari tidak juga menampakkan wajah. Tetapi suatu isyarat dari bisikan nuraninya membuat dia dapat menemukan, sosok yang dicari sedang termenung di taman kampus, tempatnya sering nongkrong.
“Ya, ada apa?” tanya Johan ketika melihat Arya yang tiba-tiba saja pergi meninggalkannya.
Arya seakan acuh dengan pertanyaan Johan dan terus berlari menuju taman kampus.
“Hai…,” sapa Arya dengan agak ragu.
Gadis itu berbalik menatap Arya.
“Maksud kamu apa?” tanya Arya sambil memperlihatkan sepucuk surat yang bari dia terima.
“Jangan ragu, jika kami ingin menyampaikan suatu hal aku bersedia mendengarkannya.” Lanjutnya.
Gadis itu tersenyum pada Arya.
“Astagfirullah….” Bisik Arya. Dia menyadari hatinya telah terusik oleh senyuman itu. Untuk sementara waktu keheningan membaluti mereka berdua.
“Apakah engkau benar-benar ingin mendengarkan kisahku?” tanya gadis itu dengan tiba-tiba.
Arya menganggukkan kepalanya.
“Suatu kecelakaan pesawat telah merenggut nyawa seseorang yang sangat kusanyangi, dan milikku satu-satunya. Hingga saat ini aku tidak pernah tahu di mana kuburnya karena mayatnya tidak ditemukan di lokasi kecelakaan. Dan….” Gadis itu menghentikan ceritanya.
“Dan… kenapa?” tanya Arya dengan penasaran.
“Dia mirip sekali denganmu, Arya.”
Arya terharu mendengar kisah itu. Ternyata anggapannya selama ini salah. Gadis itu tidak pernah mengharapkan kasihnya. Arya terkejud saat gadis itu memperlihatkan sebuah sketsa wajah.
“Dia ini kakakku, Andi setiawan.”
Arya seakan-akan tidak percaya dengan semua itu.
“Pertama kali aku melihat kamu pada kegiatan lokakarya nasional di Jakarta, beberapa bulan yang lalu, kurasakan dia hidup kembali. Aku berusaha mencari informasi tentang kamu, ternyata kamu kuliah di sini. Itulah sebabnya aku pindah ke kampus ini.”
Arya memalingkan wajahnya karena tidak sanggup menatap tetesan mutiara putih dari kelopak mata gadis itu yang ternyata bernama Amelia. Arya tidak tahu harus berbuat apa karena di satu sisi dia sangat tersentuh dengan cerita Amelia dan usahanya bertemu dengan Arya. Tetapi di sisi lain dia menyadari ada hijab di antara mereka.
“Lupakan saja Amelia, anggap saja semua itu tidak pernah terjadi. Perjalanan kamu masih panjang.” Ucap Arya sambil menatap Amelia.
Amelia tertunduk.
“Mengapa setiap orang yang kutemui harus berkata begitu. Melupakan sesuatu yang tersimpan dalam memori kenangan menurutku adalah wujud kepasrahan. Walaupun dia telah pergi, tetapi dia tetap di hatiku yang setiap waktu akan menjelma dan menghadirkan inspirasi serta motivasi dalam perjuangan hidupku. Aku tidak akan melupakannya karena itu sama saja mengajakku lari dari kenyataan, dan aku tidak ingin jadi seorang pengecut.” Kata Amelia
Dalam hatinya, Arya mengagumi tekad dan ketegaran hati Amelia.
“Maukah kamu menjadi adikku?” tanya Arya dengan tiba-tiba setelah sekian lama keduanya bungkam.
“Aku nggak bisa.”
“Kenapa…?”
“Aku tidak berhak memenjarakan kamu dalam egoku.”
“Bukankah kamu sedang mencari kakakmu yang hilang?”
“Iya… akan tetapi aku tidak pernah mengharapkan orang lain hadir menjadi dirinya karena kutahu itu tidak akan mungkin lagi.”
Arya akhirnya terdiam.
“Terima kasih atas simpatimu, tetapi jika aku menerima tawaranmu. Dia pasti tidak memperbolehkan hal itu.” Lanjut Amelia.
Arya menatap Amelia, tetapi Amelia semakin menyembunyikan wajahnya dari tatapan itu. Dari caranya berkata dan sikapnya yang polos Arya menyadari bahwa Amelia adalah seorang gadis yang terlahir dari keluarga religius, apalagi saat dia menundukkan wajahnya ketika Arya menatapnya. Dia seolah-olah mendapat bisikan.
“Jagalah pandanganmu….”
Amelia melangkah menjahui Arya, diiringi dengan sebuah senyuman. Dalam hati kecilnya, dia berbisik bahwa kakaknya tidak mungkin hadir kembali karena singgasana cinta telah menantinya di nirwana. Namun yang jelasnya kini mentari telah tersenyum kembali, setelah sekian lama membenamkan dirinya pada altar kesendirian. Tanya telah menemukan jawab, karena jawaban ternyata ada di depan mata.
“Subahanallah….” Bisik Arya mengiringi langkah gadis itu.

CATATAN SEORANG HAMBA (Sebuah Cerpen)

By : Art 02

20 Agustus 2005


Sepertinya aku ingin mengajak Tuhanku, agar
kami berkata kepada adikku :
kabur terlalu samar
engkau terkasih
menepi sudah aku, dari kejauhan datangku
sembunyi sunyi
kau yang ku pilih
meski sudah aku jelang, waktu yang terjauh
kemarilah dari kerinduan
jangan simpan pucatnya matamu
kelak kugenggam tanganmu langkahi ragu
kesepian kita bersama
adalah debar janji
mengisi sunyi hidup ini
Seringkali aku mengucapkan syair ini kalah kulihat mendung selimuti wajahmu. Demikian halnya jika engkau berkeluh kesah tentang hari-harimu di kampus atau jika ada yang menggoda dan mengerjaimu. Namun saat ini syair itu tak dapat lagi kusenandungkan untukmu, sebab kabut terlalu tebal menutupi malam. Padahal di sana kudengar rintihanmu semakin menyayat. Tetapi apa yang bisa kulakukan selain mengutuk Tuhan yang telah salah mencipta takdir. Aku terlanjur terperangkap pada kepongahan dinding-dinding terjal dan kokohnya terali-terali besi.
“Aku akan menjemputmu adikku.” Bisikku, saat ruang imaji mencoba mengingat seorang gadis lugu, yang tak lain adalah adik kandungku sendiri.
Malam telah menutupi ceria dan kemanjaannya dariku. Malam tak mampu melindungi kehormatannya dan Tuhan sendiri hanya dapat memejamkan mata ketika dua orang pemuda merampas kehormatannya. Padahal saat itu seharusnya Tuhan menunjukkan kuasanya, karena apalagi yang kurang dari diri adikku. Dia gadis yang begitu pemalu dan besar dalam lingkungan pesantren. Seluruh tubuhnya terbaluti jubah dan kerudung. Bahkan ketika peristiwa itu menimpanya, dia baru saja pulang dari mushallah untuk mengajarkan kalimat-kalimat Ilahi kepada anak-anak di kawasan kami.
Dalam jeruji ini, aku tak henti-hentinya bertanya pada Tuhan, “mengapa Dia menghukum adikku? Padahal dia tidak berdosa. Dia bahkan lebih suci dari mereka yang menyebut dirinya suci. Adikku hanya mencoba mengaktualkan tugasnya sebagai abdillah…. Tetapi beginikah balasan-Mu, Tuhan?”
Dan seperti biasanya, kesunyian malam, tak pernah mau menjemput jawaban Tuhan untukku. Dia malah memimpin jengkrik-jengkrik untuk berdering dan menertawaiku.
“Dimana keadilan-Mu? Padahal malam itu aku hanya ingin menolong adikku. Bukan aku pelakunya. Mengapa aku yang harus mendekam di balik jeruji ini? Maafkan aku jika malam ini aku harus berkata bahwa Engkau sedang bisu… Tuhan sedang bisu!!!!!”

25 Agustus 2005

Kudengar dari kekasihku bahwa adikku belum dapat bicara, dia depresi berat. Dia bahkan tak mengenal siapa dirinya. Dia lupa segala-galanya, bahkan lupa pada siapa pelaku pemerkosaan itu. Dan ini berarti aku akan terus mendekam di sini hingga ingatannya pulih dan aku akan semakin gila.
“Akan kutuntut kuasa-Mu, kalau sampai terjadi sesuatu dengan adikku.” Teriakku.
Dan lamat-lamat masih kudengar bisikan kekasihku mengucap kalimat istighfar. Tetapi aku tidak memperdulikannya. Kebencianku pada-Nya menutupi segalanya.

29 Agustus 2005

Kekasihku datang lagi. Dan kali ini penampilannya sangat berbeda. Dia memakai pakaian adikku, tubuhnya terbaluti kain panjang dan kepalanya ditutupi kerudung. Tetapi aku benar-benar tak suka. Seketika juga kukeluarkan tanganku dari balik jeruji besi, kemudian kuraih kerudungnya dan dia pun tersentak kaget.
“Lepaskan kerudung ini!!!!”
Dia malah menatapku dengan tajam, sambil menahan rasa sakitnya karena beberapa helai rambutnya ikut tertarik.
“Dimas, apa yang kamu lakukan, bukankah dulu engkau pernah berkata alangkah indahnya perempuan. Jika setiap jengkal tubuhnya terbaluti kerudung!” jawabnya lembut.
“Apa yang bisa kau harapkan dari selembar kain ini? Engkau sudah terlanjur ditakdirkan menjadi manusia yang lemah, kerudung ini tidak akan bisa menolongmu.” Balasku.
Kulihat mata sipitmu semakin terbelalak. Sorotannya memojokkan aku sebagai terdakwah yang pantas dihukum mati.
“Istighfar Dimas… istighfar!” ucapmu sambil memungut kembali kerudung yang kulepaskan secara kasar.
“Istighfar… ha… ha… ha. Kata-kata itu sudah basi, Yesha. Tuhanlah yang seharusnya meminta maaf padaku!” seruku.
Kulihat engkau menangis, namun aku tak peduli. Bahkan besok ketika engkau datang lagi dengan kerudung itu maka engkau bukan istriku lagi.

3 September 2005

Sudah lima hari engkau tak datang. Aku juga tak tahu bagaimana adikku. Dimataku terbayang senyumnya yang selalu menyambutku, saat aku datang ke pondokannya. Dan ketika tugas-tugas kuliah menguapkan pikiranku dan membuahkan kepenatan. Masih kuingat waktu itu, dia memperlihatkan stelan kerudung violetnya untuk dikenakan pada pengajian Ibu Minah.
“Kakak, mulai sekarang, Zakiyyah memakai kerudung.” Ucapnya polos.
Aku hanya tersenyum. Kulihat saat itu, adikku bagaikan seorang bidadari yang diutus Tuhan untukku.
“Kau sangat cantik, Dinda.” Balasku, tetapi seketika itu kulihat rona wajahmu, sedih.
“Kakak, benarkah aku cantik?”
Aku mengangguk, dan mutiara putih itu akhirnya mengalir dan menetes di kerudungmu.
Lalu kutanya,” mengapa engkau menangis?”
Engkau terdiam untuk beberapa saat, kemudian kudengar engkau berbisik.
“Kecantikan bukan untuk dipuji. Aku memakai kerudung ini, agar keliaran pandangan mereka tidak tertuju padaku. Aku memilih berkerudung karena Dia telah berjanji akan senatiasa menjagaku dan berada di sisiku. Aku memakai kerudung ini karena aku menghargai anugerah-Nya. Bukan malah menampakkan kecantikan ini. Aku….”
Ucapanmu kemudian terhenti, oleh isyarat telunjuk yang kulekatkan di bibirmu.
“Semoga Tuhan, menjaga bidadariku ini,” bisikku. Dan lagi-lagi kulihat engkau tersenyum.

7 September 2005

Seorang sipir penjara datang menjemputku. Gesekan pintu tahanan berdering keras.
“Ada yang mencarimu.” Katanya. “Tapi ingat, waktumu hanya 15 menit,” lanjutnya.
Aku berjalan, mengekor di belakang sipir itu menuju ruang besuk. Di sana kudapati Yesha, kekasihku. Dia mengembangkan senyumnya untukku.
“Dimas, bagaimana kabarmu?”
Aku tak menjawab, meskipun aku sangat ingin berteriak, aku sakit lantaran rindu padamu. Aku melangkah ke arahnya dan kuraih kerudung yang membaluti makhotanya.
“Sudah kubilang, lepas kerudung ini!!!”
hampir saja aku melayangkan tamparanku ke arah pipinya yang mulus, tetapi sebuah gaungan suara tiba-tiba menghentikanku.
“Kakak….”
Aku sangat terkejut bercampur haru dan gembira. Adikku Zakiyyah, serta merta hadir dari belakang Yesha. Aku melangkah mundur, seakan-akan tak percaya. Kuusap wajahku dan kucubit lenganku sendiri. Dan dia benar-benar ada.
“Tuhan telah menjagaku dan mengembalikan aku ke tangan, Kakak.” Lanjutnya.
Romantisme yang baru saja akan kususun kembali dalam hatiku, seketika hancur berantakan mendengar kalimat yang diucapkan adikku tadi.
Kutanya padanya, “Setelah peristiwa itu, apakah engkau masih memuji Tuhanmu?”
Sebait jawaban yang tak kuduga engkau ucapkan. “Tuhan memang pantas dipuji. Aku dan kakak tak berhak mengadili keputusan-Nya. Aku dan kesucianku serta kebebasan kakak adalah milik-Nya. Seandaniya Tuhan tidak Maha pengasih, maka malam itu juga, kesempatan untukku bernafas di dunia ini akan diambilnya. Kerudung ini juga tak patut disalahkan karena Tuhan telah berjanji akan menjaga hamba-Nya dengan baik.”
“Lantas, mengapa Dia tak mampu menjagamu saat itu?”
“Bukannya Tuhan tak mampu menjagaku, tetapi Dia ingin mengajakku untuk berani intropeksi diri. Dan Dia juga ingin menjadikan aku lebih dewasa dan berhati-hati, Kak.”
Kutatap mata sayu, adikku dan ketulusannya meruntuhkan egoku untuk menatap realitas secara jernih, ternyata dibalik kelembutanmu, tersimpan kekuatan yang besar. Hatimu setegar karang, Dinda. Setelah itu kuusap tetesan mutiara putih diwajah kekasihku. Dan kurangkul mereka dalam pelukku, sambil membiarkan mereka terbenam dalam pikiranya masing-masing. Dalam hatiku berucap, terima kasih Tuhan, atas ketabahan yang Engkau berikan kepada istri dan adikku.
Tak terasa lima belas menit telah berlalu. Sipir penjara akhirnya menjemputku kembali ke buih. Sekali lagi kutatap kedua bidadariku. Dalam kekosongan pikiranku kudengar mereka berbisik.
“Engkau tidak bersalah dan besok kami akan menjemputmu pulang.”

8 September 2005

Kuakhiri catatan ini dengan mengajak Tuhanku, untuk berkunjung ke jiwa istri dan adikku. Menetap di sana dan selalu mendengar nyanyiannya :

kasihilah aku, bila sepi adalah waktu, bila mimpi adalah ragu
milikilah aku, dengan utuh dan sempurna
dan taruhlah di mataku bintang, di hatiku cakrawala
agar tak pernah berpisah dari tangan-Mu
selalu merajut benang-benang cinta
selalu melihat wajah-wajah surga


Makassar, 20 September 2005

Monday, October 24, 2005

Kekuatan Persahabatan ( Sebuah Puisi )

Kulihat wajahmu tertutupi suram
Kusaksikan keanggunanmu
Terhempas cerita
Kudengar gemuruh badai
Yang menanti petaka
Padahal engkau yang kuharap
Menjemput rembulan
Kala mentari mulai redup

Lantas kucoba bertanya
Tentang kekuatan persahabatan
Dan kudengar bisikan angin
Bahwa persahabatan bukanlah
Gelora cinta sesaat

Dia hadir dengan kereta ihklas
Menari diatas altar setia
Berjalan pada setapak hati
Dan menjadi lentera
Dalam keredupan langkahmu

Sekali lagi... tetap kulihat
Wajah itu terlalu suram
Hampa tanpa cahaya
Sehingga maafkan aku
Jika mulai meragukan
Kekuatan persahabatan

Makassar, 20 Oktober 2005

IMAJIKU (Sebuah Puisi)

Imajiku bisu
Saat kau bertanya
Pada penaku
Yang enggan menjawab

Imajiku sunyi
Saat kau robohkan
Altar bagi penaku
Untuk menari

Imajiku menangis
Karena melihat
Tanganku enggan meraih pena
Sementara ia telah merangkum
Hasil jelajahnya

Imajiku kosong
Karena ruang
Yang ada, tak memiliki celah
Untuk dia
Memanggil cerita

Dan sekarang imajiku
Hampir mati
Oleh lingkaran realitas
Yang sengaja mengundang
Benakku memilih

Makassar, 20 Oktober 2005

Seruling Malam II (Sebuah Puisi)

Kulantunkan sebuah melodi
Tentang gadis yang engkau sanjungi
Tentang harapan keagungan kaumku
Tentang perempuan yang selembut melati

Kulantunkan melodi mimpi
Diantara nada-nada seruling malam
Untuk mengenang seorang kawan
Yang dulu bernyanyi bersamaku
Saat dogma melarang kaumku
Menyeru dalam lagu

Makassar, 19 Oktober 2005

Seruling Malam I (Sebuah Puisi)

Kugubah lirik dalam irama seruling
Bukan karena ingin mengusik malam
Agar menarik lagi gelapnya
Ataukah hendak memanggil angin
Untuk mengibarkan daun
yang bertengger pada ranggas

Aku hanya ingin
Alunan seruling malam
Membuatku terjaga
Agar bisa kudapati
Kepolosan wajah manusia yang lelap

Dan seruling malam
Kuharap mengetuk hati
Dia yang tak pernah tersenyum
Agar kutahu
Harmoni Cinta
Tetap ada di qalbunya
Meski mendung selimuti wajahnya

Makassar, 19 Oktober 2005

BULAN SEPEREMPAT (Sebuah Cerpen)

By : Art 02

Sekar adalah seorang perempuan yang harus tunduk pada tradisi yang terbangun dikeluarganya. Di usianya yang ke sembilan belas ia harus menikah dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, karena adanya perjanjian primordial sang ayah. Inilah awal pemberontakannya, sebab Sekar ingin berusaha menerobos gerbang tradisi yang menurutnya tidak relevan lagi.
“Ayah izinkan aku tetap berkuliah, aku belum mau menikah akan; kubuktikan padamu, Yah, bahwa anak perempuan juga harus berkuliah. Dan tidak akan ada musibah jika anak perempuanmu terlambat menikah”. Inilah ucapan terakhir Sekar sebelum beranjak meninggalkan rumah mewahnya.
***
Pagi yang cerah mengiringi gayuhan sepeda Sekar yang lagi menjajakkan Koran. Ia kini sebatang kara sejak terusir dari rumahnya karena menolak perjodohan sepihak dan tetap memilih berkuliah. Ia harus berjuang mengumpulkan kepingan demi kepingan untuk biaya kuliahnya yang sebentar lagi selesai.
“Nak Sekar, kok agak telat nggak kuliah yah pagi ini ?” sapa pak Dirman salah seorang pelanggannya.
“Inikan hari minggu, Pak!”
“Oh yah, bapak sampai lupa, maklum Nak bapak inikan sudah pikun,” sanggah pak Dirman agak malu-malu.
“Tak apalah pak, aku pamit yah! Assalamualaikum”.
Di tengah perjalanan pulang ke rumah kostnya, pikiran Sekar diselimuti oleh bayangan Pak Sudirman. Kalau nggak salah ayah sekarang sudah seusia pak Dirman, bagaimana kabar ayah saat ini? Apakah ayah masih marah padaku, hanya karena aku tak mau menuruti kehendaknya. Layaknya Shinta adikku yang sekarang menjadi seorang pelatih sanggar tari ANDHIKA asuhan ayah bersama suaminya. Dan kak Zohra yang harus menikah dengan uztads Imran seorang imam mesjid di desaku.
Tiba-tiba saja khayalan Sekar buyar seketika mendengar teriakan seseorang memanggil namanya.
“Sekar ada kabar baik nih!!”
“kabar baik apaan sih, Rangga?” tanya Sekar.
“Ad…da aja!, tapi aku mau nyampein kabar buruk dulu.”
“Apa-apaan sih!” seru Sekar tambah penasaran.
“Mau tahu yah. Kabar buruknya, kamu bakalan kehabisan dana buat traktir teman-teman. Kabar baiknya karya tulis ilmiah kamu menang dan katanya, bapak Rektor ingin sekali bertemu orang tua kamu. Soalnya penyerahan hadiah dan tropi dari Rektor wajib dihadiri oleh orang tua para pemenang. Lagian selama ini kanyaknya orang tua kamu nggak pernah kunjungin kamu, iya khan ?” tanya Rangga (sambil menyambung nafasnya yang hamper putus karena terlalu banyak berceloteh).
“Lho kok, kamu ini bukannya bahagia, malah diam saja!?! Kamu sakit yach?” lanjutnya.
“Sorry Ra, makasi yah, tapi aku juga nggak tahu harus berbuat apa (dalam senyumnya ia berusaha menahan air matanya agar tak menetes, soalnya Sekar pantang bangat ketahuan kalau dia lagi nangis).
“Kamu tahu sendiri khan ibuku sudah meninggal dan ayahku itu orangnya super sibuk, jadi aku yakin deh Ia nggak bakalan datang.” jawabnya pada temannya.
Sekar lalu terdiam dan suasana menjadi hening.
“Sekar sudah deh, kamu jangan berpura-pura lagi! Aku tahu selama ini kamu sangat tegar. Kamu ceria seolah-olah kamu adalah orang yang paling bahagia. Maaf Sekar, kemarin saat aku ke rumahmu aku nggak sengaja membaca biografi singkatmu yang tertulis dalam buku diarymu, dan ternyata perjalanan hidupmu tidak sebahagia yang kubayangkan.”
“Rangga sekarang semuanya telah kamu tahu, aku terlanjur terusir dari hangatnya berkumpul bersama keluarga. Ayahku selalu merendahkan aku karena aku anak yang tomboy. Tidak seperti adikku Shinta yang sangat anggun dengan rambut ikalnya yang panjang, terurai layaknya bulan sabit yang senantiasa dipuji orang. Atau kakakku Zohra yang selalu me mancarkan cahaya kelembutan dibalik kerudung panjangnya, layaknya bulan purnama. Ra, kata ayah tak ada yang dapat dibanggakan dari diriku, sehingga aku sering berpikir mengapa bulan sabit dan bulan purnama selalu sangat disayangi dan bahkan tak direlakan untuk pergi, tapi sang bulan seperempat dibiarkan berlalu begitu saja, tanpa senyuman dan sapaan.” Keluhnya berusaha dikatakan pada temannya.
“Sekar, bagiku bulan sabit, bulan seperempat, dan bulan purnama pasti memiliki kelebihan masing-masing. Sungguh picik seseorang jika kadar ke sempurnaan hanya dilihat dari kecantikan luarnya. Dan jika kesucian hanya ditentukan karena identitas busananya. Kalau boleh aku memilih, aku lebih menghargai bulan seperempat yang dengan tegarnya meniti sebuah perjalanan menuju kesempurnaan. Aku lebih menghargai orang yang berpenampilan sederhana, tetapi kata yang ia ucapkan seiring dengan perbuatanya. Sudahlah Sekar aku yakin ayah kamu pasti memaafkanmu, karena sekejam-kejamnya sang ayah, setitik harapan dan keberkahan pasti tersedia untuk anak-anaknya, berusahalah.” Nasehat Rangga berusaha menghibur.
“Thank you very much!”
“You are well come, oh yach..!! Kamu tambah manis deh dengan jubah itu.” Puji temannya pada Sekar yang sementara mengenakan jubah warna Biru langit.

LUKISAN JEMARI TAK BERKUKU (Sebuah Cerpan)

By : Art 02

“Aneh, mengapa sedari tadi orang-orang ini menatapku,” guman Frenda saat melintasi korodor kampusnya.
“Ah… cuek aja lagi.” Pikirnya. Tetapi meskipun Frenda berusaha melupakannya, tatapan itu tetap merasuki pikirannya hingga membuat dia lebih memilih kembali ke rumah. Meraih sebuah kanvas dan melanjutkan lukisannya yang hampir selesai. Meskipun hingga saat ini dia belum mampu menerka sketsa apa yang dilukisnya. Frenda hanya mengikuti melodi kata hati yang menjadi inspirasinya untuk melengokkan kanvas di atas lembaran putih di hadapannya.
Sebuah irama yang tidak asing lagi berdering, memecah konsentrasi Frenda.
“Ah… dia lagi, dia lagi! Kenapa sih orang ini nggak kapok-kapok juga nelpon aku.”
“Hallo… kamu lagi ngapain, kita jalan-jalan yah, aku akan jemput kamu,” terdengar suara dari seberang sana.
Frenda tidak menjawab dan langsung mematikan ponselnya.
“Enak saja, besokkan aku ada ujian.” Gerutu Frenda.
“Frenda ada yang cari kamu!” seru Isabel, teman sekostnya.
“Siapa?”
“Nggak tahu, tuh.”
Sambil berlari kecil Frenda menuruni anak tangga yang memisahkan kamar kost putra dan putri.
“Eh… Bapak. Silahkan masuk, Pak.” Ucapnya menyambut kehadiran pak RT yang begitu tiba-tiba.
“Perkenalkan, ini Pak Subagya. Beliau adalah petugas kepolisian, malam ini juga kamu harus ikut dia.”
“Loh… memangnya kenapa?” tanya Frenda dengan raut wajah kebingungan.
“Kamu nggak baca yah, pengumuman yang terpasang hampir di seluruh penjuru kampus. Kamu tercatat sebagai salah satu dalang perkelahian di kampus UMI siang tadi.” Ucap Pak Subagya.
“Tapi Pak….” Frenda tidak mampu meneruskan ucapannya, lantaran sepasang borgol besi telah melingkar di tangannya. Bersamaan dengan seretan petugas yang tiba-tiba berhamburan dari balik mobil patroli.
Frenda akhirnya terdiam, menatap teman-teman sekostrnya yang melambai penuh selidik. Di benaknya terbayang coretan kanvas yang selama dua hari menjadi kawan baginya.
“Pak, kesalahan saya apa?”
“Eh… gadis bodoh. Sebaiknya kamu diam saja!” seru salah seorang petugas.
“Sebentar lagi kamu akan tahu sendiri.” Ucap petugas yang lain.
Mobil patroli yang mengantar perjalanan Frenda bersama para petugas akhirnya tiba pada sebuah gedung yang tidak begitu luas. Namun mengeluarkan aroma kegersangan dan keserakahan serta menampakkan kesan penggadaian hukum.
“Kok kantor polisinya ramai bangat. Eh… itukan Rudi, Dandi, dan Iwan! Mengapa semua kawan-kawanku ada di sini? Ini bukan mimpikan!” Frenda semakin kebingungan.
“Kamu kenal dia?” Tanya petugas yang berbadan agak besar.
“Iya, Pak. Tapi apa salah mereka?”
“Kamu jangan pura-pura tidak tahu. Saat terjadi demonstrasi menentang militerisme siang tadi, merekalah yang menjadi dalangnya termasuk kamu. Iyakan?” kini giliran petugas yang berpostur jangkung memamerkan suaranya.
“Oh yah, apa Bapak punya bukti.” Tantang Frenda dengan suara agak meninggi dan disusul dengan langkah kakinya yang seakan-akan menentang keputusan yang terkesan menuduh.
“Duduk… duduk!” seru petugas, yang sedari tadi mengintrogasi mereka.
“Siapa yang menyuruh kalian?”
Frenda terdiam, sementara Dandi, Rudi dan Iwan masih sibuk mengurusi luka di kepala dan punggungnya yang masih terus mengalirkan darah segar.
“Memangnya kalian dibayar berapa?”
“Jangan sembarangan, Pak.” Protes Frenda.
“Mungkin pertanyaan itu lebih pantas untuk aku tanyakan kepada bapak-bapak polisi yang aku hormati.” Kini Dandi mulai angkat bicara.
Ternyata ucapan Dandi dibalas dengan tendangan bertubi-tubi dari petugas yang berbadan besar itu, disusul dengan seretan yang menggiring kami ke sangkar besi. Di sana kudapati sekitar Dua puluh kawanku dengan kondisi berlumuran darah. Kusapa mereka satu-persatu untuk mengalirkan semangat jihad di dada mereka. Kuusap darah yang mengering di dahinya dengan sapu tangan biru. Hatiku menangis melihat kepala kawan-kawanku yang terus mengucurkan darah segar.
“Senapan dan laras itu yang kelak akan memusnahkanmu!” seru Frenda dengan suara lantang.
Ingin rasanya Frenda meraih tangan yang telah memukuli kawan-kawannya, kemudian mematahkan tangan itu dan mengamputasi kaki mereka agar tidak ada lagi kaki-kaki berlaras yang menginjak idealisme yang diperjuangkan mahasiswa. Selang beberapa waktu, terdengar suara bentakan lagi, namun kali ini bentakan itu adalah seruan kebebasan karena memang Aku, Dandi, Rudi, dan Iwan beserta kawan-kawanku yang lain tidak bersalah. Entah siapa yang masih memiliki ketajamn rohani, sehingga tetap dapat memilah sebuah kebenaran yang terkubur ambisi.
***
Seminggu telah berlalu, namun peristiwa itu tidak pernah terhapus dalam benak ini. Tragedi 1 Mei 2004 yang menelan banyak korban, hanya karena perjuangan sebuah kemestian. Namun semua ini kuanggap mimpi buruk yang tak kuharap hadir kembali.
Jam dinding berdetak semakin cepat di antara detik-detik jarumnya. Kuamati lukisan di hadapanku, semakin hari lukisan itu semakin jelas. Inspirasi mengayunkan tanganku untuk melukis sepasang jari yang tak berkuku.
“Kok seram bangat!” seru Isabel.
“Itulah bahasa hatiku,” jawab Frenda.
“Coba seandainya jari manis itu dilengkapi dengan kukunya, dipolesi dengan kutek merah dan dihiasi dengan cincin permata, pasti lukisan itu akan terlihat indah,” timpal Isabel kemudian berlalu pergi.
Frenda hanya terdiam menatap lukisan itu. “Benar juga ucapan Isabel,” pikirnya. Namun perasaanya juga memberontak dan memprotes kalimat pembenaran itu.
“Tidak, aku tidak akan memperindah lukisan ini,” khayal Frenda menebis berontaknya sang batin.
Kemarin sore aku melihat, seorang buruh pabrik memikul Lima puluh kilogram beras dengan keringat bercucuran yang melukiskan beban di pundaknya tidak sepadan dengan usianya. Dengan jari manis itulah recehan mengalir di tangannya sebagai imbalan kerja keras buruh itu. Namun kudapati jari manis itu hitam dan tak terurus.
Pagi ini aku juga melihat, seorang gadis kecil melantunkan musik riang di depan mobil-mobil mewah. Dengan jari manis itu, dia memainkan alat musik dari tutup botol minuman. Saat kuamati, jari manisnya terkelupas dan nyaris tak berkuku.
“Dik, kenapa bisa begini?” tanya Frenda sambil meraih tangan mungil itu.
“Suatu hari ibuku sakit dan perutku sangat lapar, aku tidak punya uang, kemudian aku putuskan untuk mengamen. Tetapi saat uangku telah terkumpul, mereka merampas tanpa sisa. Aku mencoba melawan, namun yang kudapati tanganku terluka dan jari manisku terkelupas oleh injakannya.”
Pedih rasanya batin ini. Dan yang paling mebuatku sakit, saat kudapati jari manis adik bungsuku yang kini tak berkuku. Ketika kutanya apa yang terjadi? Ternyata luka itu karena sayatan silet mungil, untuk mendonorkan darah ke kerongkongannya karena desakan sebuah pil yang terlanjur bersarang di tubuhnya.
“Tuhan…seseram inikah wajah bangsaku?” teriak Frenda dengan batin yang berontak. Namun dia tidak dapat berbuat banyak karena dia hanyalah seorang rakyat kecil.
Sebelum beranjak pergi, Frenda menatap lukisan itu, kembali dia teringat ucapan Isabel . Mungkin memang sebaiknya lukisan jari manis tak berkuku ini, kulengkapi dengan kukunya, kupolesi dengan kutek merah dan kusemayamkan cincin permata. Tetapi itu kuharapkan dilakukan oleh orang lain yang mau berjanji dan sanggup menunaikan janjinya. Dan orang itu yang kelak kusebut khalifah.

Thursday, October 20, 2005

DIALOG DUA HATI

Kutahu kau coba merangkai
Dialog, sebagaiman yang
kau kata dulu
Kurasakan kau coba bisikkan
Sebuah janji, akan rumah cinta

Tapi untuk saat ini
Itu hanya gemuruh
Dialog yang terjalin dihati
Sebab kita sama-sama tak berani
Untuk berkata
Dalam kedewasaan

Sebab cinta tak mesti
Memiliki
Karena dialog dua hati
tak mesti diketahui tangan
Meski terkadang
mengundang resah
yang menanti sebuah opera

Makassar, 20 Oktober 2005

Istikhfar ( sebuah Puisi)

Kuraih sajaha kumal
Dan sebongkah tanah sujudku
Lantas kurebahkan diriku
Ditelapak Tuhan
pada sepertiga malam

Kini mulai tampak sebingkai
Dosa yang menghitam
Dan sayatan ego
Yang berdarah

Kuhempaskan keangkuahanku
Pada teriakan hewan malam
Dan kucoba berkaca
Pada cermin yang retak
Namun semua tampak gelap
Tak menyisakan setitik pun banyang

Sejauh apakah kesesatan langkah
Sehingga cerminpun enggan
Menjemput banyang
Padahal kutahu
Engkau maha pemaaf
Jika hari ini kuucap Istikhfar

Makassar, 21 Oktober 2005

Perempuan Mencinta (Sebuah Puisi)

Kuhapus dahagaku dengan
Linangan air telaga biru
Sebab kutahu engkau tak mungkin
Merelakan telapakmu menyentuhku
Kuhembuskan kegundahanku
Dalam hempasan angin senja
Sebab kudengar kau tak bisa mengobatinya

Aku menjadi kalut
Dalam banyang-banyang kebodohan hati
Aku menjadi benci
Disaat yang kunanti tak
membawa lentera
Perempuan yang mencinta
Mengukir tawa yang hampa
Melukis mimpi yang sesak
Tetapi dia akan terus mencinta
Diantara harap dan cemasnya

Makassar, 20 Oktober 2005

Lelaki Kecilku ( Sebuah Puisi)

Kudapati lelehan mutiara bening
Di kelopak matamu
Dan aku pun mencoba bertanya
Agar kuharap beban dapa dibagi
Sebab kutahu ada lara yang kau sembunyikan
Dan kusadar kebeliaan tak mampu
Menahan gejolak

Kau terdiam
Sambil memainkan temali yang kau pintal
Aku semakin simpati
Karena memang hadirmu mengundang itu
Kukatakan padamu
Aku akan mencintaimu
Dan kuharap curahan asamu
Dapat kau tuang dalam cawan sayangku

Sabarlah dinda
Engkau tak pernah sendiri
Dan tak akan kubiarkan lagi
Mutiara itu jatuh
Karena senyummu sangat kunanti
Untuk mengukir cerianya hari kita

Makassar, 21 Oktober 2005 ( Untuk adik yang menyapaku dipingiran jalan, Mesjid Raya )

Kegelisahan (Sebuah Puisi)

Kupandangi rerindangan pohon
Yang mulai menggugurkan ranggas daunnya
Aku lantas berpikir
Akankah hidup yang disempatkan buatku
Akan segera berakhir layaknya guguran itu

Saat kucoba tetap berdiri
Dan tak setitik pun langkah
Kugerakkan
Selaksa banyangan tiba-tiba hadir di depanku
Merangkai siluet wajah
Dia yang menyayangiku

Aku semakin gelisah
Dan akan terus gelisah
Selama dia tak menyapa kata
Dan mendendang Cinta

Makassar, 21 Oktober 2005

Wednesday, October 19, 2005

Kecapi Tak Berdawai ( Sebuah Puisi)

Hening yang mencekam
berontak, teriak, tertawa lalu menangis
orang pasti akan heran
setan apa yang merasuki jiwanya
yang menganga

Oh... ternyata sebuah kepercayaan
tercabik-cabik
lukisan kemanisan
tercerai-berai
kecapi yang dulunya kusanjungi
tak mampu berbunyi
hingga satu-persatu pendengarnya
berlalu pergi

Teriakan mereka, cemohan mereka
tak mampu tertutupi
kecapi itu kini tak berdawai
melodinya tak mampu menyaingi teriakan mereka

Dengarkan kami...
suara itu kembali bergema
engkau dulu yang mengajarkan
kesucian kepercayaan memalui
gesekan dawai-dawaimu
engkau dulu yang kukagumi
karena kharismamu yang terpancar dibalik irama itu
tapi sekarang semuanya
melambaikan tangan
kecapi itu kini tak berdawai

Jejak Tersisa

    Nama :
    Web :
    Jejak :
    :) :( :D :p :(( :)) :x
Muchniart Production @ 2006