CERPEN
Tuhan, Izinkan Aku Mengucap Cinta
By : Art 02
Aku lebih memilih duduk di serambi masjid kampus saat waktu senggang menyapaku di sela-sela padatnya jadwal perkuliahan. Kehadiranku di tempat itu bukan berarti aku adalah pencinta masjid akan tetapi aku hanya melepaskan lelahku di sana karena menurutku inilah satu-satunya tempat yang steril dari gadis-gadis jutek, nona-nona pemuja gosip dan udara pengap. Salah satu hal yang membuat aku betah berlama-lama di sini adalah hadirnya sekawanan burung pipit yang saling berebut sebatang rumput kering untuk dijalinkan menjadi sangkar yang hangat. Di tempat ini pula sering kujumpai sekelompok wanita berbusana muslimah duduk melingkari seorang gadis manis jilbaber yang terus terang mengusik perhatianku. Entah apa yang mereka lakukan, jelasnya ada aura damai dan bahagia yang terpancar dari wajah mereka ketika tanpa sengaja mataku beradu pandang dengannya.
Senja kian kelabu, memaksa aku untuk kembali ke pondokanku karena sebentar lagi masjid itu akan dipenuhi manusia-manusia yang ingin berjumpa dengan Rabbnya. Kehadiranku pasti akan menimbulkan rasa risih bagi mereka, soalnya aku bukanlah pencinta gamis sebagaimana yang membaluti tubuh mereka, aku juga tidak pernah mengenal jubah apalagi kerudung layaknya gadis jilbaber senja tadi. Istilah gamis dan semacamnya kebetulan saja aku dengar lewat ceramah dosen agamaku. Selanjutnya akan menjadi bahan tertawaanku tatkala mereka mulai mengeluarkan kutipan ayat-ayat Al-Quran untuk menyentilku.
“Aku adalah aku dan semua yang aku lakukan akan aku pertanggungjawabkan sendiri.” Gerutuku lirih.
***
Siang ini pikiranku dipenuhi kepenatan, selepas mengikuti praktikum kimia instrumen. Getaran-getaran spektronik 20 menyerap seluruh tenagaku karena banyaknya larutan sampel yang harus diamati. Aku melangkah lunglai sambil merapikan baju praktikum yang baru saja aku lepas.
“Rye, kamu langsung pulang yah?” tanya Sita gadis berdarah Menado yang sekelas denganku.
“Kenapa?”
“Kita barengan yah.”
“Sorry deh, kamu jalan duluan saja soalnya aku masih ada urusan.”
Sita tidak menjawab dan langsung berlalu dengan air muka kecewa. Kutatapi kepergiannya dengan tatapan hampa hingga dia menghilang pada sebuah belokan menuju halte bus. Ada satu bus berhenti tepat di hadapannya dan ketika bus itu sudah berlalu sosok Sita berganti dengan kehadiran gadis yang sering kali aku dapati di masjid kampus. Dari kejahuan aku melihat dia tersenyum. Aku membalas senyuman itu, akan tetapi ternyata senyumannya bukan untukku melainkan untuk tiga orang gadis yang berjalan di belakangku.
“Senyuman yang indah,” desahku saat aku rasakan ada getaran aneh melintas di kalbuku.
Ketiga gadis tadi menyambut kedatangannya dengan saling bersalaman dan bertukar kabar. Aku yang meyaksikan pertemuan itu serasa larut dalam khayalan. Dari senyumnya kurasakan damai di hatiku, langkahnya yang anggun dalam balutan kain panjang membiaskan kesucian dan keterjagaan dirinya, keteduhan tatapan dan wajahnya yang bercahaya menarik perhatiannku untuk mengenal siapakah dia? Meskipun benakku masih berpendar beribu tanya akankah semua itu terwujud.
Aku langkahkan kakiku di atas ubin-ubin lantai masjid berkeramik hijau, ku sandarkan tubuhku pada dinding yang bertuliskan kalimat Ilahih dan kupejamkan mataku untuk mengobati rasa lelah ini. Samar-samar dari balik tirai jendela kudengar suara gadis itu mengeluarkan kalimat-kalimat tauziyah. Suara itu mengusik tidurku dan mendorong hasratku untuk memperhatikan gadis itu sebagaimana yang sering terjadi tanpa sepengetahuannya.
“Ya…Tuhan alangkah indahnya sosok yang Engkau hadirkan ini, akankah dia tercipta untukku? Jika memang benar maka datangkanlah keberanian dalam diriku untuk menyapanya dan mengenal siapa dia. Bukankah Engkau menitipkan rasa cinta pada setiap hambamu dan saat ini izinkan aku untuk menyatakan cintaku padanya.”
Aku terhanyut dalam lamunan dan tanpa kusadari ternyata tirai malam telah menutupi kecerahan senja dan menghadirkan keheningan. Gadis itu ternyata telah pergi. Ku raih tas ransel dan jaketku kemudian beranjak pergi melintasi jalan tol reformasi dengan sepeda motor.
***
Tepat pukul 21.00 WITA. Aku melintasi gang kecil di depan sebuah pasar tradisional. Cahaya lampu weser sengaja kunyalakan karena malam itu jalanan sangat gelap. Tiba-tiba aku berhenti saat mataku melihat sosok gadis berkerudung putih sedang berjalan sendirian dengan dua kantung plastik di tangannya. Rasa persaudaraan mengusikku memberi tumpangan untuknya
“Kamu mau ke mana?” tanyaku.
“Gang 12,” jawabnya.
“Kalau begitu sekalian saja kebetulan aku juga tinggal di daerah sekitar situ.”
Gadis itu menatapku penuh selidik kemudian dia tersenyum.
“Iya deh.”
Setelah tiba di sebuah rumah berukuran 5 x 5 m gadis itu menyuruhku berhenti. Dia mengajakku mampir tapi aku menolaknya karena sekarang sudah larut malam. Di bawah sorotan lampu jalan kuperhatikan wajahnya yang sedari tadi disamarkan oleh kelamnya malam. Ternyata dia adalah gadis jilbaber tempo hari.
“Terimah kasih,” ucapnya.
Aku mengangguk meskipun kesadaranku saat ini terhipnotis antara percaya dan tidak.
“Apakah Engkau merestuiku Tuhan?”
Pertemuanku yang terbilang singkat malam itu akhirnya membuahkan hasil karena aku telah mengetahui namanya adalah Zoraya dan kami kuliah pada kampus yang sama. Ada secercah harapan di hatiku untuk lebih mengenal dia. Koridor kampus menjadi saksi ketika secarik pesan kutitipkan untuknya.
“Cinta adalah anugerah terindah dari-Nya. Di saat cinta telah menyapa, maka naluri insan pemujanya akan berbisik titipkan rasa itu kepadanya. Meskipun aku tidak begitu mengenalmu akan tetapi entah mengapa rasa ini senantiasa menghadirkan resah dihatiku untuk menunggu jawabmu. Aku mencintaimu dan janganlah engkau tebiskan rasa ini pada kedangkalan spritualku.”
Entah apa yang dipikirkan gadis itu saat ini. Karena menurut informasi yang aku peroleh dari teman dekatnya, sudah banyak yang berusaha menarik simpati gadis ini akan tetapi satu persatu diantara mereka akhirnya memendam harapnya kerena gadis itu sama sekali tidak perduli dengan ungkapan cinta yang berkedok silaurrahmi. Tetapi tekadku saat ini sudah bulat dan pesan itu pasti telah terbaca olehnya.
***
Seorang gadis yang tidak kukenal tiba-tiba menyapa dan menitipkan secarik kertas untukku pada sebuah pagi yang diselimuti mendung. Rasa penasaran membuatku segera membuka dan membaca kertas tersebut.
“Cinta memang anugerah terindah darinya, akan tetapi tidak selamanya rasa yang dititipkan harus menuai jawab. Cinta yang hakiki adalah perjalanan spritual menggapai kesempurnaan. Jika engkau sang pencinta maka mendakilah pada bukit peleburan ego kepemilikan yang selalu saja menjadi tabir yang membatasi pertemuan pemuja cinta dengan pemilik cinta. Seandainya cinta yang engkau rasakan adalah suci maka hilangkanlah rasa suka yang bersemayam di dalamnya karena rasa itu hanya akan menyesatkanmu pada hasrat kepemilikan. Aku dan kamu tidak akan mungkin memupuk rasa itu dalam sebuah ikatan kerena kita telah ditakdirkan olehNya menjadi pendamping kaum Adam. Maafkan aku Ryanti.”
“Engkau salah paham Soraya, bukan itu yang aku maksud.” Ucap Rye dalam hatinya yang memberontak.
Terus terang ada rasa kesal dan kecewa terbersik di benakku selepas membaca surat tadi. Sehingga aku lebih memilih untuk bolos kuliah hari ini. Kuhabiskan waktu menatap kepasrahan rumput kecil di bawah injakan telapak kaki manusia, kutegarkan hati, setegar rumah Tuhan di hadapanku dan kuhibur diriku bersama tarian rimbunan pohon dalam irama angin pagi. Hatiku berbisik hari ini dia pasti akan datang dan selang beberapa waktu bisikan hatiku terbukti.
“Zoraya, maafkan aku,” ucapku saat dia melintas di hadapanku.
Tidak ada jawaban yang terucap dan sikapnya sangat dingin.
“Bukankah cinta hadir tanpa memandang kedirian dan keakuan manusia. Kita semua berhak mencintai dan dicintai karena itu adalah bingkisan yang tercipta dari-Nya. Aku mencintaimu bukan karena aku tidak normal, akan tetapi aku sangat membutuhkan kehadiran seseorang yang dapat menanamkan benih keimanan agar kegersangan spritualku dapat menghijau sebagaimana hamba-Nya yang lain. Aku memang tidak sesuci engkau yang senantiasa terjaga dalam balutan jubah kasih-Nya karena aku terlanjur tercipta dalam istana yang hampa akan singasana Ilahiah. Olehnya itu aku berharap dapat memupuk sepenggal semangat Ilahiah yang tersisa dengan mencintaimu sebagai manifestasi cintaku pada-Nya. Aku berharap rasa itu dapat menciptakan kesejukan di hatiku.” Rye terus berucap tanpa memperdulikan apakah Soraya mendengarkan atau tidak.
“Maafkan aku Rye,” ucap Soraya dengan tiba-tiba dari belakang Rye. Dia meletakkan tangannya di punggung tangan Rye dan secercah senyum terlukis di bibirnya
Aku mengangguk dan titik-titik bening berjatuhan di kelopak mataku, membasahi genggaman tangan kami. Kehadirannya menebis kerinduanku akan cinta yang teramputasi oleh kepergian Bunda, menyambut uluran tangan Tuhan tujuh tahun silam. Dan perselingkuhan ayah dengan seorang gadis muda, rekan kerjanya sendiri.
Soraya menatapku dan kutahu tatapan itu mengisyaratkan makna dari ketulusan hatinya. Dia mengusap air mata ini yang semakin sulit terbendung, kemudian membenamkan aku dalam peluknya.
“Menangislah Rye, jika tangisan itu dapat melegakan hatimu.”
“Terima kasih Soraya,” ucapku sambil melepas peluknya.
Soraya lagi-lagi tersenyum. “Sekarang engkau adalah sahabat baruku.”
Aku membalas senyumnya, diapun menjabat tanganku dan berlalu pergi menyambut kedatangan tiga orang gadis jilbaber, seperti hari kemarin.
Dalam hati aku berjanji, esok akan menjadi hari di mana kerudung dan jubah yang selama ini kukumpulkan satu-persatu akan menutupi tubuhku. Selamat datang cinta, sinarilah hatiku, hatinya dan hati semua hambamu agar kami lebih mengenal siapa Engkau.
Pesanku Untukmu
Persahabatan adalah makna dari segala makna, dia akan abadi selama persahabatan itu dapat kita hargai sebagaimana adanya, manusia berhak memilih yang lain sebagai kawannya yang jelasnya ada sesuatu yang mesti diperhatikan dan dipertahankan karena kita terlahir dari dua jenis yang berbeda dan kita terikat oleh aturan yang syar’i….jagalah hati, ucapan dan perbuatan…agar makna persahabatan kita tidak lebur pada lembah zina
By : Art 02
Aku lebih memilih duduk di serambi masjid kampus saat waktu senggang menyapaku di sela-sela padatnya jadwal perkuliahan. Kehadiranku di tempat itu bukan berarti aku adalah pencinta masjid akan tetapi aku hanya melepaskan lelahku di sana karena menurutku inilah satu-satunya tempat yang steril dari gadis-gadis jutek, nona-nona pemuja gosip dan udara pengap. Salah satu hal yang membuat aku betah berlama-lama di sini adalah hadirnya sekawanan burung pipit yang saling berebut sebatang rumput kering untuk dijalinkan menjadi sangkar yang hangat. Di tempat ini pula sering kujumpai sekelompok wanita berbusana muslimah duduk melingkari seorang gadis manis jilbaber yang terus terang mengusik perhatianku. Entah apa yang mereka lakukan, jelasnya ada aura damai dan bahagia yang terpancar dari wajah mereka ketika tanpa sengaja mataku beradu pandang dengannya.
Senja kian kelabu, memaksa aku untuk kembali ke pondokanku karena sebentar lagi masjid itu akan dipenuhi manusia-manusia yang ingin berjumpa dengan Rabbnya. Kehadiranku pasti akan menimbulkan rasa risih bagi mereka, soalnya aku bukanlah pencinta gamis sebagaimana yang membaluti tubuh mereka, aku juga tidak pernah mengenal jubah apalagi kerudung layaknya gadis jilbaber senja tadi. Istilah gamis dan semacamnya kebetulan saja aku dengar lewat ceramah dosen agamaku. Selanjutnya akan menjadi bahan tertawaanku tatkala mereka mulai mengeluarkan kutipan ayat-ayat Al-Quran untuk menyentilku.
“Aku adalah aku dan semua yang aku lakukan akan aku pertanggungjawabkan sendiri.” Gerutuku lirih.
***
Siang ini pikiranku dipenuhi kepenatan, selepas mengikuti praktikum kimia instrumen. Getaran-getaran spektronik 20 menyerap seluruh tenagaku karena banyaknya larutan sampel yang harus diamati. Aku melangkah lunglai sambil merapikan baju praktikum yang baru saja aku lepas.
“Rye, kamu langsung pulang yah?” tanya Sita gadis berdarah Menado yang sekelas denganku.
“Kenapa?”
“Kita barengan yah.”
“Sorry deh, kamu jalan duluan saja soalnya aku masih ada urusan.”
Sita tidak menjawab dan langsung berlalu dengan air muka kecewa. Kutatapi kepergiannya dengan tatapan hampa hingga dia menghilang pada sebuah belokan menuju halte bus. Ada satu bus berhenti tepat di hadapannya dan ketika bus itu sudah berlalu sosok Sita berganti dengan kehadiran gadis yang sering kali aku dapati di masjid kampus. Dari kejahuan aku melihat dia tersenyum. Aku membalas senyuman itu, akan tetapi ternyata senyumannya bukan untukku melainkan untuk tiga orang gadis yang berjalan di belakangku.
“Senyuman yang indah,” desahku saat aku rasakan ada getaran aneh melintas di kalbuku.
Ketiga gadis tadi menyambut kedatangannya dengan saling bersalaman dan bertukar kabar. Aku yang meyaksikan pertemuan itu serasa larut dalam khayalan. Dari senyumnya kurasakan damai di hatiku, langkahnya yang anggun dalam balutan kain panjang membiaskan kesucian dan keterjagaan dirinya, keteduhan tatapan dan wajahnya yang bercahaya menarik perhatiannku untuk mengenal siapakah dia? Meskipun benakku masih berpendar beribu tanya akankah semua itu terwujud.
Aku langkahkan kakiku di atas ubin-ubin lantai masjid berkeramik hijau, ku sandarkan tubuhku pada dinding yang bertuliskan kalimat Ilahih dan kupejamkan mataku untuk mengobati rasa lelah ini. Samar-samar dari balik tirai jendela kudengar suara gadis itu mengeluarkan kalimat-kalimat tauziyah. Suara itu mengusik tidurku dan mendorong hasratku untuk memperhatikan gadis itu sebagaimana yang sering terjadi tanpa sepengetahuannya.
“Ya…Tuhan alangkah indahnya sosok yang Engkau hadirkan ini, akankah dia tercipta untukku? Jika memang benar maka datangkanlah keberanian dalam diriku untuk menyapanya dan mengenal siapa dia. Bukankah Engkau menitipkan rasa cinta pada setiap hambamu dan saat ini izinkan aku untuk menyatakan cintaku padanya.”
Aku terhanyut dalam lamunan dan tanpa kusadari ternyata tirai malam telah menutupi kecerahan senja dan menghadirkan keheningan. Gadis itu ternyata telah pergi. Ku raih tas ransel dan jaketku kemudian beranjak pergi melintasi jalan tol reformasi dengan sepeda motor.
***
Tepat pukul 21.00 WITA. Aku melintasi gang kecil di depan sebuah pasar tradisional. Cahaya lampu weser sengaja kunyalakan karena malam itu jalanan sangat gelap. Tiba-tiba aku berhenti saat mataku melihat sosok gadis berkerudung putih sedang berjalan sendirian dengan dua kantung plastik di tangannya. Rasa persaudaraan mengusikku memberi tumpangan untuknya
“Kamu mau ke mana?” tanyaku.
“Gang 12,” jawabnya.
“Kalau begitu sekalian saja kebetulan aku juga tinggal di daerah sekitar situ.”
Gadis itu menatapku penuh selidik kemudian dia tersenyum.
“Iya deh.”
Setelah tiba di sebuah rumah berukuran 5 x 5 m gadis itu menyuruhku berhenti. Dia mengajakku mampir tapi aku menolaknya karena sekarang sudah larut malam. Di bawah sorotan lampu jalan kuperhatikan wajahnya yang sedari tadi disamarkan oleh kelamnya malam. Ternyata dia adalah gadis jilbaber tempo hari.
“Terimah kasih,” ucapnya.
Aku mengangguk meskipun kesadaranku saat ini terhipnotis antara percaya dan tidak.
“Apakah Engkau merestuiku Tuhan?”
Pertemuanku yang terbilang singkat malam itu akhirnya membuahkan hasil karena aku telah mengetahui namanya adalah Zoraya dan kami kuliah pada kampus yang sama. Ada secercah harapan di hatiku untuk lebih mengenal dia. Koridor kampus menjadi saksi ketika secarik pesan kutitipkan untuknya.
“Cinta adalah anugerah terindah dari-Nya. Di saat cinta telah menyapa, maka naluri insan pemujanya akan berbisik titipkan rasa itu kepadanya. Meskipun aku tidak begitu mengenalmu akan tetapi entah mengapa rasa ini senantiasa menghadirkan resah dihatiku untuk menunggu jawabmu. Aku mencintaimu dan janganlah engkau tebiskan rasa ini pada kedangkalan spritualku.”
Entah apa yang dipikirkan gadis itu saat ini. Karena menurut informasi yang aku peroleh dari teman dekatnya, sudah banyak yang berusaha menarik simpati gadis ini akan tetapi satu persatu diantara mereka akhirnya memendam harapnya kerena gadis itu sama sekali tidak perduli dengan ungkapan cinta yang berkedok silaurrahmi. Tetapi tekadku saat ini sudah bulat dan pesan itu pasti telah terbaca olehnya.
***
Seorang gadis yang tidak kukenal tiba-tiba menyapa dan menitipkan secarik kertas untukku pada sebuah pagi yang diselimuti mendung. Rasa penasaran membuatku segera membuka dan membaca kertas tersebut.
“Cinta memang anugerah terindah darinya, akan tetapi tidak selamanya rasa yang dititipkan harus menuai jawab. Cinta yang hakiki adalah perjalanan spritual menggapai kesempurnaan. Jika engkau sang pencinta maka mendakilah pada bukit peleburan ego kepemilikan yang selalu saja menjadi tabir yang membatasi pertemuan pemuja cinta dengan pemilik cinta. Seandainya cinta yang engkau rasakan adalah suci maka hilangkanlah rasa suka yang bersemayam di dalamnya karena rasa itu hanya akan menyesatkanmu pada hasrat kepemilikan. Aku dan kamu tidak akan mungkin memupuk rasa itu dalam sebuah ikatan kerena kita telah ditakdirkan olehNya menjadi pendamping kaum Adam. Maafkan aku Ryanti.”
“Engkau salah paham Soraya, bukan itu yang aku maksud.” Ucap Rye dalam hatinya yang memberontak.
Terus terang ada rasa kesal dan kecewa terbersik di benakku selepas membaca surat tadi. Sehingga aku lebih memilih untuk bolos kuliah hari ini. Kuhabiskan waktu menatap kepasrahan rumput kecil di bawah injakan telapak kaki manusia, kutegarkan hati, setegar rumah Tuhan di hadapanku dan kuhibur diriku bersama tarian rimbunan pohon dalam irama angin pagi. Hatiku berbisik hari ini dia pasti akan datang dan selang beberapa waktu bisikan hatiku terbukti.
“Zoraya, maafkan aku,” ucapku saat dia melintas di hadapanku.
Tidak ada jawaban yang terucap dan sikapnya sangat dingin.
“Bukankah cinta hadir tanpa memandang kedirian dan keakuan manusia. Kita semua berhak mencintai dan dicintai karena itu adalah bingkisan yang tercipta dari-Nya. Aku mencintaimu bukan karena aku tidak normal, akan tetapi aku sangat membutuhkan kehadiran seseorang yang dapat menanamkan benih keimanan agar kegersangan spritualku dapat menghijau sebagaimana hamba-Nya yang lain. Aku memang tidak sesuci engkau yang senantiasa terjaga dalam balutan jubah kasih-Nya karena aku terlanjur tercipta dalam istana yang hampa akan singasana Ilahiah. Olehnya itu aku berharap dapat memupuk sepenggal semangat Ilahiah yang tersisa dengan mencintaimu sebagai manifestasi cintaku pada-Nya. Aku berharap rasa itu dapat menciptakan kesejukan di hatiku.” Rye terus berucap tanpa memperdulikan apakah Soraya mendengarkan atau tidak.
“Maafkan aku Rye,” ucap Soraya dengan tiba-tiba dari belakang Rye. Dia meletakkan tangannya di punggung tangan Rye dan secercah senyum terlukis di bibirnya
Aku mengangguk dan titik-titik bening berjatuhan di kelopak mataku, membasahi genggaman tangan kami. Kehadirannya menebis kerinduanku akan cinta yang teramputasi oleh kepergian Bunda, menyambut uluran tangan Tuhan tujuh tahun silam. Dan perselingkuhan ayah dengan seorang gadis muda, rekan kerjanya sendiri.
Soraya menatapku dan kutahu tatapan itu mengisyaratkan makna dari ketulusan hatinya. Dia mengusap air mata ini yang semakin sulit terbendung, kemudian membenamkan aku dalam peluknya.
“Menangislah Rye, jika tangisan itu dapat melegakan hatimu.”
“Terima kasih Soraya,” ucapku sambil melepas peluknya.
Soraya lagi-lagi tersenyum. “Sekarang engkau adalah sahabat baruku.”
Aku membalas senyumnya, diapun menjabat tanganku dan berlalu pergi menyambut kedatangan tiga orang gadis jilbaber, seperti hari kemarin.
Dalam hati aku berjanji, esok akan menjadi hari di mana kerudung dan jubah yang selama ini kukumpulkan satu-persatu akan menutupi tubuhku. Selamat datang cinta, sinarilah hatiku, hatinya dan hati semua hambamu agar kami lebih mengenal siapa Engkau.
Pesanku Untukmu
Persahabatan adalah makna dari segala makna, dia akan abadi selama persahabatan itu dapat kita hargai sebagaimana adanya, manusia berhak memilih yang lain sebagai kawannya yang jelasnya ada sesuatu yang mesti diperhatikan dan dipertahankan karena kita terlahir dari dua jenis yang berbeda dan kita terikat oleh aturan yang syar’i….jagalah hati, ucapan dan perbuatan…agar makna persahabatan kita tidak lebur pada lembah zina