PUISI : Binatng, Matahari Dan Malam
BINTANG, MATAHARI DAN MALAM
By : Art 02
Jika kutunjuk satu bintang
Apakah rembulan akan melepasnya?
Jika kupeluk matahari
Apakah siang tak kehilangan?
Jika kubaluti diri ini dengan tirai malam
Apakah pagi tak terdzalimi?
Kenapa manusia harus memiliki?
Ataukah memang pusaran ego sulit melepas
Mengapa manusia tak mau berbagi?
Ataukah berbagi enggan menjemput adil
Sebuah kanvas keserakahan
Dalam nafsu berpeluk ego
Menebis tanya yang bertepi
Menggertak mimpi di pagi hari
Mengapa manusia harus melukis tawa?
Ataukah tawa hadir melipur lara
Saat kutanya sang bintang
Tentang impian menjalin rumah salju
Selaksa senyum menjawab impian itu
Tetap hatiku tersayat menatap rembulan mengadu sinar sendiri
Saat kusapa matahari
Siang kian cemberut, bahkan enggan berhatur sapa denganku
Padahal tak ada niat membendung matahari menyapa siang
Kini langkah terakhirku
Tertambat pada sang malam
Kusujudkan diri di tengah kegalauan pagi
Tetapi lagi-lagi senyum pagi saat menyapaku tak secerah kemarin
Aku harus bertualang dengan siapa?
Ataukah aku harus rela sendiri
Melangkah tanpa bintang
Mengabaikan sapaan matahari
Dan bersembunyi saat malam tiba.
Tetapi bagiku itu sulit… sulit sekali
Karena bintang, matahari dan malam
Terlalu sakral untuk mengucap pisah
Sejak dulu aku selalu mengalah untuk merangkak pada kehidupan yang baru
Mengalah demi kebahagiaan cinta
Mengalah untuk orang tua
Bahkan terhanyut melebur cita
Saat bintang pertama kali berpendar di pelupuk mataku
Kukerdipkan cahayanya dengan anggun
Kemudian disuatu siang matahari memancar garang
Namun keceriaanku menebis kegarangannya dalam peluk kasih
Malam kemudian datang menyambut
Dan aku bahagia karena kawan-kawanku lagi-lagi bertambah
Tetapi rembulan, siang dan pagi menghancurkan asaku
Dengan serta-merta meruntuhkan
Benteng yang kubangun dalam pondasi hati
Akhirnya benar-benar harus memilih
Dan menghempaskan harap pada mereka
Karena hidup adalah sapaan pilihan
Dan menyandarkan harap selain-Nya hanya meleburkan diri pada kekecewaan
By : Art 02
Jika kutunjuk satu bintang
Apakah rembulan akan melepasnya?
Jika kupeluk matahari
Apakah siang tak kehilangan?
Jika kubaluti diri ini dengan tirai malam
Apakah pagi tak terdzalimi?
Kenapa manusia harus memiliki?
Ataukah memang pusaran ego sulit melepas
Mengapa manusia tak mau berbagi?
Ataukah berbagi enggan menjemput adil
Sebuah kanvas keserakahan
Dalam nafsu berpeluk ego
Menebis tanya yang bertepi
Menggertak mimpi di pagi hari
Mengapa manusia harus melukis tawa?
Ataukah tawa hadir melipur lara
Saat kutanya sang bintang
Tentang impian menjalin rumah salju
Selaksa senyum menjawab impian itu
Tetap hatiku tersayat menatap rembulan mengadu sinar sendiri
Saat kusapa matahari
Siang kian cemberut, bahkan enggan berhatur sapa denganku
Padahal tak ada niat membendung matahari menyapa siang
Kini langkah terakhirku
Tertambat pada sang malam
Kusujudkan diri di tengah kegalauan pagi
Tetapi lagi-lagi senyum pagi saat menyapaku tak secerah kemarin
Aku harus bertualang dengan siapa?
Ataukah aku harus rela sendiri
Melangkah tanpa bintang
Mengabaikan sapaan matahari
Dan bersembunyi saat malam tiba.
Tetapi bagiku itu sulit… sulit sekali
Karena bintang, matahari dan malam
Terlalu sakral untuk mengucap pisah
Sejak dulu aku selalu mengalah untuk merangkak pada kehidupan yang baru
Mengalah demi kebahagiaan cinta
Mengalah untuk orang tua
Bahkan terhanyut melebur cita
Saat bintang pertama kali berpendar di pelupuk mataku
Kukerdipkan cahayanya dengan anggun
Kemudian disuatu siang matahari memancar garang
Namun keceriaanku menebis kegarangannya dalam peluk kasih
Malam kemudian datang menyambut
Dan aku bahagia karena kawan-kawanku lagi-lagi bertambah
Tetapi rembulan, siang dan pagi menghancurkan asaku
Dengan serta-merta meruntuhkan
Benteng yang kubangun dalam pondasi hati
Akhirnya benar-benar harus memilih
Dan menghempaskan harap pada mereka
Karena hidup adalah sapaan pilihan
Dan menyandarkan harap selain-Nya hanya meleburkan diri pada kekecewaan