Friday, September 30, 2005

RINDU KEBISUAN ( Sebuah Prosa Liris)

Oleh : Masril Habib


Dendang-dendang seperti membisu. Sejauh perjalanan jiwa melukis kefanaan. Semua yang terlihat, adalah beku dan mati. Sendiri, dan berdiri dalam rajutan Yang Maha Perkasa, lama-lama menjadi kesetiaan. Atau juga keletihan jiwa-jiwa berdo.a, menekuri jalannya dan mencari arahnya. Sebanyak matahari yang telah hadir menyinari bumi, dan sebanyak gubahan rembulan yang mencintai bumi. Dapat ku mengerti, di setia rerumputan yang tak pernah tampakkan kesombongannya, selalu tumbuh wewangian telapak gadis-gadis, yang menyusun anyaman halaman kerelaan. Kemauan ikuti irama langit biru. Tumbuh di jalan-jalan syahdu. Meskipun kematian yang dekat dalam rumah-rumah kehidupan, dan harapan banyak terbuang.
Nyanyian yang membisu. Bukan tak mengerti dahan-dahan yang disentuh angin. Dalam renungnya di jembatan langkah lelaki sewaktu tiba. Bisik pepohonan adalah lagu-lagu yang ditunggu.
Aku, seorang lelaki yang memiliki cinta. Dan cerita dunia di bawah sengatan kesulitan dan kehendak. Memiliki nasib yang tertulis dalam daun-daun layu, ia adalah bagian semesta yang menjalar. Di sini, menyebut nama tempat-tempat singgah. Berhentinya gerak pasrah. Memiliki cinta, adalah semua kecintaan akan kelahiran, dan pertemuan dengan makna-makna yang sudah terdahulu digoreskan. Datang untuk bumi, dan akar-akar kematianku.
Dalam mimpiku, kulihat rembulan sedang di cerca seorang lelaki yang terbaring di atas bukit. Katanya, “ hai bulan, apakah yang bisa kau perbuat, selain hanya bersinar, datang dan pergi tanpa ada artinya untukku, lihatlah aku telah menderita tanpa ada penolong, aku tersisih dari para manusia karena sakit dan miskin, aku telah berjuang namun sia-sia, engkau selalu melihatku, tidakkah dapat membantu. Kau hanya diam tak merasa, dan tak pernah susah seperti aku. Sungguh dunia ini tidak adil. “
Dan lalu bulan berkata, “ hai kamu manusia, tahukah kau keadaanku, aku juga menderita, tak dapat pindah dari jejak-jejakku yang telah membelenggu sampai masa yang tua, tak mampu pergi ke arah orang-orang yang memerlukan kedatanganku, sedang cahayakupun semakin lemah dan tak mampu menerangi sudut-sudut kegelapan hati yang menderita. Dan aku selalu takut jalanku akan terhenti dan jatuh dalam kehinaan. “
Lelaki itu diam. Lalu menangis dan pergi. Menyatu dalam jauh dan jiwaku yang rebah gelisah. Banyak tempat-tempat di dunia ini, adalah bumi-bumi keretakan kalbu. Kelapangan jalan tercampaknya manusia ke semua daerah untuk merana. Keadaan susah yang dibuat tangannya sendiri ataupun kemauan bisik-bisik beku angkasa. Seperti banyak saudaraku di pinggiran desa-desa kecil, kulihat kata-kata mereka yang sering ucapkan kekecewaan.
Katanya, “ kita semua di sini adalah orang-orang yang tidak beruntung, seperti orang-orang di kota, yang hidup dalam kemewahan, kesenangan, semua ada dan menjadi kawan-kawan dunia dalam kemegahan dan kemajuan. “
“ Ya, kita tak pernah merasakan kenikmatan makanan dan minuman mereka, melihat gedung-gedung indah, tempat hiburan dan lampu-lampu. Kita hanya terkurung di sini tak ada daya untuk kesana, karena kampung kita yang jauh lagi tidak punya penghasilan, “ kata seorangnya lagi.
Sepi-sepi desa adalah keheningan sang waktu yang sedang menceritakan ruang-ruangnya yang menyimpan makna. Ada sepi dan ada keramaian. Indah ketulusan bila desa murnikan saat-saatnya. Namun juga akan terluka bila sepinya dirampas ketidakmampuan memahami makna dan tugasnya.
Kota-kota yang indah. Kenyataan mimpi-mimpi manusia benar-benar besar. Aku memimpikan berjalan-jalan dalam ramai. Pakaianku panjang dan bagus. Melihat ke segala arah, dan dilihat mata-mata yang mengagumi. Kehidupan dalam riuhnya kota melahirkan debu-debu kalbu terpecah. Saat-saat yang menyilaukan. Penat jiwa kecilku menyertai kesekian lama arus-arus berhembus. Kulihat banyak orang-orang yang tak berbaju, tak punya tempat tinggal. Dan banyak pula orang-orang yang kesakitan seperti lelaki di atas bukit. Dan banyak keluhan seperti yang diucapkan orang-orang di desa yang menyepi. Keras dinding-dinding batu pada gedung tinggi, mengeraskan dinding kalbuku. Dan sekat-sekat, banyak menutup angan-angan untuk mendekati keheningan.
Menjalani malam dan mimpi-mimpi bulan di antara kehadiran diri dan hidup. Lusuh keharusanku mendampingi waktu-waktu berlalu. Juga bila kemauan menanti, memaksalah angan melihat, dan renungan mendekat. Aku, mengitari bayangan batang-batang bambu. Sayap burung malam di lukiskan bulan di pelataran jelita kegelapan.
Di kalbuku, terdengar perkataan daun-daun, “ benarkah aku dicintai oleh lelaki yang menyentuhku saat ia hadir mendekat, jika benar, tentu ia akan menjalin jalan ke langit dan berdo’a agar hidupnya mengenal jiwa-jiwa alam dan makna kehadiran. Pertemuan adalah jalan menyatu untuk hidup di kehidupan segala dimensi. “
Dan rembulan berkata, “ benar, ia mencintaimu, kulihat dalam matanya. Mimpinya adalah selalu melihatmu tumbuh menjulang tinggi. Ia ingin engkau membawa daun-daunmu yang penuh tulisan kata-kata para penghuni dunia, do’a-do’a dan harapan, keluhan-keluhan yang tak terdengar, rintihan-rintihan kecewa orang lemah,. Ia ingin kau membawanya ke langit lalu terselamatkan. “
Lanjutnya, “ Tapi ia juga mencintaiku, selalu ia memandangku dalam mimpi atau terjaga. Ia inginkan aku selalu hadir di setiap malam, dan setiap hati-hati, setiap tempat, desa-desa yang hidup sunyi, kota-kota yang gegap gempita. Semuanya perlukan cahaya. Bukan cahaya gemerlap dian membara namun adalah sinar ilham dan kasih sayang. Ia mengerti aku, dan kami menginginkan makna-makna. “
Aku, mencintai dalam diri-diri abadi. Kehadiran masa membawa kehendak-kehendaknya. Angkasa kefanaan setiap kita pastikan keindahan. Kemelaratan asa adalah keabadian yang terselubung dalam langit. Aku tak mengerti. Untuk menjadikan rasa kasih sebagai pintu bagi orang-orang melihat tempat-tempat kerinduannya. Aku hanyalah sebuah kefanaan, dalam kedatangan waktu-waktu yang teramat keras. Aku, sering jatuh dan menangis. Mengeluh dan melawan rasa putus asa. Saudaraku manusia bayak yang terluka di hidupnya. Menyesal dan memaki-maki nasibnya. Mereka mencintai dirinya. Dimanakah kehidupan menyembunyikan cintanya.

* * * * *
Bertemu dengan orang-orang dalam keramaian siang. Aku di atas laju kendaraan kota mengejar kesempatannya. Disebelahku seorang menyanyikan gubahan dari kedalaman jagad. Di terik penuh keringat yang timbul dari titik-titik keinginan hidup dan bangkit.
“ Tuhan, kami manusia selalu mencarimu, dimanakah istanamu berada, apakah di puncak langit yang tak mungkin kami gapai, sampai kapan dunia ini menjadi tempat yang sempit. “ bunyi kalimat keresahan.
Peluh orang yang bergerak hadirkan diam. Mimpi dinding jalanan seakan ragu berdiri. Gundah tiang-tiang batu. Seresah aku, dan laju hidup di saat siang ini yang menulis angka yang tak terhitung lagi. Mengingat kata-kataku dalam malam, katanya di sana adakah rasa cinta dapat terpenuhi. Apakah diri harus mencari jiwa-jiwa bumi untuk di bawa dalam kebersamaan. Teman bergerak dan berhenti. Rasanya itu cukup sekejap. Cinta untuk kembalikan hidup pada gemilang abadi terlalu jauh. Jauh di ketika kami akan benar-benar kembali.
Namun tiada kesalahan dalam impian sang lelaki, yang tidur untuk cintanya, melukis rembulannya, menyimpan bisik-bisik saudaranya dimanapun berada. Ingin selalu terbangkan angannya ke cakrawala untuk menutup pelarian jiwa-jiwa yang putus asa. Mengharap laju waku ini benar-benar mengerti harapan manusia.
Di sisiku, yang selalu letih bila hari membentang, hidup di sini, mencari jalan perolongan, membiarkan cintaku tumbuh berkembang tetap berkembang. Memahami Tuhan di antara semua tempat yang di lewati hidup siapapun. Menunggu biar kapanpun hidup akan tiba seperti kecintaanku.

* * * * * * * * * *

HIDUP RINDU KEKASIH ( Sebuah Prosa Liris)

Oleh : Masril Habib

Mencintaimu. Hidup berkata, petiklah matahari dan sematkan dalam jiwa. Seorang dara bunga-bunga menjelma indah. Bentukmu. Rindu-rindu tak berdasar, buta dan membingungkan. Seorang gadis, yang kucinta, ia milik keagungan. Dipingit pada puisi-puisi kerinduan seorang lelaki di pingiran kejenuhan kalbunya. Jelas selalu gelisah, menunggumu, tidur-tidurmu bernafas menyatu dalam angkasa yang penuh dengan debu-debu resahku. Gadis yang kutemukan di jalanku. Kaukah teramat halus-halus garis-garis hasrat ini, dan lukisan kata-kata kemauan samar membentuk. Jelangmu pagi kembang-kembang di pagar. Sendiri kelopak katakan ia ingin mengembang sampai sejauh mungkin, sampai di batas cakrawala. Tanganmu yang tumbuh dalam lengkungnya waktu selalu melambaikan angin dingin di bilik jantungku membuat hati-hati ini seakan tertinggal.
Semburat emas, dalam wajahmu, petang yang singkirkan terik, tegakmu di depan mataku, dalam pucatnya jiwa mendamba. Tangan-tangan kita iringi sang surya, bawakan sekerat kejenuhan gelisah, hari-hari yang lelah. Satu kata, seribu kata, apapun yang kau simpan dalam kalbumu, katakan wahai belahan sukma. Tiada nafasmu akan tertinggal walau mentari terus tenggelam. Engkau jiwa bersinar di pintu-pintu dunia yang ingin menggelap.
Kataku “ apa sang cinta dalam senja.? “
Gadisku berkata “ cinta adalah batas antara terang dan gelap. Jelitanya terang adalah dambaanku, ku dapat melukis dinding-dinding yang tumbuh yang di baliknya manusia menyelesaikan karya-karyanya. Jiwaku akan menghidup untuk mekar pada halaman-halaman rumah para penghuni bumi, dan dipetik oleh cinta yang datang di setiap sisi-sisi. Lalu terang perlahan hilang beriring kegelapan yang datang. Pepohonan menyepi, namun orang-orang masih dapat mendekap impian siangnya untuk bersama dalam jalan keremangan. Dan akupun masih dapat melihat bintang-bintang di dekat wajahmu yang bernyanyi untukku menghibur kerinduan. Bagiku cinta di antara gelap dan terang, di antara harapan dan mimpi. Aku selalu menunggunya tak perduli hari penuh cahaya ataupun malam sangat kelam.”
Lalu gadisku berkata, “ sedang bagimu apa sang cinta dalam senja ? “
Aku berkata “ cinta berada antara keraguan dan keyakinan. Dapatkah hari pertahankan terang bila pintu malam siap merampas. Dan yakinkah aku mentari akan datang lagi bila bumi sudah menenggelamkannya di balik ufuk-ufuk kalbu. Dan adakah dapat memilikimu jika Kemahaperkasaan tak memberikanmu untukku selamanya. Dalam senja hatiku berdebar, tebarkan jiwa ke penjuru angkasa. Mencumbu keindahan pergantian waktu yang berlalu. Seindah harapan yang bersembunyi di antara keraguan dan keyakinan, semanis wajahmu yang menerpa angan-angan sang matahari.”
Menemukanmu. Waktu musim tetap berubah. Orang-orang di tepi tumbuhnya kotaku, dan kesunyian kampung-kampung kalbuku. Gadis dalam langkah membaktikan hadirmu menjelang esok. Seperti engkau katakan dalam mimpiku, “ aku datang untuk menyatu dalam pelukanmu, menjadi bayangan pagi harimu, lalu kita akan tumbuhkan pepohonan yang menaungi keterikan bumi, lalu kita membentuk jalan-jalan, dalam kesempitan orang-orang untuk pergi ke arah-arah hidupnya. Kemudian aku kan lahirkan jiwa-jiwa perkasa untuk membangun harapan-harapan. Aku datang untukmu, bukankah telah kau panggil, di syair-syair sepimu yang haus, nyanyianmu memintaku, di keinginan membagi hari depan. Sedang Tuhanmu yang bersembunyi memberikan jalan kehadiranku.. “
Mengingkarimu. Hujan deras membelah tanah-tanah lalu mengalir ke kedalaman tanpa batas. Gemuruh membisikkan kepergian. Gadis pada keindahan matamu. Menyambar di kekakuan batu-batu. Sayup-sayup nafasku membenci, merinduimu seperti ini dan keharusan membagi rasa-rasa. Sekelit terbisik ingin berlari tinggalkan cakrawalamu. Seperti kataku di lembaran daun-daun yang gugur, telah kusebut untukmu, “ melihatmu, dan kau datang untuk cahaya kerinduan, selalukah aku akan terjaga di sampingmu dan sertai fajar pagimu, selalukah kaki-kakiku merintis semak untuk membuka belukar kesesatan-kesesatan hidup kita, dan dunia yang menjerat mimpi-mimpi kita. Terhapuskah rasa haus dan kering, di daratan jiwamu atau di kepekatan asa-asaku. Gadis engkau sungguh indah, takutku melukis seringnya matahari ingin membawamu. Dan sepertinya dunia kita tempat hati kita tetap merana. Lihatlah, benarkah aku selalu menyanyikan bunga-bunga yang tumbuh. ”
Pada lamanya harapan menjadi dekat. Hidup dan mencintai di butir-butir jiwa yang terbang berhamburan. Kadang titiknya berpijar di atas lembah-lembah hati manusia, yang telah lama menumpuk kehampaan dan ketidakpastian akan hari mendatang. Jiwa saling berlomba mencari perhentian. Siapakah sang penunggu tempat. Ia adalah pemilik cinta yang tak berbatas. Butirku, juga satu kefanaan yang naif, mengejar bentuk kepastian dalam kemegahan wana-warna yang ada. Yang sewaktu engkau hadir membisikkan semua yang mengatakan ambillah dunia untuk tempat meniti, nyatalah engkau benar kurasa, sebagai bagian diri-diri resah untuk berdiri. Sejauh harapanmu, adalah sedekat kemauanku menjadi tonggak, di pelataran jutaan kerinduan manusia, yang sejak dahulu dan sampai kapanpun mencari dirinya. Masa yang melantunkan bait-bait gelap, menyimpan semua pertanyaan akan meraih apa. Inginkah jiwaku dalam raihmu, kekasih, adakah engkau benar-benar tiba, dan menjadi jalan-jalanku menjadi benderang lalu akhir akan terlihat, atau tempat-tempatmu yang indah akan terjaga seterusnya. Sedang kehadiranmu juga adalah butir-butir yang terbang ke senyap-senyap janji. Menggandeng bumi dalam jari-jemarimu yang memegang sumbunya dalam nafasmu, hanyalah kehanyutan kita ke puncak-puncak kerinduan tak bertepi. Tautkanlah nafasmu gadis, di sempit rongga udara zaman, seluruh waktu adalah kerinduanmu, bukan kerinduanmu untukku, namun suara-suara jiwamu yang menerjang cakrawala. Disana banyak pinta-pinta dan kesedihan. Butir ratap-ratap manusia yang berserakan. Sempatkah bersamamu kekasih, bila waktu telah habis untuk kita setarakan langkah, dengan putaran waktu ke janji-janji langit. Habis cintamu ditepa saat-saat.
Mencercamu, kekasih. Benci atas nafas sendiri yang menyatu dengan nafasmu. Syahdu wajahmu tak pantas sendiri. Dan lautanpun pasti menantimu, untuk seberangkan harapanmu ke pulau-pulau terbaik. Seperti kata-kata sakitku yang sulit.
Kutanya padamu, “ hai sang dara, katakan apakah artiku dalam kehidupanmu.”
Jawabnya, “ engkau adalah keinginanku, dimana tangan-tanganku bertaut untuk kokoh membangun perlindungan, inginkanmu tidurkanku di lembaran kedamaian, sambunglah nyanyianku untuk pecahkan sepi, dan hari-hari takkan pernah bersedih, tetaplah di sampingku walau waktu telah berhenti. Hadirlah, tak ada jalan untuk meninggalkan keindahan. Engkau adalah dimana aku dapat pasrah tanpa merasa susah. “
Seperti belahan awan yang membentuk, bayanganmu yang menitis menusuk. keinginan mengiring gumpalan-gumpalanmu ke segala arah. Gadisku, katakan semua hasrat pada sendirinya batang-batang lapuk, agar ia tumbuh kembali menjadi kaki-kakimu untuk menerjang, dan tulislah nyanyianmu di padang-padang gersang agar tumbuhlah rerumputan, dan gandenglah angin untuk menghembuskan harap di rumah-rumah nasib manusia. Kemarin adalah semua kalbumu terbentuk dan engkau dalam keindahan, kini jiwamu menuntut apakah akan masih pada keindahan. Tidakkah kau melihat kematian mimpi-mimpi kisah yang terbakar. Berjalanlah sendiri, di antara kesunyian hatimu. Ada kesedihan yang tak terjawab, pasti melanda di kedatanganmu pada keberadaannya. Sambil kau lihat aku, dalam sudut-sudut kecil, terbit dalam duka-dukanya ladang-ladang kemarau, siramilah dengan hadirmu.
Kekasihku. Merindukanmu adalah cinta. Adalah kemauan siapapun. Tanah negeri kita berkata, “ hiduplah untuk kasihmu, dengan do’a-do’a suburnya langit, memberikan semua harapan manusia untuk benar-benar bahagia, tiada ketakutan dan kematian “.
Senja untuk berhenti, dan kita duduk menjadi satu dimensi. Panorama kesempatan menahan laju sang waktu. Itulah hidup kita. Rindu kita tiada di akhir penyatuan, kecuali senja ini tak pernah berganti malam yang binasa ditelan dalamnya gelap-gelap. Namun mengerti pertemuan jiwa kita, masih mencipta harapan-harapan dunia ini terus ada. Melahap kehilangan satunya kalbu kita, tentu juga kebinasaan cinta semesta.
Seperti kejauhan engkau berkata, “ janganlah engkau tinggalkan aku, di kesendirian hidup dan pulangnya aku kepada takdir dengan seorang diri.“
Desirkan satu keteramatan kasih.
Kataku, “ gadisku, tiada kebersamaan dalam dunia, jatuhkanlah dirimu dalam gelombang jingga-jinggaku, menulismu untuk esok, dimana ketakutan benar-benar hilang, dan nafasmu telah terbit dari jiwaku. Saat yang mewarnai wajah-wajah manusia dalam senyum dan cahaya. Esok sambutlah nyanyianku di pagi, saat hidup melangkah berisi pinta-pintaku sepanjang waktu. Dekatlah disisiku selama kerinduanmu adalah keinginan dalam kebenaran, yang memastikan hidupmu datang hanya untuk akhir yang sejati. “
Mengasihimu. Mencintai gadisku waktu-waktu terasa hidup. Mimpi-mimpi indahnya menerjang kesepian lelaki yang bergerak untuk berbakti. Janji benarnya cakawala. Seorang dara kesemua mata-mata akan melihat rembulannya, haruskah hadir dan pergi tanpa arti. Kerinduan dan cinta, atau bahkan ingin memiliki, tetaplah bernafas penuhi angkasa yang kokoh. Aku ada di sana, sampai kapanpun. Walau penyatuan dan terpisah tetap terjadi. Rinduku adalah deru-deru gelombang di jauhnya hidup, yang penuh dengan bumi-bumi manusia, takut dan harap, do’anya masih-masih melanda. Ada gadisku, dalam indahnya tercipta Sang Perkasa. Mendekat hadirnya, meski menebar gelisah, temaniku, mencipta rinduku sempurna.


* * * * * * * * * * * * * * *

Thursday, September 29, 2005

TUHAN BERBISIK (Sebuah Puisi)

Kudengar Tuhan berbisik
di sela-sela kebisingan angin
bahwa Cinta bukanlah sekedar angan
malam takkan menggelapkan hati pemuja Cinta
kerena rembulan akan tetap menebar cahaya
Kudengar Tuhan berbisik
bahwa Cinta-Nya telah diserahkan untuk kita
Dia akan menyuluhi perjalanan
untuk menjalin impian di nirwana
Sekali lagi kudengar bisikan Tuhan
bahwa mentari tak pernah sendiri
meskipun senja telah merampas sinarnya

for kak habib

Bisikan Deburan Ombak (Sebuah Puisi)

Bisikan debur ombak menutup dalam kesunyian
Cinta dalam jiwa melangkah jauh bersama angan-angan
Kaukah malam . . . tatkala angin seperti mati
Dikaukah rembulan . . . menatap hati semakin sepi
Nyanyian cinta bukanlah gubahan sesaat
Walau esok langit jatuh dalam pekat
Teguhkan dinding hati menuju hatimu
Satukan mimpi di dalam jiwamu


(For : niart)
Habib

Wednesday, September 28, 2005

CINTA ( Sebuah Prosa Liris)

Katakan kepada hidupku, tentang cinta yang menyatukan langit dan bumi. Katakanlah kepadaku, wahai kekasih. Saat jiwamu kau pagari dengan kesucian. Maka tak kan ada ruang bagi budak-budak cinta akan memasukinya.
Maka hidupku adalah jiwa yang mabuk dan terpesona dengan pijar di matamu. Padahal sinar matamu teruntuk jalan bila gelap, dan buat cahaya di antara hati dan mimpi. Akulah yang melihatmu dalam pijar langit dan bumi. Yang mengajariku bahwa cinta adalah kenyataan yang memenuhi keduanya.
Jika mimpi telah beranjak, siapakah yang menemukan kemuliaanya kembali di tanah ini ? Mimpilah yang mengajarkan hidup tentang kehalusan, dan jiwa yang penuh kasih. Katakanlah kepadaku, hai kekasih, yang memijarkan kalbuku adalah jiwamu. Lalu mengapakah aku seperti budak-budak kesunyian kerena rasa cinta kepadamu.
Adakah hidup yang mencintai adalah kebencian di langit, karena telah ku pijak sang bumi dengan rindu-rindu hatiku kepadamu. Katakanlah kekasih, tentang cinta yang menyatukan langit dan bumi. Di saat langit mengenggam jiwamu, aku juga memburu nafasmu. Biarkan aku berpacu dengan jalan, waktu, dan takdir. Dan janganlah bulan menjauhiku jika malam aku melukismu. Bumilah tempat kasih jiwa tumbuh, dan langit adalah pucuk-pucuknya.
Kekasih dengarlah jika langit telah menghujamiku cerca, ia berkata, “ pergilah kepada kesunyian dan hati yang tersiksa, di jalan-jalan bumi cinta menyengsarakan hati, dan menjauhkan segala mimpi. “
Cintakah yang melibatkan hidup di dalam penantian, pada hari-hari yang tidak pernah pasti. Tentang keburamannya yang menebar tak terarah. Menghapus cahaya dan jiwapun sirna. Atau cintakah yang melarikan mimpi-mimpi ke dalam belenggu sunyi, yang memenjarakan kalbu.
Maka katakanlah kepada hidupku, bahwa cinta mengajarkan jiwa tanah-tanah bumi yang indah yang bila sedang bernyanyi di bawah langit yang menaungi dengan keberkahannya.
Sebutlah kekasihku, tentang cinta yang membangkitkan kasih di negeri-negeri tandus, lalu negeri itu di penuhi anugerah karena cinta membuatnya subur dalam jiwanya. Karena kasih sayang adalah ladang yang paling indah.
Atau ucapkanlah pada bebatuan yang mengkristal di kematianku jiwaku ini, bahwa kedatanganmu adalah api yang mencairkan kesunyian dan membelah kebekuan menjadi butir-butir kesadaranku akan hidupku.
Maka simaklah apa yang diucapkannya saat ku pandang langit dari atas negeri ini, “ tembuslah sejauh cakrawala untuk bisa meraih sang cinta, atau jika engkau telah mengarungi semua kematian. “
Yah, cinta adalah kematian sekaligus kehidupan.
Kematiannya seperti para pemabuk yang tidak sadarkan diri, berjalan dalam sunyi malam, mengigau di lorong-lorong kota, menjeritkan ketidaktahuan dan kegelisahan. Cinta yang membunuh kesadaran, merampas jiwa menjadi budak-budak cintanya, membelenggunya. Menjadikan jiwa-jiwa putus asa, membenci kehidupan, mendendam kepada senyuman yang tersungging di bibir pagi. Cinta adalah kuburan bagi kenangan, yang diziarahi tangis dan mimpi, yang selalu ditaburi doa-doa sunyi, di saat jiwa meratapi dunia yang merebut janji sang kekasih. Cinta adalah saat-saat buta, karena tidak dapat melihat selain wajah keinginan, dan menatap kerinduan bagai alam yang teramat jauh, yang tidak akan terjangkau selamanya meski hidup telah melakukan segalanya.
Sedang hidupnya cinta seperti jiwa yang berfijar, laksana suluh yang membangunkan tidur yang beku karena waktu senantiasa melelapkan lembah-lembah, dialah fijar yang membidik titik kebangkitan bagi kehidupan yang telah diselubungi aroma kematian di kalbunya. Cinta seperti pijar yang keluar dari keluhuran semesta, menjadikan cahaya wajah begitu indah pada senyum bahagianya, lidahnya yang melantunkan puji-puji, tangannya yang melukis kenyataan, jiwanya yang menulis kebenaran, dan hidupnya mengusir kematian segala makna. Cinta adalah pijar di kegelapan dan kehampaan, saat para jiwa terduduk lesu terperangkap. Yang menembus ke dalam naluri dan menerangi sisi yang sunyi, mengajarinya melihat hidupnya langit, dan menghangatkannya dengan menghidupkan kasih.
Maka dimanakah kehidupan cinta, yang bisa melindungiku dari kesedihan. Atau bisa menghindarkanku dari sunyi yang membunuh.
Ucapkanlah, hai kekasih. Dari lidah jiwamu, tentang cinta yang menyatukan langit dan bumi. Agar ada jalan bagi bayanganku yang menjejaki bumi dapat melayang tinggi di sekitar langit, bersama bayangmu yang menghiasi mimpi-mimpi.

S a t u

Kesekian kalinya ku lihat wajahmu, ketika ladang-ladang berbunga. Seperti kemarinpun wajahmu di sana, hadir di antara tangkai dan dedaunan, engkaulah mahkota. Melambai di pucuk-pucuk cinta kepada hidupku. Senyummu merangkai musim menjadi arah bagi angin meniupkanku kehidupan.
Engkaulah gadis yang berlari-lari kecil di jiwaku. Bila mataku memandang di bumi ini. Serasa jalan-jalan akan sirna bila tak kau jejaki. Langkahmu adalah irama padang rumput, dan detak rindu bebatuan. Aku mengikuti jejakmu hingga jauh, bahkan bila engkau sudah diam dan terlelap karena letih atau telah bersembunyi di balik kabut.
Dan jika saat kau hiasi ladang-ladang dengan senyuman, maka hidupku bernafas suka cita. Itulah nyanyian cintaku kepadamu. Seperti ungkapan persinggahanmu di musim kehidupanku, “ ruhku semerbak bunga-bunga, ruhku panggilan dalam janji cinta, ruhku telah tiba. “
Seperti jawabku, “ ruhmu keindahan, pewangi kepada dunia dan musim-musimnya, ruhmu adalah cinta, penumbuh rindu dan mesra di kesunyian, ruhmu adalah bahagia, dapat berlari-lari dengan pasti, ruhmu kekasih bagiku. “
Tak ada yang begitu kuinginkan, kecuali jika angin di ladang akan menyandingkanmu denganku sebagai pengantin yang mewarisi cinta. Lalu kita hidup bersama untuk mencipta musim kerinduan dan kebahagiaan. Atau setidaknya angin di ladang akan memanggilmu sebagai kekasihku, dan memanggilku sebagai kekasihmu, walau hari esok tidak akan menjanjikan penyatuan.
Kataku, engkaulah kekasih yang menghidupi ladang-ladang kemarauku. Bila kemarin tanah bumi bukanlah ladang yang memiliki janji untuk berbuah. Terutama jika masa-masa sulit melanda negeri. Engkaulah menjadi bibit yang disemai, di atas tanah yang berkah, lalu tumbuh menjadi bebungaan yang siap dipetik jika waktunya tiba. Dan padamulah madu-madunya bersemayam, untuk menghilangkan kepahitan tatkala kesunyian menghantuiku. Engkaulah yang membangunkan tunas-tunasku yang layu, dan menghiasi dahan-dahannya. Kucari walaupun engkau jauh. Betapapun begitu, cahaya kesucian di dalam jiwamu, telah mengembara memasuki duniaku. Dan mampu membasahi jiwaku yang kering.
Aku menjadikanmu hiasan jika hatiku sunyi dari kebahagiaan. Kupandangi engkau dari kejauhan. Kunikmati dirimu seperti telaga yang sejuk dan bening, yang melepaskan dahaga ternak dan rerumputan. Kurasakan dirimu membawaku kepada impian segala impian yang menghidupkan rasa rindu di jiwaku. Dan membawaku kepada cinta para penyair yang menghidupkan imajinasiku.
Kukatakan, tentang cinta yang menghidupi bumi. Ini bukanlah kematian bagi jiwaku. Karena tak ada lelaki yang menginginkan kematian pada jiwa kelelakiannya, meski perasaanku lebih menginginkan memuja jiwamu, hai kekasih. Maka aku sering menyuntingmu di sanubariku tanpa sepengetahuan orang lain. Hidup bersama jiwamu menanami tanah cinta. Jika kini ia tengah berbuah karya, maka pernahkah engkau akan mengetahuinya.
Tetapi engkau berkata di persinggahanmu pada zamanku, “ ruhku dimiliki pengetahuan, aku belajar pada yang mencintai, karena ia punya anugerah, ruhku dimiliki oleh cintamu, karena cinta telah memiliki apapun juga. “
“ Tetapi kematian cintaku juga ada, “ kataku.
“ Jiwaku kerap di hina oleh rasa malu. Karena mencumbui kehampaan dan bayangan. Aku seperti budak-budak cnita yang sedang mabuk. Yang telah dipasung dalam kurungan mimpi-mimpi,
Cinta dan jiwamu kekasihku, memasung harapanku. Tetapi tidak memenjarakanku, walau mengharapkannya seperti sulitnya mendaki puncak gunung, dan seperti bersahabat dengan kesunyian demi kesunyian. Ia memasungku di lembah-lembah cinta. Yang hanya dihuni oleh jiwa-jiwa lemah. “
Jawabmu, “ ruhku adalah keinginan, layaknya sang takdir menginginkan hidup semua zat, ia menginginkan penuh dan sempurna, maka ruhku masih ingin mengerti kehendak cintamu. “
Menghendaki cinta yang sejati. Seperti apakah itu ?
Memiliki jiwa ataukah ragamu, hai kekasih ? Yang menyatakan kesejatian. Atau yang manapun dari keduanya yang membangunkan kesadaran ?
Meski di atas dunia ini kesadaran akan memperkenalkan kepada eksistensi hidup yang banyak sekali duka citanya.
Katanya, “ ruhku juga mengenalinya, maka apakah kehendak cintamu itu akan mengusir duka citaku ? Ruhku adalah kesejatian, maka adakah cinta di hatimu akan membentukku lebih sejati lagi ? “
Kataku, “ melihat engkau dalam rasa cintaku, perasaanku sebagai lelaki yang ingin bersanding bahagia, ataupun bersanding dengan jiwa. Cinta di bumiku seperti menghidupkan musim yang kemarau dengan wajahmu..
Maka aku mengamati tempat persinggahanmu hai kekasih. Di tempat itulah banyak sekali bayang-bayang keindahan. Seolah-olah engkaulah yang kulihat dimana-mana. Dan engkaulah yang sudah menghadirkan cinta. Kepadaku, untuk menghidupkanku dari layu.

D u a

Jika bumi ingin menghidupkanku di bawah langit dan dapat membawa cinta kemanapun, maka aku selalu menunggu kekasihku bercerita tentang cinta yang menyatukan langit dan bumi.
Kerena aku yakin bahwa kami bisa saling mengenali jiwanya. Karena gadis yang berlari membawa jiwanya, adalah cinta yang menyinggahi makna-maknaku. Setiap pertemuan adalah kehidupan.
Dan perpisahan kematian ? Kami tidak mati karena perpisahan, sebab cinta adalah api yang hidup selama-lamanya.
Sayang jika kemarin pada langit aku dicerca, “ siapakah yang menghidupkan cintanya di bumi, dan berkata telah yakin akan dua jiwa ? Dan menganggap langit akan faham dan menerima hubungan mereka ? Yang mencintai seorang gadis selalu berkata ‘hidupku semakin bermakna dengan dirimu, dan engkaulah yang menumbuhkan kesadaranku.’ Begitulah bumi menumbuhkan cinta di hati manusia, mengahantarkan gadis-gadis di hadapan pemudanya, dan seolah-olah tanah menjadi berkah dengan kasih sayang, dan menganggap hidupnya telah sempurna. “
Lalu siapakah yang menghidupkan tunas-tunas di atas bumi, jika tidak ada cinta dari sang hujan, yang menyirami tanah sepanjang tahun dan mengalirkan sungai-sungai padanya. Dan tunas pun telah dipetik di ladang-ladang setelah tumbuh menyenangkan hati, kemudian dimanfaatkan keutamaannya sampai akhir.
Lalu siapakah yang menghiasi pantai kalau bukan cinta sang ombak, yang mengantarkan perahu sampai jauh, dan menunjukkan dimana tersimpan ikan dan mutiara, sehingga para nelayan dapat tersenyum di pasir pantai negerinya setelah pulang membawa cendra mata laut, bagi kebutuhan di daratan yang kering, sampai pegunungan pun menjadi tahu tentang samudera.
Lalu siapakah yang memiliki mimpi kalau bukan cinta sang malam, yang menghadirkan sunyi yang damai di kampung kehidupan, membuat orang-orang terlelap dengan tenang dan merindukan malam dengan rayuan pagi yang memasuki tidur mereka dengan bisikan-bisikan halus kepadanya, sehingga malam dapat mengajari para jiwa akan hidup yang nyata.
Lalu siapakah yang mengasihi para gadis kalau bukan cinta sang pemuda, yang menyentuh hati mereka dengan rindu, membuat mereka merasakan keindahan, sehingga para gadis menjadi sebuah kesucian di bumi yang menuntut kedatangan tangan-tangan pemetiknya, agar kesucian itu dikenali di penjuru negeri, dan dirasakan oleh siapapun sang kekasih.
Sebutkanlah kekasihku, tentang cinta yang menyatukan langit dan bumi. Dalam perbincangan jiwa kita dengan bintang-bintang. Suatu hari engkau akan singgah di sisinya bila cinta yang kumiliki telah terarah dengan pasti.
Apakah bumi dan langit sebegitu jauh, sehingga di langit aku dicerca, “ cinta yang tumbuh di bumi, adalah taman kelalaian jiwa manusia, dengan bunga-bunga yang beracun. Engkaulah yang mengaburkan pandanganmu, dengan pesona dan nafsu, cinta mematikan bumi dengan tanganmu yang menggenggam kerinduan palsu. “
Jawablah kekasihku, bahwa aku tidak pernah menyentuhmu dengan hasrat lelaki yang bergolak, atau mengajakmu memandang yang hitam dalam samar hawa nafsu. Dan bumi tidak melahirkanmu di taman bunga yang beracun. Juga tidak ada kematian di sini saat jiwa kita bertemu dalam kasih sayang.
Maka jawablah langit yang menghujamiku tanya, “ bagaimanakah cinta bisa menghidupkanmu ? Bila engkau terperangkap dalam kematian naluri karena terpedaya nafsu, bukankah engkau seperti budak-budak cinta yang sedang mabuk di jalan yang tidak menyadari ujungnya ? “
Katakanlah, hai kekasih, bahwa cinta adalah jiwa kita yang hidup. Katakanlah, kita saling mengenali batas jiwa kita. Kita menginginkan pertemuan karena begitulah hakekatnya, bahwa penyatuan akan menyempurnakan hidup kita. Jika kita bersanding kelak itu adalah kebahagiaan, memiliki sang kekasih dalam pelukannya. Dan bila keterpisahan datang maka itulah kesedihan karena hilangnya satu keindahan. Tetapi mencintai sang gadis tidak membuatku mati, walau seperti budak-budak cinta yang terlena, aku hanya melukismu dengan seksama, benarkah engkau jiwa yang terpancar dari kedalaman semesta dengan membawa segala keindahan yang menghibur jiwaku. Maka betapa berharganya penciptaanmu, betapa sucinya jiwamu sesungguhnya. Maka siapakah yang tidak ingin memiliki engkau kekasih, bila denganmu aku bahagia, dengan mengenalmu aku gembira, dan bila aku kehilanganmu aku menjadi orang yang bersabar. Katakanlah wahai gadis, bahwa cinta tidak pernah mematikan bumi, tetapi tanah menjadi damai karenanya. Cinta hanya keindahan, bahkan luka-luka karena kehilangannya masih menghadirkan rindu. Dan kepergiannya meninggalkan harapan yang tumbuh.
Dan jika ia mengatakan, “ cintamu hanya mimpi semu. “
Maka jawablah, “ semu hanya dunia, dan raga yang fana. Kita tidak mencintainya. Yang kita kasihi adalah jiwa yang kita miliki. Karena itulah yang abadi. Maka kita memburu cinta di antara jiwa-jiwa yang rindu. “
Dan yang kau tanya kemarin di persinggahanmu pada zamanku, tentang kesejatian pada ruhmu bila aku datang, maka kesejatian tentulah bukan karena aku. Cinta pada jiwa kita tidak akan menambah kesejatianmu, cinta hanya perlengkapan bagi kebahagiaan hidup kita. Tetapi engkau telah sejati karena Sang Penciptamu, baik engkau ku kasihi ataupun tidak.
Tapi nyatalah aku memang benar telah mengikutimu, hai kekasihku. Saat engkau berlari-lari kecil di jiwaku pada zaman yang besar. Aku melihatmu pada ladang kerinduanku yang sunyi. Dan mengharapkan kekasih sepertimu adalah nafas yang menyemai kehidupan. Karena cinta adalah kehidupan.
Maka ku tunggu, hai kekasih, engkau mengucapkan cinta yang menyatukan langit dan bumi. Agar mencintai sang kekasih adalah keberkahan dan anugerah. Agar cinta yang tumbuh di negeri kita akan menjelaskan tulusnya bumi, sewaktu langit memandang kepadanya.
Seharusnya ada kefahaman yang terbentang jika cinta telah menyentuh jiwa. Agar kesunyian seperti dalam jiwaku ini hanyalah pergulatanku mencari kebenaranmu. Dan agar bumi tidak menjadi tempat budak-budak cinta yang mabuk dan tidak mengerti, bahwa kekasih adalah semua kehidupan dan harapan. Bukannya keindahan yang harus dimiliki. Agar cinta tidak menjadi lembah dosa dan putus asa, dan menjadi tempat untuk menangisi yang fana.
Aku mengenali kecintaan dalam jiwaku dengan jiwamu hai kekasih. Ketika engkau berkata, “ ruhku dimiliki cinta, karena cinta adalah kehidupan segalanya. “

* * * * * * *

KEKASIH PURNAMA ( Sebuah Prosa Liris)

Aku takkan memilikimu kekasih, takkan pernah memilikimu. Karena engkau adalah milik purnama yang merebah diharibaan waktu.

Yang selalu menerangi wajahmu dengan sejuk, sehingga bercahaya dalam tidur-tidur sepimu. Yang selalu menemani mimpimu dengan senyumnya dan mengajakmu pergi jauh ke alam-alam indah di balik awan. Memperkenalkanmu dengan para bidadari dengan menyebutkan bahwa engkau adalah kekasihnya yang akan mengisi istana surga.

Selalu mendekapmu, memelukmu di dinginnya malam, mencium harum rambutmu yang terurai sewaktu engkau terlelap. Ia adalah keperkasaan yang berwajah indah dan mampu memuaskan keinginan dalam hatimu. Ialah yang mampu menjagamu dengan semua anugerahnya, yang mampu mencuri hatimu, sewaktu kulihat engkau selalu memandangnya setiap malam. Dia yang benar-benar berjanji, dan menepati janji denganmu untuk selalu mendampingimu dengan setia, dan mengatakan akan mempersuntingmu dengan segera.

Bagaimanakah aku dapat mengalahkannya. Ia memiliki jiwa yang lebih suci dari diriku. Aku takkan mampu mengusirnya dari jendela kamarmu saat kalian sedang bercanda.

Sepinya aku kekasih, engkau bersama purnama di jiwa malam, bermain-main dalam kerinduan, sedang aku menunggumu untuk keluar dari kamarmu dengan berhias cantik, dengan tersisih. Ya, aku tersisih dari jemputan surga kepadamu.

Engkau membiarkanku pergi dengan gagal membawa cita-citaku yang sulit untuk memilikimu sepenuhnya, sepenuh hari-hariku dalam dunia ini, yang kurasakan sangat mendambakanmu ada di sampingku seterusnya, sedangkan aku belum mampu berjanji seperti janjinya purnama, dan tak mampu membawamu pergi ke istana-istana surga.

Aku tak kan memilikimu kekasih. Selama aku masih mengisi dunia ini, dan engkau masih melewati harimu di bumi ini.

Meskipun akan kita bangun rumah kita, yang berhalaman penuh bunga. Dan kita bangun ladang-ladang untuk menyemai dedaunan cinta, di musim yang menumbuhkan putik-putik yang akan menjadi buah-buah kasih. Meskipun aku telah memelukmu di setiap malamku dan menjagamu dari kedinginan dan kesepian. Meskipun aku memberikanmu putra-putri yang mengisi hidupmu dan menemani kebersamaan kita.

Di pergantian siang dan malam, silih berganti matahari dan bulan mengunjungimu dengan membawa janjinya kepadamu, yakni membawa cerita-cerita para bidadari yang bercanda di tepi telaga, tertawa riang dalam kebahagiaan.

Mereka tetap mengunjungimu meskipun aku juga mengunjungimu dengan setia. Aku merasakan kedekatan hatimu yang lebih kepada mereka, karena mungkin mereka telah menyenangkan hatimu dengan harapan bahwa engkau juga akan menjadi seorang bidadari surga yang cantik jelita. Sedangkan engkau tidak merasakan bahwa aku dapat menjanjikanmu hal yang serupa.

Di bumi, jalan-jalan terbentuk membentangi timur dan barat. Engkau pernah mengajakku pergi ke kota dan desa-desa.

Kulihat engkau tidak pernah merasakan hatimu menjadi puas berada dalam suatu tempat. Lalu kita mengejar timur dan barat untuk menemukan dimana kita akan bangun rumah kita, atau setidaknya kita bisa tinggal sementara waktu. Namun engkau terus mengajakku berjalan tanpa henti ke tujuan yang belum pernah pasti.

Letihnya aku kekasihku, menemani keinginan jiwamu yang gelisah. Apakah yang engkau cari, dimanakah tempat yang kau kehendaki. Tidakkah aku cukup berarti menjadi milikmu dan menjadi tempat engkau melabuhkan jiwamu di jiwaku, dan menjadi permata di samudera kehidupanmu.

Aku takkan memilikimu kekasih. Karena engkau akan pergi berangkat jauh. Meninggalkanku dalam dunia ini, dan tanpa mengetahui kapan kita akan bertemu kembali.
Mengapakah engkau akan meninggalkanku. Benarkah engkau akan pergi hanya kerena sebuah kematian yang pasti memisahkan kita. Kalau karena itu, maka aku akan cukup mengerti dan masih merasa gembira demi pertemuan esok setalah aku juga akan menyusulmu kesana.

Tapi aku sering mendengar lagu-lagumu di padang rerumputan sewaktu aku mencari kembang indah untukmu.

Kudengar suaramu dalam jiwaku, aku tahu itu adalah nyanyianmu yang mengatakan tentang perpisahan. Aku mendengar tentang rencana kepergianmu dari sisiku. Lagumu begitu sunyi menyentuh jiwaku..

Kau katakan mengapakah engkau tidak merasa bahagia dengan hari-hari, dengan pertemuan kita di kerinduan bisik jiwa. Engkau merasa telah dipanggil para bidadari di sebuah malam dengan jemputan purnama di jendela kamarmu.

Begitu inginkah engkau kekasih menjadi bidadari surga, yang bercanda di tepi telaga di semua kebahagiaan.

Pastilah begitu tidak berartinya jiwaku telah menjemputmu untuk berlari di atas bumi ini. Dan begitu tidak berharganya aku telah duduk di sampingmu mencoba menjadi sahabatmu yang setia. Masih berartikah kembang ini untukmu kekasih.

Aku sungguh tak berdaya untuk mengusir datangnya purnama dan jemputan para bidadari kepadamu. Aku sungguh tidak pantas menjadi pendampingmu bila engkau seorang bidadri yang akan hidup dalam keabadian. Di antara cahaya-cahaya kemuliaan surga dari pancaran Ilahi Yang Tinggi.

Sesungguhnya aku mengerti impianmu kekasihku. Sedari dahulu aku mengerti semenjak kulihat sang purnama berjalan bergandengan denganmu di suatu malam saat matamu menangis menatapi langit dengan doa-doa suci yang menyentuh awan dan jiwaku.

Masih sempatkah engkau menungguku kekasih. Untuk menyampaikan pesan kepada sang matahari, agar mengajariku untuk menjadi penjaga istana cahayamu kelak.






* * * * * * *

Tuesday, September 20, 2005

Adelia, Kenangan Yang Hilang ( Sebuah Cerpen)

Adelia, Kenangan Yang Hilang
By : Art 02
Adelia seolah-olah tidak mau berkedip membayangkan kisah-kisah hidupnya Dua tahun silam, bersama seorang kawannya bernama Andi. Dia sangat baik, perhatian, sopan dan pandai. Mungkin karena itulah semua teman-teman di kelasnya simpati pada Andi. Namun pertemanan mereka harus berakhir ketika beberapa bulan kemudian acara perpisahan digelar, Adelia melanjutkan kuliah di Makassar dan dia terbang ke Bandung bersama keluarganya.
Saat ini, di kampus Orange kulewati hari-hariku bersama kawan-kawan yang baru dengan karakter yang berbeda-beda, tapi bayangan Andi tetap saja hadir dalam benakku. Dialah yang pertama kali mengajarkan aku arti hidup, dia pula yang membimbingku agar tidak menyesal menjadi perempuan, bahkan ia juga sering kali memperagakan beberapa rangkaian gerakan yang kukira jurus pamungkas sebagaimana dalam film-film silat, tetapi katanya itu adalah rangkaian gerakan shalat. Dan bersama dia untuk pertama kalinya kudengar irama yang sangat merdu dari lantunan ayat-ayat kitab suci Al Qur’an. Aku belum pernah mendengar suara itu, padahal kulihat di lemari kerja Ayahku ada buku yang sama dengan itu. Aku juga tidak pernah diajarkan shalat, padahal di meja rias Ibuku kudapati kain putih, sama dengan kain yang Andi sodorkan buatku kala itu, yang menurutnya pakain shalat untuk perempuan.
***
“Del, kok ngelamun, jadi tidak kamu ikutan study banding di ITB?”.
“Jelas dong Tia, bagiku ke Bandung adalah cita-citaku sejak dari dulu, di sana aku sangat berharap dapat berjumpa dengan sobat lamaku.”
“Berangkatnya kapan?”
“Besok.”
“Kok, tiba-tiba amat!”
“Nggak tahu tuh, aku juga baru dapat kabar pagi tadi.”
“Oh, kalau begitu hati-hati aja yah. Dan jangan lupa oleh-olehnya.”
Adelia tersenyum geli melihat gelagat, Tia sahabat dekatnya karena sedari tadi menerka Tia akan mengucapkan kalimat itu.
“Del, jangan lupa juga sampaikan salamku pada Andi.” Lanjutnya sambil mencoba menggoda Adelia.
“Insya Allah deh, doakan saja aku bisa berjumpa dengannya!”
“Ok… aku jalan duluan yah.”
Adelia mengangguk. Ada seberkas sinar kerinduan terpancar di wajahnya. Kerinduan yang menunggu sebuah perjumpaan tak bertepi. Dia tahu, Andi memang saat ini ada di Bandung dan kuliah di ITB. Tetapi Bandung itu bukanlah kota kecil dan berharap menemukan Andi di ITB adalah hal yang hampir tidak mungkin, karena dia sama sekali tidak tahu fakultas dan jurusan Andi. Namun sebuah harapan menjadi motivasi untuknya karena jika harapan itu masih ada maka keyakinan takkan mungkin terkubur. Sejak kepergianya ke sana, Andi tak pernah lagi berkirim kabar pada Adelia, sehingga informasi tentang dirinya di benak Adelia semakin mengabur.

***
Pagi yang cerah menjemput pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara. Aku bagai bermimpi di siang hari, kemarin aku di kampus Orange, tetapi sekarang aku di kampus ITB yang siapapun terdaftar namanya, dan kuliah di dalamnya akan dikatakan hebat, pandai serta kawan-kawannya deh..! Tetapi lain pendapat orang lain pula aku, bagiku di sini biasa-biasa saja, tidak ada bedanya dengan di kampus Orangeku, di sini namyak fungky di sana juga, di sini ada yang berjilbab, di kampusku juga ada malahan lebih ok, dan di sini kulihat laki-laki yang memakai jeans, di kampusku ikhwannya lebih sopan dengan tampilan yang sederhana. Dan… di sana kulihat sosok yang tidak asing buatku, tetapi siapa dia…? Sosok itu berbalik melangkah ke arahku. Semakin dekat sosok itu semakin jelas.
“Andi…Andi,” panggilku
Tetapi ia tidak mau berbalik bahkan menolehpun dia enggan. Aku berpikir mungkinkah dia Andi yang dulu kukenal. Tetapi entah mengapa hatiku sangat yakin, aku berlari-lari kecil menghampiri dia.
“Andi…ini aku Adelia.”
Dia hanya terdiam dan menatapku sekilas lalu menunduk. Lama dia terdiam, lalu berkata “astgfirullahul aladziim, maaf Adeli aku bukan Andi yang dulu!” balasnya kemudian ia berlalu pergi.
Aku terperanjak dan tidak terasa mutiara putih jatuh membasahi kenangan yang kugenggam. Memang benar, dia bukan Andi yang dulu kukenal, sekarang dia lahir dengan penampakan baru, dia saat ini mengenakan gamis panjang, memakai kopiah yang tidak pernah lepas dan wajahnya lebih bercahaya. Namun yang kusesalkan ketika dulu dia sangat ramah dan baik, tetapi sekarang mengapa dia melupakan segalanya.
Perjalananku kembali ke Makassar penuh dengan tanda tanya, di benakku ucapan itu masih terekam jelas. Aku tidak mengerti apakah Al Qur’an mengajarkan yang demikian? Haruskah kita memutuskan silaturahmi hanya karena saat ini aku hanyalah gadis yang tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan gadis-gadis jilbaber yang lalu-lalang di hadapanku. Aku memang tidak pantas berteman dengannya. Dan sekarang buat apa juga aku lamunkan semua itu, yang nantinya akan membunuh semua kenangan indah yang pernah terlukis di bebakku.
***
Setahun telah berlalu dan bayangan Andi lambat laun terkikis dalam ingatanku. Saat ini aku lebih memilih mengikuti kajian-kajian islami bersama kawan-kawanku agar aku lebih memahami hakikat makna yang tersirat di balik ciptan-Nya. Hati kecilku berkata bahwa namaku tetap tertoreh di hatinya. Semua yang dia lakukan saat perjumpaanku di Bandung waktu itu, bukanlah sebuah kesalahan. Karena menurut kawan-kawan rohisku dalam bergaul seorang wanita dan laki-laki tetap memiliki batasan, agar kesucian hati dan perilaku tetap terjaga.
Di emperan sebuah toko, di tengah hiruk pikuknya aktivitas masyarakat. Kudapati seorang lelaki yang sedang menghisap sebatang Dji Sam Soe dengan stelan jeans hitam dan kaos oblong, bergambar belakang grup musik Linkin Park, serta rambut panjang yang dibiarkan terurai tak terurus. Saat ia berbalik ternyata… ternyata sosok itu adalah Andi Nugraha. Tanpa sadar air mataku menetes lagi.
“Ya Allah yang membolak-balikkan hati manusia, tetapkanlah diriku pada keyakinanku.”
Aku baru tersadar dengan ucapannya kala itu.
“Del, iman seseorang tidak kekal adanya, kadang ia surut, kadang pula ia bertambah kuat, maka peliharalah imanmu agar kekuatannya tetap terjaga.”
Ingin kusapa sosok itu,tapi mobil yang kutumpangi berlalu pergi tanpa sempat mengucap salam. Matahari pagi menyusupi jendela kamarku dan dibalik tirai biru kudapati secarik kertas yang berisikan rangkaian syair yang ternyata rangkaian salam perpisahan darinya.

MENGETUK NURANI BUNDA (Sebuah Cerpen)

MENGETUK NURANI BUNDA
By : Art 02

Gemerlapnya cahaya lampu penghias malam menjadi pemandangan yang tidak asing lagi di kota metropolitan ini. Kota dimana setiap orang berhasrat menjumpai dan mengadu nasib bersamanya, meskipun tidak ada jaminan bahwa kota itu akan membawa keberuntungan bagi mereka.
“Sebaiknya kita pulang ya, Nur soalnya jam-jam segini mobil-mobil mewah sudah pada lewat. Ngamennya dilanjutkan besok saja.” Usul raga ketika melihat tubuh kecil Nur kelelahan.
“Tapi kak, kita harus mengumpulkan uang untuk daftar sekolah tahun depan.”
“Kakak ngerti Nur, tetapi kita juga butuh istirahat. Jangan khawatir sayang, masih ada hari esok!” bujuk Raga sambil membelai rambut ikal Nur.
Nur akhirnya mengangguk dengan ajakan Raga. Mereka melangkah menyusuri tepian trotoar yang masih terasa lembab oleh guyuran air hujan malam tadi. Dua pasang telapak tak beralas itu sesekali berhenti dan memainkan sebuah bekas botol minuman untuk melepaskan gundah. Di tengah perjalanan, Nur terus saja menatap seorang anak kecil beserta ibu dan ayahnya yang baru saja keluar dari sebuah swalayan.
“Kak, boneka anak itu lucu, yah.”
Raga kini terdiam, sambil menatap Nur gadis kecil dengan ungkapannya yang polos, “sudahlah Nur, nanti kalau uang kita sudah banyak kamu juga bisa memiliki boneka seperti itu.”
***

Tubuh anak berusia lima belas tahun dan gadis kecil berusia lima tahun itu kini talah terbuai. Beralaskan sobekan-sobekan koran, berdinding kebisuan malam dalam balutan selimut dingin, di bawah atap keremangan cinta, akan kasih sayang yang tergadaikan oleh ketidaksanggupan seorang bunda menangggung aib karena kelalaian cinta anak remaja, yang dileburkan dalam kepuasan nafsu. Raga... Nur… mereka sebenarnya terlahir dari rahim yang suci. Mereka bukan anak haram. Mereka sama seperti anak kecil yang menggendong boneka di halaman swalayan tadi, mereka memiliki ayah dan ibu. Hanya saja takdir telah mengantarkan mereka untuk bertualang di pinggir jalan dan mengadu nasib di bawah keikhlasan hati pengguna jalan untuk memberikan kepingan-kepingan logam di telapaknya.
Di keheningan malam yang sesekali diselingi oleh suara tak karuan dari anak-anak jalanan yang terbius alkohol, Raga tiba-tiba terbangun oleh igauan Nur yang terus saja menangis memanggil bunda yang hingga saat ini tidak pernah dia tahu apa, siapa, dan bagaimana wujud sang bunda sebenarnya. Raga mendekap tubuh mungil itu dan membiarkannya hingga mata Nur terpejam dalam buaiannya. Dia sangat mencintai Nur, meskipun mereka tidak terlahir dari rahim yang sama.
Terbayang di benak Raga peristiwa lima tahun silam, saat usianya beranjak sepuluh tahun. Ketika dia menelusuri lorong-lorong sempit untuk menjajakkan koran di suatu pagi, lamat-lamat terdengar olehnya tangisan bayi yang sumbernya tidak jelas. Ketika dia berusaha mencari asal tangisan itu, kakinya tanpa sengaja menyentuh sebuah bungkusan hitam yang tergeletak begitu saja dekat kubangan sampah.
“Astagfirullah….” Ucapnya sewaktu dia tersadar bahwa isi dari bungkusan tadi adalah sosok bayi mungil yang masih berselimut darah karena terpaksa keluar dari rahim seorang bunda. Beruntung sosok bayi mungil itu masih bernyawa. Meskipun darah yang membalutinya sudah mengering dan menjadi santapan empuk bagi lalat-lalat tong sampah.
Didorong rasa ibah, Raga dan ibunya mengadopsi bayi itu meskipun kehidupan keluarganya pas-pasan. Mbok Sum, ibu Raga hanyalah seorang tukang cuci dan Raga sendiri berprofesi sebagai penjual koran sebelum dia berangkat ke sekolah. Nurani itulah nama pemberian Mbok Sum pada si bayi mungil sebagai wujud kegundahannya serta ketidaksepakatannya pada bunda yang kehilangan nurani sehingga tega membuang darah dagingnya sendiri.
Keceriaan Nur menebarkan cahaya yang menghiasi keluarga Raga, hingga ketika Nur memasuki usia enam tahun Mbok Sum harus menyusul kepergian suaminya di alam lain. Sejak saat itu Raga dan Nur bersepakat untuk terus berjuang melewati titian hidup meskipun mereka belum dapat menerka, akankah hari esok menjadi sahabatnya. Ketegaran sang bunda yang dititipkan di hati Raga membuat dia dengan sabar mendampingi Nur melewati masa remajanya meskipun harapan pada sisa-sisa peninggalan ibunya telah habis tergadaikan dan hanya meninggalkan puing-puing kenangan pada sebidang tanah tak bertuan.
***

Waktu terus bergulir dan mendewasakan dua sosok bocah pengamen itu. Raga kini memutuskan untuk merantau ke negeri seberang demi perubahan nasib mereka.
“Aku akan menunggu kepulangan, Kakak,” ucap Nur di sebuah terminal bus yang menjadi saksi kepergian seorang pemuda berusia duapuluh tiga tahun.
“Jaga dirimu baik-baik dan tetaplah mengingat Allah, Nur,” bisik Raga di tengah kerumunan manusia-manusia dengan tujun masing-masing.
“Insya Allah, Kak….” Ucap gadis berkerudung biru itu.
Raga tersenyum lega karena dia yakin Nur akan tetap terjaga dengan seruan-seruan Ilahiah yang senantiasa dia dendangkan saat bertualang di tengah jalan.
“Surga juga buat pengamen, Nur!” serunya kala itu, mengingatkan Nur ketika dia hampir mencopet dompet gadis muda yang baru saja keluar dari sebuah taxi.
Raga melangkah memasuki bus antar kota diiringi dengan lambaian tangan Nur yang sesekali menyeka air mata dengan ujung kerudungnya. Baru kali ini dia benar-benar merasakan pedihnya sebuah perpisahan meskipun rahasia dirinya dan hubungan persaudaraannya dengan Raga belum terungkap. Dia tidak pernah tahu akan identitas dirinya yang sebenarnya. Ketika seorang bertanya dimana bundamu? Nur pasti akan berkata dia telah meninggal. Seandainya dia tahu bahwa Raga bukan saudara kandungnya dan Mbok Sum bukan bunda yang melahirkannya, mungkin ketegaran dirinya akan buyar seketika, karena setiap anak yang terlahir pasti mengharapkan kasih sayang bunda. Sedangkan Nur telah menjadi korban dari seorang bunda yang tak bernurani.
***
Senja kian meredup saat seorang gadis kembali pulang pada sebuah atap cintanya. Dia menyandarkan tubuhnya pada bangku tua di sudut gubuknya sambil menengadahkan kepalanya menatap langit-langit gubuk. Hari ini dia harus belajar hidup mandiri karena Raga berada jauh di seberang sana. Dia melangkahkan kakiknya memasuki salah satu ruangan yang tidak begitu luas untuk merajut kembali kenangannya bersama Raga. Di ruangan inilah Raga seringkali duduk bersimpuh saat gema adzan telah berkumandang. Di tempat ini pula berjuta lafaz doa terangkai kala sepertiga malam datang menyapa. Mata sembabnya terus menelusuri sisi demi sisi ruangan itu dan tanpa sengaja tatapanya terhenti pada sebuah kotak kayu yang berada di lemari pakaian milik Raga. Kotak itu menghadirkan rasa ingin tahu di benak Nur. Dia mencoba membuka kotak tadi dan ternyata berisi sebuah catatan kecil milik Raga. Rasa penasaran mendorong Nur untuk menelaah lembar demi lembar catatan itu. Matanya yang bulat mencoba menelusuri kata-kata yang tertulis hingga pada menit berikutnya dia terpaku pada beberapa baris kata.
4 Januari 1986
“… Seorang bayi mungil tersenyum di bongkahan sampah kembali mengukir nama seorang ibu yang tak bernurani. Nur engkau adalah adik baruku meskipun kita terlahir dari rahim yang berbeda….”
Tanpa sadar tangan Nur bergetar hebat, dia melepaskan catatan kecil itu. Disusul dengan simbahan air mata yang berjatuhan dari kelopak matanya.
Apakah benar engkau bukan kakak kandungku? Apakah bunda bukan orang yang melahirkanku? Lantas siapa bundaku Kak…siapa? Isak tangis Nur semakin menjadi. Dia tidak percaya akan kenyataan yang ada di hadapannya.
Apakah aku sangat buruk sehingga dia yang melahirkanku mencampakkan diri ini?
Kegalauan dan kegelisahan jiwa menjadikan mata Nur enggan terpejam malam itu. Dia berusaha merajuk kembali kenangan-kenangan hidupnya yang retak oleh realitas. Sosok Mbok Sum dan Raga saling berkejaran dalam imajinya. Nur tersenyum sambil berlari mendekati Mbok Sum yang telah siap menganugerahkan rangkulan kasih. Dia duduk di atas pangkuan bundanya mendengarkan lantunan shalawat yang terdengar syahdu dari bibir wanita separuh baya itu. Sementara Raga terlihat segar sehabis mandi dan menukar pakaian dengan gamis putih sebelum berangkat ke mushallah di samping rumahnya. Kisah kasih masa kecil semakin membuatnya gelisah menunggu esok untuk menjumpai bunda yang tega mencampakkannya. Nur terhanyut bersama sayap-sayap imajinasi yang terus membentang hingga pada lamunan tak bertepi.
KRIIIING… KRIIIIING…. Suara weker mini yang tergeletak di sampingnya mematahkan sayap-sayap itu dan membawa Nur kembali pada dunia nyata.
Astagfirullah… aku hampir lupa, ternyata hari ini aku harus tugas pagi. desahnya sambil mengusap wajah.
Dia segera berbenah diri setelah membenamkan wajahya di atas sajadah usang warisan Mbok Sum. Sebuah Lembaga Pemasyarakatan telah menerimanya sebagai juru masak untuk para tahanan dan petugas-petugasnya. Di tempat inilah dia dapat mengenal berbagai karakter manusia yang dia jumpai setiap kali waktu makan tiba.
***
Siang itu, Nur mengambil posisi pada tempat duduk yang berada di pojok untuk menyandarkan punggungnya yang lelah. Dia menatap para narapidana yang menikmati hidangan buatannya. Tetapi tatapannya tiba-tiba berhenti pada sosok yang menarik perhatiannya. Sosok itu terlihat lusuh. Pendaran keayuan di wajahnya meninggalkan kesan kegersangan jiwa. Sosok itu mempermainkan hidangan makanan siang di hadapannya. Melihat tingkah laku wanita tersebut Nur mencoba menghampirinya.
“Hai….” Sapa nur.
Wanita itu menatap Nur dengan tatapan hampa.
“Tidak enak ya?” tanya Nur berusaha memalingkan perhatian wanita tadi yang terus saja membisu dan menatap Nur.
Nur menjadi salah tingkah dan tak tahu harus berbuat apa. Dia merasa tatapan itu berusaha menelanjangi dirinya bahkan merasuk dalam batinnya. Nur berlari menjahui wanita tadi yang tiba-tiba saja berdiri hendak memeluk Nur.
“Nur, kamu kenapa?” Tanya salah seorang petugas.
Nur tersentak kaget, ”ti… tidak apa-apa, Pak.”
Petugas itu tersenyum
“Siapa wanita yang di sudut sana, Pak?” Tanya Nur
“Rastiyana.”
“Penghuni baru ya?”
Petugas itu mengangguk.
“Kasus apa?”
“Dia memebuang darah dangingya sendiri, setelah beberapa menit dibiarkan terkapar hingga bayi itu menghembuskan nafas yang terakhir.” Jawab petugas tadi kemudian berlalu pergi.
Nur merasakan sebuah benda keras seperti mendarat tepat di atas kepalanya. Dia berdiri kaku sambil menatap wanita itu dari kejauhan. Ada sebilah pisau serasa menusuk batinnya.
Ya…Tuhan mengapa hal ini terulang lagi. Sebeku apakah nuraninya yang tidak terketuk dengan tangisan dan wajah polos si bayi mungil, saat terpaksa terusir dari rahim bunda. Dengan tangan apa lagi aku harus mengetuk nurani bunda yang beku ituTuhan? Mengapa mereka tidak pernah bercermin pada kenyataan hidup sebelum menghkianati ikrar cinta dalam telaga dosa. Haruskah ribuan bayi tak berdosa bergelimpangan pada bak-bak sampah, sumur-sumur pengharapan, tepian-tepian sungai kering, dan belukar-belukar berduri.
Nur terus melekatkan pandangannya pada wanita itu hingga waktu makan usai dan mengantarkan para nara pidana untuk kembali ke dalam sangkar berterali besi. Begitupun dengan sosok itu yang semakin menjauh darinya kemudian lebur bersama narapidana yang lain. Lambat laun kegaduhan suara-suara narapidana berganti dengan kehadiran seekor kucing belang bersama seekor bayi mungil di mulutnya memasuki ruangan makan. Mereka menikmati sisa-sisa makanan yang berserakan sambil sesekali menyuapi si bayi yang terlihat manja dan ceria di sisi bundanya.
“Subahanallah…subahanallah…” Ucap Nur sebelum meninggalkan ruangan itu. Sambil menyeka matanya yang terus meneteskan air mata sebagai obat rindunya pada sosok bunda yang hanya tinggal kenangan.
Special for my mother, I missyou forever
Makassar,21 April 2005

Zukenah........SEBUAH CERPEN

“ZUKENAH”
By: Art 02
Pukul dua dini hari, kusaksikan kepolosan wajah-wajah manusia yang berbaring di depanku. Ternyata memang benar tidur menafikan kamuflase, kemunafikan atau rekayasa kedirian manusia.
“Nnnnng…nnnng….” Terdengar dengungan nyamuk-nyamuk kecil menyapaku dalam kesunyian.
“Kasihan manusia, karena kebebasan hanyalah seonggokan kata sampah yang tidak pernah merealitas, ia hanyalah kata pemanis yang meninabobokkan manusia dalam kehidupannya!” seruan itulah yang sempat kudengar saat nyamuk-nyamuk kecil mendendangkan syairnya di hadapanku. Aku tersenyum sendiri dan mendengarkan syair itu. Meskipun aku tahu egoku tidak menerima hal tersebut, tetapi begitulah manusia yang harus senantiasa memilih dalam dilema hidup.
“Kalian memang sangat pandai berkata, tetapi seandainya nyamuk dalam posisi manusia akankah kalian berkata begitu?” bisikku.
Dua ekor nyamuk hitam yang sedari tadi menari di tepi hidungku ternyata mendengar bisikannku.
“Apa bedanya nyamuk dengan manusia. Mereka sama-sama dilengkapi panca indra yang seharusnya menjadi mediasi penghambaan abdi pada sang khaliq.” Jawabnya secara serentak.
“Tetapi kalian punya sayap dan manusia tidak. Sayap itulah yang membawa kalian terbang kapan dan di manapun kalian mau, tidak ada penjara dan penindasan bagi bangsa kalian.” Ucapku menanggapi sanggahan dua ekor nyamuk tadi.
“Kamu salah, justru kamilah yang seharusnya iri melihat anugerah Tuhan yang nyaris sempurna pada manusia, bukankah manusia memiliki akal dan itulah sayap manusia yang melebihi ribuan sayap bangsaku.” Balas mereka.
“Nnnnng… nnnnng… akal adalah sayapmu, hati adalah perisainya dan kebebasan adalah milikmu. Nnnnng… nnnnng….” Kedua nyamuk itu kembali bersyair merdu.
Syair itu semakin menyudutkanku yang kini terpuruk dalam terali besi akan tetapi menyerah apalagi menangis sebagaimana predikat yang selalu disandangkan terhadap eksistensi perempuan tidak akan kupelihara. Meringkuk di jeruji besi lebih baik bagiku daripada hidup di bawah telunjuk orang lain.
Di tengah keheningan malam kuraih sajadah kumal pemberian sipir penjara siang tadi dan kubenamkan diri di telapak sang khaliq.
“Siapa bilang kebebasan itu hanyalah mimpi bagi manusia,” haturku dalam ratapan sujud terakhir.
***
“Subahanallah.” Desahku saat pertama kali kupijakkan kakiku pada sebuah rumah mewah di kawasan Real Estate negeri Jiran.
Di sinilah kuleburkan egoku dan kupatuhi kehendak penghuninya menjadi seorang pembantu rumah tangga. Hari-hariku berlalu dengan berbagai rutinitas yang terkesan monoton. Entah sudah berapa banyak keringat yang terkuras dan air mata yang mengalir dalam pengabdian ini, namun aku harus tetap mencintai setiap apa yang aku lakukan karena tanpa cinta semuanya akan hampa dan sia-sia.
Ijazah diploma yang terus kubawa tidak mampu menjadi jaminan layaknya sebuah pekerjaan. Ternyata tanpa rupiah semuanya tidak berarti apa-apa. Ijazah itu kini hanya bersembunyi di balik dipan tempatku berbaring setelah semua pekerjaan selesai.
***
Pukul lima tiga puluh, aku dikejutkan oleh kehadiran seorang lelaki tua yang sebenarnya tidak asing lagi buatku.
“Zukenah….” Pak Sukiman memanggilku.
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada Pak Sukiman sorang tukang kebun di rumah itu.
“Maukah kamu menolongku?” Pak Sukiman balik bertanya kepadaku.
Aku mengangguk.
“Sudah dua bulan ini Tuan Darmawan tidak membayar upahku dan sekarang istriku melahirkan. Tetapi aku tidak punya uang untuk biaya persalinannya. Apakah kamu bisa membantuku?” lanjut Pak Sukiman.
Aku tertunduk. “Apa yang harus aku lakukan, aku juga tidak memiliki cukup uang karena upahku empat bulan yang lalu sudah terkirim buat Ayah dan gadis kecilku.”
Di tengah perbincangan kami, melintas Pak Darmawan yang baru saja pulang dari gudang tempat ia menghimpun harta kekayaannya. Tanpa menunggu lagi, kuajak Pak Sukiman bertemu majikan kami.
“Ada apa lagi kalian ke sini!” seru majikanku dengan nada membentak.
Pak Sukiman terdiam. Padahal ialah yang aku harapkan dapat memulai pembicaraan itu. Akhirnya dengan sisa-sisa keberanianku yang menyusup di balik saraf-saraf pikiranku, aku mulai berbicara.
“Tuan…kami ingin meminta upah kami!”
“Apa…!” seru Pak Darmawan
Aku dan Pak Sukiman serentak menunduk.
“Apa yang telah kalian lakukan selama ini? Apa yang telah kalian berikan padaku sehingga aku harus membagi-bagikan uang untuk kalian?” Pak Darmawan kembali berbicara dengan amarah yang memuncak.
“A…anu Tuan, istriku bersalin dan aku butuh uang.” Pak Sukiman akhirnya angkat bicara dengan nada yang terbata-bata.
“Aku tidak peduli.” Bentaknya pada Pak Sukiman.
Kali ini kusaksikan kesedihan menghiasi wajah lelaki tua itu. Dalam hatiku ada rasa kesal yang amat sangat. Aku tidak terima bentakan itu meskipun bukan di tujukan buatku, karena menurutku meminta hak setelah melaksanakan kewajiban bukanlah sebuah dosa tatapi kemestian. Aku jadi ibah dengan Pak Sukiman yang berjuang untuk keluarganya dalam keterasingan usia. Rasa ibah inilah yang menstimulus emosiku yang selama ini bungkam.
“Astagfirullah.” Kucoba beristikfar untuk membunuh emosiku. Agar kuraih lagi kebeningan pikiran dan hati untuk meminta hak kami.
“Tuan, bukankah upah kami beberapa bulan yang lalu belum dibayar. Kami juga punya keluarga, kalaupun Tuan enggan membayar upahku tidak apalah. Tetapi setidaknya Tuan dapat memberikan upah Pak Sukiman.” Pintaku.
“Lancang kau…mau jadi pahlawan, yah!” seru Pak Darmawan sambil melayangkan tangan yang biasanya menopang ketika menghadap Rabbnya ke wajahku.
“Zukenah….” Teriak Pak Sukiman saat menyaksikan aku tersungkur dan kerudung yang menutupi kepalaku terpental.
“Pergi sana…!”
Aku berdiri menatap Pak Darmawan sambil memasang kembali kerudung yang menjadi perisaiku saat bergumul dalam lembah kemunafikan dan relitas hidup yang semakin kelam.
“Tidak….” Balasku.
Kali ini kurasakan Pak Darmawan membalas perkataanku itu dengan tatapan yang telah dikobarkan oleh libido kelaki-lakiannya. Sisa-sisa keimanan yang terpendam sudah hilang terbaluti nafsu yang memuncak. Ia menarikku dan ingin menyalurkan hasratnya tanpa peduli nasibku nanti. Tetapi aku bukan perempuan lemah sehingga aku harus berontak agar terlepas dari laki-laki itu.
Pak Sukiman berusaha menolongku, namun dengan sedikit dorongan dari tangan majikanku, ia terhempas dan tidak lagi sadarkan diri. Entah dari mana aku memperoleh kekuatan sehingga aku berhasil lepas dari peristiwa itu. Saat Pak Sukiman terbangun ia sangat terkejud menyaksikan tanganku berlumuran darah dan Pak Darmawan tertelungkup dengan sebilah pisau menancap di punggungnya.
“Apa yang kamu lakukan, Zukenah?” Tanya pak Sukiman.
Aku hanya tersenyum. Dari peristiwa itu kurasakan kebahagiaan akan kemenanganku. Mungkin seperti inilah yang dirasakan oleh Firdaus dalam novel PEREMPUAN DI TITIK NOL ketika akan berhadapan dengan vonis hukuman mati karena telah menumbangkan seorang germo. Tetapi aku merasa lebih bahagia karena aku bukanlah seorang pelacur yang harus tunduk pada kelatahan realitas hidup dan menggadaikan kehormatan demi lembaran rupiah layaknya Firdaus. Ini hanyalah sepenggal kisah yang terungkap untuk membuka mata kaum perempuan yang terenggut nilai kemanusiaannya. Meskipun kehadiran mereka atas nama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tetapi tidak ada perlindungan dan pembelaan yang nyata. Ini adalah wujud pemberontakanku atas penindasan yang menimpa saudara-saudaraku. Aku tidak akan pernah menyesal meskipun kutahu kematian majikanku harus aku bayar dengan nyawaku sendiri atas nama keadilan hukum. Aku yakin akan terlahir Zukenah-Zukenah baru dari rahim suci ibu pertiwi selama pemuja-pemuja violence dan praktik-praktik dehumanisasi masih tumbuh subur.
“Innalillah….” Ucapan terakhirku saat kutinggalkan sangkar pemuja hedonisme bersemayam. Beberapa orang petugas memborgol tanganku dan membawaku ke atap yang baru untuk menuggu panggilan Ilahi.

***

Bangkitlah hai…gadisku
Rajut kembali jelaga senjamu
Tegakkan benang harapmu
Selama fajar belum terbaluti kerudung malam
Engkau masih bisa menari
Altar kemanisan menantimu
Teratai kesucian masih milikmu
Jangan renggut asamu
Dalam kelamnya malam

Inilah sebait kata yang kutorehkan pada dinding buihku, dengan tinta darah sebelum tiang gantungan mengantarkan aku pada kematian yang tanpa mereka sadari bahwa kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya.
“Allahu akbar… Allahu akbar…! seru manusia-manusia yang bersimpati mengiringi kepergianku.
***
Pukul dua dini hari seorang gadis berparas cantik, memberanikan diri menemui lelaki berusia lanjut yang baru saja mengucap salam pada Rabbnya di tengah keheningan malam.
“Kek… aku ingin pamit. Pagi nanti mereka akan menjemputku.”
“Kamu tidak boleh pergi, Nak….”
“Kakek… ini semua demi kebaikan kita.”
“Tidak… Kakek tidak ingin peristiwa itu terulang lagi!”
“Apa maksud Kakek?”
“Lihat… kamu lihat lukisan itu? Kamu pernah bertanya, siapa perempuan itu? Sekarang dengar baik-baik, ia adalah ibumu sekaligus korban yang menjadi tumbal ketidakadilan hukum, saat usianya Dua puluh tiga tahun dan Armansyah bapakmu telah meninggal. Ia menitipkan kamu pada kakek. Usiamu saat itu baru setahun lebih. Ia ingin bekerja di luar negeri akan tetapi demi mempertahankan kehormatannya, ia membunuh majikannya sendiri dan divonis hukuman mati. Kakek tidak ingin semua itu terulang lagi pada kamu, Nak….”
Gadis itu tertegun, ia menarik nafas dalam-dalam dan menatap lukisan tua yang tampak usang termakan usia. Aku adalah anak Zukenah, iya… namaku adalah Liliana Zukenah. Aku ternyata terlahir dari rahim seorang pembunuh. Pembunuh kemunafikan yang akhirnya terbunuh di tiang gantungan dalam kemunafikan hukum.
“Innalillahi wa’innailaihi roajiuun” Ucapku menyambut fajar di ufuk timur, menyibak kabut di mata kakek yang selama ini selalu merindukan anaknya Zukenah.



Terkhusus untuk saudara-saudaraku yang mengadu nasib di negeri orang, mudah-mudahan kalian tetap istiqomah di jalan-Nya agar senantiasa mendapat lindungan dari-Nya. Amin

Jejak Tersisa

    Nama :
    Web :
    Jejak :
    :) :( :D :p :(( :)) :x
Muchniart Production @ 2006