« Home | CERPEN » | CERPEN » | PUISI UNTUK ADIKKU »

Cerpen

NUMINOUS
By : Art 02

Sebulan yang lalu, tepatnya dipertengahan bulan februari, ku tinggalkan gubuk mungilku kerena kenangan yang terlukis dibalik bilik bambunya tidak sanggup kuterima. Di gubuk itulah kuhabiskan masa kecilku dalam pelukan mesra seorang ibu pada sebuah atap keluarga. Semua akhirnya terenggut begitu saja oleh lambaian tangan ibu karena penyakit kanker ganas yang bersarang di kepalanya.
“Ibu, relakan kepergianku untuk menyongsong masa depan baru tanpamu.” Ucapku terakhir kalinya di pusara bunda.
Kini semusim telah berlalu. Namun seringkali aku merasa Tuhan tidak pernah adil dan berpihak kepadaku. Bahkan disaat aku terjatuh akibat kekecewaanku akan realitas Dia tidak pernah mau melirikku apalagi menolongku.
“Mengapa Engkau begitu kejam, memisahkan aku darinya saat usia remajaku membutuhkan rangkulannya, tidakkah Engkau sayang padaku? Aku juga ingin merasakan indahnya kemanjaan dan ceria ditengah keutuhan sebuah keluarga seperti mereka. Kembalikan ibu padaku!”
“Auliyah…apa yang terjadi?” tanya Sekar, kawan sekostku sambil menguncang-guncangkan tubuhku.
“Ya…Tuhan lagi-lagi aku bermimpi.”
Sekar tersenyum dan menyodorkan segelas air putih kepadaku.
“Kar, akhir-akhir ini aku sering memimpikan ibu.”
“Mungkin karena engkau terlalu memikirkannya. Sudahlah Li, tugasmu sekarang adalah mendoakan beliau agar gerbang syurga tersenyum kepadanya.”
Kini setelah kepergiannya memasuki tahun kedua, aku benar-benar telah berubah. Banyak hal yang tidak bisa aku terima dari keputusan-Nya. Aku yang dulunya patuh dan taat bersujud, terjebak dalam kelatahan realitas. Tidak ada makna yang dapat aku hadirkan dan spritualitasku bertahan di ujung tombak. Aku menjadi pemuja hedonisme yang menari di atas altar keremangan. Dilema hidup seringkali membenturkan aku kepada jalan yang buntu dan tidak ada setitikpun jalan terang buatku.
“Ibu, maafkan aku,” ucapku saat pertama kalinya tenggorokan ini merasakan asap rokok merasuk ke paru-paru, sebagai pelarianku.
Aku bahagia, dan kulampiaskan dukaku dan akupun tersenyum. Tidak ada yang tahu apa yang aku lakukan di kota metropolitan ini, mereka semua mengira aku adalah gadis lugu dan mahasiswi teladan sebagai mana aku yang dulu. Ketika aku kembali ke kampung halamanku tempat para handaitaulan berkumpul aku selalu saja mendapat sambutan hangat dari keluarga ayah dan ibuku meskipun semua itu bagiku hanya karena mereka menghargai kebesaran nama ibu. Kerudung yang aku gunakan sejak SMU dulu juga tetap menghias di kepalaku sebagai konsekwensi kehadiranku pada komunitas yang dibesarkan dengan kekentalan tradisi. Kerudungku hanyalah penutup kemunafikan diri. “Andai kalian tahu siapa aku, maka peluk dan ciummu pasti akan sia-sia,” desahku
***
Suatu hari di pertengahan bulan Februari, aku bertemu dengan seorang pria tanpa sengaja pada sebuah halte bus. Awalnya aku risih juga karena dia terus menatapku.
“Apakah ada yang salah pada diriku,” selidikku
Aku putuskan untuk tidak memperdulikannya dan berlalu pergi bersama sebuah bus menuju kampusku.
“Kamu dari mana saja Li?” tanya Sekar saat aku telah tiba di depan kelas.
Aku tidak menjawab pertanyaan itu karena konsentrasiku berpusat pada ruangan kelas yang tiba-tiba saja meriah dan papan tulis yang tertutupi sebuah spanduk bertuliskan “Kajian Bulanan Badan Eksekutif Mahasiswa….”
“Lia, kamu mau kemana?” cegah Sekar ketika melihat aku beranjak pergi.
“Pulang.”
“Kamu harus ikut Li, soalnya kegiatan ini wajib untuk mahasiswa fakultas kita.”
Dengan rasa malas kuputuskan untuk ikut dengan niat sekedar mengisi daftar hadir lalu pulang. Namun tiba-tiba niatku berubah ketika ku palingkan wajah dan melihat sosok lelaki yang aku jumpai di halte bis siang tadi.
“Oh…my God!”
“Dia adalah uztad Solikh, kuliah di pondok pesantren Az-Zakiyyah.” Terdengar suara Sekar memperkenalkannya kepada peserta.
Aku terperangah karena semua itu di luar dugaanku. Tetapi aku memilih untuk diam dan mengunggu kejutan selanjutnya. Lelaki itu mulai berkhutbah di hadapan para peserta kajian sementara aku hanya duduk terbengong-bengong. Aku merasa ada yang benar dalam ucapan lelaki ini setelah seorang peserta menanyakan apa sebenarnya yang manusia cari dalam hidup ini? Benakku dipenuhi berbagai pertanyaan, mengapa aku menerima begitu saja apa yang dia ucapkan padahal aku selama ini sangat benci ceramah-ceramah yang menurutku hanyalah permainan retorika dan apology manis belaka.
Berawal dari kegiatan itu aku mengenal dia dan sering kali berdialog dengannya. Aku mengagumi wawasannya yang luas, wibawa dan kedewasaan yang tercermin didirinya meskipun usia kami hanya terpaut bilangan bulan. aku juga sangat penasaran dengan sikapnya yang enggan menatapku saat berpapasan dan bertegur sapa dengannya.
“Wanita dan pria diciptakan dengan kelebihan masing-masing, kaum hawa mewakili sifat keindahan Tuhan dan kaum Adam mewakili sifat keperkasaanNya. Jadi sudah selayaknya jika aku yang tercipta sebagai kaum Adam menghargai keindahan yang dititipkanNya dengan menundukkan pandangan ini,” kata kak Sholik mencoba menjawab rasa penasaran ini.
Akhir bulan maret hubungan kami terjalin layaknya kakak dan adik. Aku banyak belajar darinya dan kehampaan yang selama ini merasukiku perlahan-lahan menjadi sebuah ketenangan jiwa. Dunia glamor dan kehura-huraan yang selama ini menyelimuti lambat laun tinggal menjadi seberkas kenangan. Kerudung yang selama ini kumaknai sebagai hiasan semata dan sering kutanggalkan jika merasa gerah akhirnya terpasang rapi. Semua kawan-kawan kampusku heran akan perubahan sikapku, akan tetapi aku tidak perduli karena aku bahagia dengan keadaanku sekarang.
“Setiap peristiwa pasti meyimpan sebuah hikmah Auliyah, dan kamu harus menyakini hal itu. Jalan yang kamu tempuh saat ini bukan merupakan solusi tetapi malah akan mencampakkanmu pada kegersangan spritual, aku yakin kamu pasti bisa Lia.” Kata kak Solikh saat ku ceritakan lika-liku hidupku.

***
Waktu terus bergulir menghantarkan kepada sebuah realitas baru. Kini sudah Dua bulan kepergiannya sebagai relawan pada kawasan konflik di Ambon. Aku relakan kepergiannya dengan satu harapan dia akan kembali untuk menghiasi hari-hariku dalam keindahan bahasanya dan keteduhan wajahnya. Dia telah berjanji Enam bulan kemudian perjumpaan kami akan diawali dengan khitbahnya padaku agar tercipta ikatan suci yang hakiki. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain, selang beberapa waktu aku menerima kabar dari temannya bahwa namanya telah terukir sebagai syuhadah yang gugur di medan jihad oleh sebuah timah panas yang bersarang di jantungnya saat melintasi daerah perbukitan tempat para pengungsi muslim berlindung.
Aku tersenyum untuk menutupi kepedihanku dihadapan orang-orang yang berempati kepadaku. Meskipun ingin rasanya menghamburkan butiran air mata dari peraduannya yang semakin lama semakin berpendar. Tetapi tetap kusembunyikan dalam kepedihan ini.
“Ya…Tuhan mengapa Engkau mengambil dia lagi dari genggamanku. Belum puaskah Engkau menitikkan air mataku dengan memisahkan aku dari ibuku. Kini saat aku berusaha memaknai seruanMu dan keluar dari pusaran keragu-raguan akan kuasa dan adilMu. Engkau malah menghempaskan aku pada kubangan kepedihan dan kesendirian. Jika Engkau maha kuasa, kembalikan dia kepadaku dan tegakkan kembali impianku bersamanya.” Desahan kekecewaanku kepadaNya.
Aku berjalan tanpa arah menyusuri titian kenangan yang lebur dalam kehampaan. Kuliahku berantakan dan impianku semakin terpuruk. Kehadirannya dalam imaji selalu saja membuat kalbuku sakit dan semakin benci padaNya. Aku putuskan kembali kejalanku yang dulu karena orang-orang yang berada di sekitarku menurut aku hanyalah seonggokan daging yang berjalan dalam balutan topeng-topeng kemunafikan. Sosok dia tidak dapat kutemukan dalam diri siapapun. Semua yang bersimpati padaku hanyalah kamuflase belaka. Kubenamkan diriku di dalam taman pemuja narkotika dan ku tanggalkan kerudungku sebagai wujud pemberontakanku kepadaNya. Malam bukan lagi hal yang menyeramkan bagi aku karena dalam tirai malam manusia dapat berjumpa gerbang maya keindahan sesaat dan hanya senyuman malam, alkohol dan canda penguhuni night club yang dapat meredam rasa kehilangan ini.

***
Malam menjemput pagi dan tersenyum pada benang putih di cakrawala. Sayup-sayup terdengar gema adzan subuh. Sementara aku masih menyandarkan punggungku di beranda halaman kostku. Entah mengapa hatiku terusik oleh seruan itu. Banyangan ibu dan dia hadir bergantian di benakku.
“Auliyah, temukan dirimu kembali.” Bisik mereka.
Aku sangat bingung dan hadir perasaan mencekam. Ku usap pandanganku yang dikaburkan oleh pengaruh alkohol semalam.
“Auliyah…anakku,” kini aku mendengar panggilan ibu.
“Adikku, Auliyah,” kurasakan dia juga memanggilku.
“Tidak….”
Aku berusaha berteriak sekeras mungkin untuk menghapus bayang-bayang itu, akan tetapi teriakanku tidak sanggup menandingi kalimat syahadah yang bergema di balik suara adzan. Jantungku berdetak keras, ada sebuah getaran aneh di dada ini. Semakin gema adzan itu berseru getarannya akan semakin dasyat. Kurasakan diriku semakin kerdil dan akhirnya aku hanyalah bagaikan seekor semut di tengah samudera. Gema adzan itu menggiring langkah kakiku membentuk irama kepasrahan dan tanpa kusadari ternyata aku telah berdiri di depan sebuah surau.
“Ya…Tuhan mengapa Engkau masih mengusikku? mengapa Engkau masih peduli kepadaku setelah aku berusaha menghindar dan melupakanMu? Inikah wujud kasihMu yang selama ini engkau janjikan bagi setiap umatmu?”
Air mata yang selama ini berusaha kubendung, menetes di sela-sela kelopka mata yang memerah. Seruan itu meleburkan egoku yang telah aku pertuhankan. Kubasuh wajah ini dengan tetesan air pengampunan dan kubenamkan diriku dalam sujud panjang.
“Inikah kesejukan itu Tuhan?” tanyaku kala rasa damai itu hadir kembali.
Terlintas dalam benak ini kata terakhirnya sebelum pesawat Lion Air mengantarkannya mendarat di Ambon . “Dinda, semakin engkau berharap kepada sesamamu manusia maka semakin engkau akan kecewa karena manusia hanyalah mampu menghadirkan kekecewaan. Berharaplah kamu kepadaNya karena Dialah penentu segalanya.”
“Insya Allah…kak.”


Makassar, 30 April 2005
Untuk kanda yang telah memberikan aku motivasi





Numinous adalah perasaan takut yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan gaib. Perasaan ini menyebabkan tumbuhnya rasa keagamaan dalam diri seseorang.