« Home | Puisi : Ibu » | Puisi : Bisikan Hati » | Puisi : Mawarku » | Puisi : Debu » | Puisi : Akulah » | Puisi : Tentang Cinta » | Puisi : Nyanyian Kebisuan » | Puisi : Tentang Makna » | PUISI : Binatng, Matahari Dan Malam » | PUISI : Air Mata »

Cerpen : PLAKAT BERBINGKAI BIRU

PLAKAT BERBINGKAI BIRU
By : Art 02

“Aku nggak pernah habis pikir, kok udara hari ini panas bangat,” geruru Faisha saat melintasi gang kecil menuju sebuah warnet yang sekarang ini menjadi tempat nongkrongnya, semenjak tugas kuliahnya mengharuskan diamengutak-atik berbagai situs untuk mencari data dan referensi.
Sambil mengusap keringat yang membasahi wajahnya, Faisha mulai mengaktifkan komputer dan langsung mengecek mailnya.
“Oh… ternyata hari ini tidak satupun pesan yang masuk.”
Adzan magrib mulai bergema, yang mengharuskan Faisha bergegas kembali, soalnya kata pak ustadz, “tidak baik loh, anak gadis keluyuran sampai malam.”
“Assalamu’alaikum… aku pulang. Kok nggak dijawab?”
Faisha melangkah menuju kamar kostnya dan ternyata semua kamar lagi tidak berpenghuni.
“Kemana ya, mereka?” Faisha agak sedikit bingung dan pikirannya semakin bertanya-tanya.
Namun tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah kotak surat yang tergantung di sisi pintunya. Dengan agak ragu diraihnya surat tanpa nama itu.
“Ini dari siapa? Atau jangan-jangan mereka ngerjain aku. Siapa yang lagi iseng di siang bolong begini?” dengan nada kesal Faisha membuka surat yang membuat dirinya penasaran tujuh keliling.

Dear Faisha,
How are you? Masih ingat sama aku?
Makasih yah, atas balasan mailnya.
Sekarang aku lagi di makassar dan aku
Tunggu kabar dari kamu.
Bisa, gak kita ketemu? 
Udah yah.

Wassalam

Adrian

Ada perasaan terkejud yang terlintas, mungkinkah dia adalah Adrian? Pemuda yang tidak sengaja kukenal lewat chatting, cannelnya ‘café Islam’. Apakah dia benar-benar ada di kota daeng ini?
“Ah… dasar rese, wajahnya saja aku belum pernah lihat. Kok berani-beraninya kirimin aku surat. Lagian di mana juga dia ngedapatin alamat aku? Biarin deh, emangnya aku pikirin.”
Belum habis rasa penasaran campur kesal Faisha, tiba-tiba ponselnya berdering keras. “Ass… Faisha jadi tidak kamu ikut seminar muslimah besok pagi? Aku tunggu yah, di tempat biasa. Wassalam.” Ternyata Faisha mendapat SMS dari temannya Qanita.
Tetapi belum cukup semenit, ponsel itu berdering lagi.
“Ini nomor siapa yah?” sambil mengerutkan keningnya, Faisha berusaha mengingat-ingat nomor ponsel kawan-kawannya. Namun hingga pencahrian yang terakhir tidak ada satupun yang sama dengan nomor yang muncul di layar HPnya itu.
“Assalamu’alaikum.” Terdengar suara dari seberang sana.
“Faisha, ini aku Adrian. Kabar kamu gimana?”
Faisha hanya terdiam.
“Nekat benar orang ini,” Pikir Faisha.
“Faisha, kok diam. Jawab dong!”
Faisha tersentak dan hampir saja HPnya terjatuh dari genggamannya.
“Eh… eh… eh… iya, wa’alaikum salam. Aku alhamdulillah baik. Oh yah, kamu dapat nomor HPku dari siapa? Akukan tidak pernah memberikannya pada kamu?”
“Ada aja… Faisha bisa tidak, kita ketemu besok pagi?”
“Maaf, besok pagi aku ada jadwal lain.”
“Oh… gitu yah, mmm…nggak apa-apa deh.”
Percakapan itu diakhiri dengan suara sinisnya Faisha. Dan kini Faisha yang sepanjang harinya di sibukkan dengan berbagai aktivitas, akhirnya terbuai dalam selimut malam, ditemani dengan mimpi-mimpi indanya akan hari esok.

***

“Faisha, bangun dong. Udah jam delapan nih. Tidak baik loh, anak gadis kayak kamu suka molor pagi-pagi.” Faisha disentakkan oleh suara Qanita yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya.
“Aku kira kamu janjinya nunggu di tempat biasa, kok sekarang malah penampakan di sini? Kalau masuk kamar orang minta izin dulu dong, jangan asal dobrak aja kayak maling.”
Ekspresi wajah Faisha yang sangat awut-awutan membuat Qanita tersenyum geli. “Sudah non, cepatlah nanti kalau telat gimana?”
“Hu… dasar penggangu kelas kakap.” Ucap Faisha sambil berlalu meraih sebuah handuk dan langsung menubruk kamar mandi.
“Yeeee… bukannya berterima kasih, malah sekarang ngomel-ngomel.” Balas Qanita.
Qanita mengamati kondisi kamar Faisha, yang lebih para dari kapal pecah. Dia menggelengkan kepalanya. “Sibuk sih, sibuk tapi perhatiin juga dong kebersihan lingkungan.” Gerutu Qanita.
Sementara dari sudut ruangan sana terdengar melodi yang dangdut bangat dari bibir Faisha ( tapi Upsss!! dangdut yang dimaksud nggak kayak KDI itu loh ).
“Hei…, Non. Kalau lagi mandi jangan suka nyanyi dong, ntar kamu dapat suami orang tua gimana? Teriak Qanita dari balik pintu.
“Alah… itu mah hanya mitos.”
“Terserah deh, kamu mau dengarin atau tidak. Yang jelasnya buruann dong mandinya. Sebentar lagi acaranya dimulai nih.”

***

“Qanita, kemarin sore aku dapat surat yang aneh bangat.”
“Dari siapa?”
“Adrian….” Jawab Faisha agak malu-malu.
Melihat kawannya bertingkah aneh, Qanita hanya tersenyum.
“Kamu kenal dari mana?”
“Lewat chatting, katanya dia orang Jogyakarta. Tapi dalam suratnya, sekarang dia ada di Makassar.
“Bagus tuh,” timpal qanita.
“Apanya yang bagus,” nada suara Faisha agak meninggi yang membuat seluruh peserta seminar menoleh kepadanya. Faisha lagi-lagi harus menahan perasaannya karena malu dengan peserta seminar.
Setelah itu mereka berdua terdiam dan konsentrasi penuh untuk memperhatikan bahasan pemateri tentang ‘Tanggungjawab dan Akhlak Seorang Muslimah’. Mereka berdua terlarut dalam dialog yang cukup sengit antara peserta seminar dengan nara sumber. Dan tanpa terasa di pertengahan siang kegiatan seminar harus berakhir karena jadwal shalat zduhur telah menanti.
“Aku sepakat dengan pemateri tadi bahwa muslimah saat ini harus mampu menampilkan akhlak yang mulia dan jangan mudah terpengaruh oleh kenikmatan dunia semata. Menurut kamu, gimana Nit?”
“Iya juga sih.” Jawab Qanita.
“Tapi bisa gak, yah? Soalnya saat ini generasi muda seumuran kita-kita lebih doyan nongkrongin TV untuk nonton konser KDI atau AFI ketimbang dengarin acara Tauziah. Mereka lebih tahu nama Maradonna atau Britney Spirt ketimbang Khadijah dan Fatimah.”
“Bisa… bisa, yang jelasnya kita mau membangun sebuah komitmen dan saling mengingatkan. Gimana?” Ucap Faisha menibis kekhawatiran sahabatnya.
Qanita tersenyum sambil mencubit lengan kawannya yang saat ini terbaluti semangat layaknya Imam Huzain saat terkepung oleh musuhnya dalam perang di tanah karbala.
‘Faisha, aku jalan duluan yah, soalnya aku mau mampir di toko buku An-nisa.”
“OK, hati-hati yah.”
Fasiha melangkah di antara kerumunan peserta seminar. Dia sesekali memalingkan wajahnya ke suatu arah yang tak jelas karena dia merasa ada yang mengikutinya dan memanggil-manggil namanya.
“Faisha… Faisha….”
Faisha berbalik ke arah sumber suara, tapi yang dia dapatkan hanyalah kerumunan peserta seminar yang baru saja keluar dari ruangannya. Tak lama kemudian panggilan itu terdengar lagi, bahkan sekarang terdengar sangat dekat.
“Apa betul anda, Faisha?”
“Iya….” Jawab Faisha sambil membalikkan badannya untuk melihat siapa yang menyapanya.
“Bagaimana kabar kamu?” Tanya pemuda itu lagi.
“Baik….” Jawab Faisha sambil menatap pemuda yang berdiri tidak jauh dari hadapanya dengan penuh selidik.
“Kalau boleh tahu, anda ini siapa?” Tanya Faisha diiringi dengan ekspresi wajah garang sebagai salah satu triknya untuk meng-KO- cowok-cowok yang sering iseng.
pemuda itu tersenyum.
“Adrian.” Jawabnya sambil mengulurkan tangan.
BRAKKKK!!! Tubuh Faisha terguncang dasyat. Tetapi dengan lafaz istikfar dia segera menata kembali hatinya. Meskipun demikian, kali ini Faisha benar-benar bingung, apakah uluran tangan itu harus dia sambut atau tidak. Lama Faisha menatap uluran tangan itu yang sampai detik ini masih setia menunggu. Faisha akhirnya tersenyum menatap uluran tangan tadi dan mendekapkan kedua tangannya sebagai simbol dia menerima uluran tangan Adrian, sebagai mana yang sering dia lakukan kepada teman-teman prianya di kampus. Tanpa pikir panjang, dia langsung pamit kepada Adrian sebelum lelaki itu mengeluarkan jurus selanjutnya.
“Nanti malam, pukul Delapan aku ingin ke rumahmu,” Adrian masih angkat bicara meskipun Faisha telah duduk manis di atas angkot.

***
Saat ini jam dinding telah beranjak dari pukul 07:00 WITA menuju pukul 07:30 WITA dan bayang-bayang Adrian masih saja menghantui Faisha.
“Benarkah dia akan datang malam ini? Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengunci pintu rapat-rapat, mematikan lampu dan pura-pura tertidur atau meminta bantuan teman sekostku menyuruh dia masuk dan aku pura-pura sakit sebagaimana resepnya ‘Ine Sintiya’ dalam lagunya Lima Menit lagi.”
Faisha tersenyum sendiri dan berusaha menutupi kebingungannya.
“Tetapi, kalau dipikir-pikir kasihan juga sih, jika saya harus menolak kedatangannya.”
Kembali pro dan kontra hadir di benak Faisha.
“Soalnya dia sudah jauh-jauh dari Jogyakarta datang berkunjung ke sini. Jika aku cuekin, apa katanya nanti. Aduh… aku harus bagaimana?”
Cemilan yang sedari tadi menemani pertapaan Faisha sudah hampir habis, sementara terdengar jam dinding berdetak delapan kali menandakan waktu yang dicemaskan Faisha sudah tiba. Tidak ada solusi yang didapatkan dari hasil semedi panjangnya dan tiba-tiba sosok yang dijumpai siang tadi, muncul dari balik pintu kamar kostnya.
“Selamat malam Faisha.”
Faisha tidak menjawab sapaan itu, dia langsung berbalik menatap hiasan dinding yang menempel di daun pintunya, ‘Jangan lupa Dong Ucap Salam’ Adrian seolah-olah menangkap maksud Faisha. Dia kembali meralat ucapannya.
“Maaf… assalamu’alaikum. Boleh aku masuk?”
Faisha lagi-lagi tidak tahu harus berbuat apa, karena biasanya anak-anak yang tinggal di pondokannya di wajibkan menerima tamu di ruang tamu pondokan, tapi karena ruangannya sedang direnovasi, ada sedikit dispensasi untuk menerima tamu di kamar masing-masing, tetapi ternyata kebijakan itu merepotkan Faisha.
“Apakah aku boleh masuk.”
“Oh… iya silahkan!” Faisha kembali tersentak setelah Adrian mengulangi ucapannya tadi.
“Maaf yah, kamarku berantakan nih.”
Kedatangan Adrian kali ini, dinilai nekat oleh Faisha, dia tidak menyangka pertemuannya siang tadi akan berlanjut seperti ini. Faisha terkejud ketika tanpa basa-basi Adrian mengajaknya keliling kota sebelum dia kembali ke Jogyakarta. Dalam kondisi yang sekarat, Faisha hanya bisa mengangguk dan sepakat dengan ajakan itu.
“Tapi pulangnya jangan terlalu larut yah,” pinta Faisha.
“OK….”
Dengan menggunakan stelan kerudung putih dan jubah biru bermotif kembang-kembang, Faisha keluar dari kamar kostnya. Tetapi sebelum pintu terkunci, ternyata HP nya ketinggalan dan dia kembali mengambilnya yang sedari tadi dia letakkan di atas meja belajar. Namun tanpa sengaja, sesaat setelah tangannya telah meraih Handphone. Dia menyentuh sebuah plakat berbingkai biru yang terpajang di sisi mejanya. Plakat itu terjatuh dan pecah. Faisha tersentak kaget dan langsung memungut plakat berbingaki biru itu, terlintas dalam benaknya sebuah kenangan indah ketika dia mengikuti pesantren kilat yang di wadahi di sekolahnya saat SMU dulu. Plakat itu dia peroleh sebagai penghargaan untuk peserta terbaik. Adrian hanya terdiam menatap tangan Faisha yang mengusap plakat itu.
“Ya, Allah, aku hampir saja lupa, seandainya Engkau tidak mengingatkanku. Aku hampir saja melanggar larangan-Mu. Maafkan aku ya, Allah.” Kembali Faisha menemukan sikap optimisnya.
“Maaf Adrian, aku tidak jadi pergi.”
“Kenapa?”
“Besok aku ada ujian,” Faisha mencoba meyakinkan Adrian, meskipun dia harus sedikit berbohong.
“Lain kali saja yah,” lanjutnya.
Entah mengapa Adrian dapat menerima alasan Faisha dan tanpa komentar lagi dia beranjak pergi. Faisha hanya mampu memandangi detak-detak langkah yang mengantarkan banyang-bayang Adrian lenyap dari balik pintu.
“Mudah-mudahan dia dapat mengerti dan memaafkan aku jika telah menyakitinya. Terima kasih ya… Allah, Engkau telah mengingatkanku disaat aku lupa.”
Plakat itu menjadi saksi bisu bahwa amanah yang diemban Faisha harus bisa dia pertanggung jawabkan.
“Menjadi pserta terbaik itu tidak mudah, Nak.” Kata Pak Sabri, kepala sekolah Faisha saat SMU dulu.

***

Mentari pagi menyapa disertai dengan kicauan burung-burung memeriahkan suasana pagi. Faisha yang tadinya terlelap harus terbangun dari tidurnya karena jadwal kuliahnya sebagai mahasiswa baru sangat padat.
“Hai… Fais, apa kabar?” sapa Qanita sahabat setia Faisha yang kebetulan satu universitas dengannya.
“Aku baik.”
“Oh yah, Fais. Ada yang nitip salam buat kamu.”
“Siapa?”
“Mmm… itu… tuh Si pengagum kamu.” Jawab Qanita setengah menggoda.
“Maksud kamu…?”
“Gimana sih, kami ini. Baru ditinggal sehari saja udah lupa. Siapa lagi kalau bukan Adrian.”
“Loh… Nit. Emangnya kamu kenal sama dia?”
“Iya dong. Masa adik sendiri, gak kenal sama kakaknya.”
“Ha…!?! Adrian itu kakakmu yah?”
Qanita mengangguk.
“Kok kamu nggak pernah cerita,” protes Faisha.
“Soalnya, kamu juga nggak pernah nanya.”
“Iya juga sih.” Pikir Faisha.
“Dia kakak sulungku yang kuliah di UGM, katanya Dia juga bergabung dengan anak-anak rohis di kampusnya.” Qanita berusaha memberikan penjelasan kepada Faisha.
“Kamu tega yah, ngerjain aku.”
“Maaf, aku tidak sengaja. Sueeer berani di sambar angin! Kakakku itu pernah cerita, katanya dia punya teman di Makassar dan setelah aku selidiki ternyata itu kamu. Jangan cemberut gitu dong.” Bujuk Qanita ketika melihat wajah kawannya bertambah beratnya beberapa kilogram.
“Iya, Aku maafin. Tapi kamu harus janji untuk tidak mengulangi lagi. OK!”
“OK boss.” Jawab Qanita.
“Fais, aku akui kamu hebat deh.”
“Hebat apanya?”
“Kamu sadar tidak? Semua itu ujian buat kamu dari-Nya dan ternyata kamu bisa lulus juga. Soalnya jarang bangat orang yang bisa berhasil seperti kamu. Kakakku kan lumayan ganteng.” Rayu qanita.
Faisha hanya bisa tersenyum dan mencubit lengan kawannya itu. Dan tiba-tiba HP nya berdering lagi.
“Ya… Tuhan. Ini nomor siapa lagi.” Bisiknya saat menyaksikan hadirnya nomor yang baru dilayar HP nya.


Buat sahabatku ( k’ Anty, k’ Amma, k’Ti2n dan k’ Ayu) serta anak-anak FLP Cab. Makassar tetap istiqomah and jaga hati, lisan dan perbuatan. Okey