« Home | ADA YANG MENYAPA » | Puisi Buat Kakanda » | Puisi : Semusim beranjak pergi » | Puisi : Taman Kampus » | Puisi : Satu.. Dua..Tiga » | FOR MY FRIEND » | Cerpen : PLAKAT BERBINGKAI BIRU » | Puisi : Ibu » | Puisi : Bisikan Hati » | Puisi : Mawarku »

CERPEN : DIARY DINDA

By : Art 02

Entah siapa pemilik catatan harian ini yang tergeletak begitu saja, saat aku melintasi koridor sekolahku yang nampak mulai sepi. Kucoba menolekan kepalaku ke seluruh sisi ruangan yang sempat terjangkau oleh pandanganku, namun tetap saja tak menyisahkan satu pun sosok yang dapat kucurigai sebagai pemilik diary bersampul biru ini. Dalam pikiranku terlintas ocehan, mungkin akulah orang yang harus mengamankan diary tersebut, sebelum ada yang menjahilinya.
Sambil mengamati diary tadi, aku terus berjalan menuju ruang perpustakaan untuk menunggu Deni, karena aku terlanjur berjanji akan menemaninya ke toko buku ABADI untuk mencari beberapa buku yang akan menjadi referensi karya ilmiahnya tentang remaja dan lingkungan. Kucoba mengalihkan perhatianku dengan bernyanyi-nyanyi kecil agar dapat menghilangkan rasa penasaran, yang sedari tadi mendesak untuk segera membuka dan membaca lembar demi lembar catatan yang tertulis di dalamnya. Namun ternyata aku tak mampu melakukannya dan akhirnya kubuka lembar demi lembar catatan tadi dan tanpa sengaja mataku terperangkap pada sebait kalimat yang menurutku sangat filosofis.

Rabu, 10 Agustus 2005

Seandainya Tuhan mengizinkan aku
Untuk menggapai yang terjauh maka dengan kepasrahan
Kulambaikan tanganku untuk kisah yang kemarin
Seandainya Tuhan menebarkan pesona cahaya
Maka kuingin memejamkan mata ini
Agar aral yang melintang, takkan pernah terbaca
Seandainya Tuhan mengajak aku melebur
Maka kuingin senyum itu menjadi indah
Tanpa paksaan dan kepedihan

Kembali benakku dipenuhi berbagai pertanyaan tentang siapa pemilik tulisan yang tak setitik pun meninggalkan identitas diri di dalamnya. Mungkinkah ini milik seorang sastrawan yang sedang putus asa? Ataukah milik seorang gadis yang ditinggal kekasihnya? Ah sudahlah aku juga tak mampu menebak karena setahuku di sekolah ini yang katanya terdaftar sebagai salah satu sekolah menengah favorit, tak ada satu pun pujangga besar apalagi seorang sastrawan handal. Yang ada hanyalah siswa-siswa baru yang sangat patuh pada seniornya atau siswa yang tahunya hanya belajar melulu tanpa mau terlibat aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler ( Upsttt... kok jadi sinis begini yah?)
Seiko di pergelangan tanganku saat ini telah menunjukkan pukul 14.30 WITA. Berarti sudah hampir sejam aku membiarkan diriku diselimuti berbagai pertanyaan. Sementara Deni belum juga menampakkan batang hidungnya. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kostku yang kebetulan tidak begitu jauh dari sekolahku, meskipun rasa kesalku pada Deni yang telah ingkar janji dan membiarkanku menunggu tak bisa kuhindari.
***
Sehari telah berlalu. Di beranda kamar kostku aku masih termenung, ditemani dengan secangkir teh hangat dan beberapa potong pisang goreng yang sempat aku beli pagi tadi, dari penjaja makanan kecil yang hampir setiap hari melintas di depan kostku. Kucoba meraih kembali buku harian yang kutemukan kemarin, tetapi hasilnya tetap sama. Aku tak tahu siapa pemiliknya? Aku membiarkan diary itu terbuka di atas meja belajarku dan kuhirup teh yang masih hangat untuk menyegarkan pikiran ini.
“Hei... Rani!” seru Siva teman sekostku, yang tiba-tiba saja muncul di belakangku.
Dengan nada sedikit terkejut aku mencoba memalingkan wajahku, mencari asal suara tadi.
“Ada apa sih, Non? Kok pagi-pagi begini sudah melamun?” lanjutnya.
“Nggak kok, aku hanya ingin menikmati pagi. Sayangkan kalau pagi yang secerah ini dibiarkan berlalu begitu saja.” Jawabku sambil tersenyum.
Dia membalas senyumku sambil melayangkan tangannya untuk menggaet sepotong pisang gorengku tanpa izin.
“Ran! Tahu nggak? Kemarin si Deni diskorsing oleh kepala sekolah.” Ucapnya tanpa rasa bersalah.
“Ha... masa sih! Dia melakukan kesalahan apa?” balasku dengan nada heran.
“Dia kedapatan membawa beberapa butir pil koplo oleh petugas keamanan sekolah.” Jawab Rani.
“Aku tidak percaya, Ran. Deni tidak mungkin melakukan hal semacam itu!”
“Awalnya aku juga berpikiran sama denganmu, akan tetapi mau tidak mau aku harus percaya. Mengingat masa lalu Deni sebagai seorang pemakai narkoba.” Ucapnya lagi kemudian berlalu pergi meninggalkan aku dalam suasana hati yang carut-marut.
Deni tidak mungkin melakukan hal itu lagi. Memang benar, dia dulu adalah seorang pemakai narkoba, akan tetapi dia tidak lagi melakukan hal itu. Semenjak obat-obatan itu hampir saja merenggut nyawanya.
Dia pernah berkata, “Rani, aku juga ingin merasakan hidup normal sama seperti kamu. Bantu aku Rani... bantu aku!”
Karena inilah aku berteman dengannya disaat semua orang mengucilkannya bahkan dari keluarganya sendiri. Aku yakin semua orang pasti tidak akan menjatuhkan dirinya pada lubang yang sama untuk kedua kalinya, begitu pun dengan Deni. Deni... mengapa engkau tidak mengabari aku. Ya... Tuhan cobaan apalagi yang kau timpahkan padanya? Bisikku dalam hati, sambil mengamati diary biru yang masih terdiam meskipun tiupan angin pagi mempermainkan lembaran-lembarannya layaknya suasana hatiku saat ini.
***
Aku masih tetap berdiri menikmati pancaran sinar mentari pagi, saat lamat-lamat terdengar suara Siva memanggilku.
“Rani... ada telpon untukmu!”
Aku berlari menelusuri anak tangga yang menghubungkan kamar kostku dengan kamar lain yang berada di lantai bawah.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara dari seberang sana.
“Wa’alaikum salam,” jawabku.
“Rani, maafkan aku.”
“Den... sekarang kamu ada di mana? Apa benar kamu melakukan hal itu?”
“Tidak... aku tidak melakukan itu, Ran! Ada yang mencoba menjebakku. Dan sekarang aku berada aku berada di panti rehabilitasi. Itu pun atas permintaan ayahku. Besok aku bersama ayah akan berangkat ke Australia dan mungkin akan menetap di sana untuk selama-lamanya.”
Aku tak bisa lagi membalas ucapan Deni, butiran mutiara putih tak terasa keluar dari kelopak mataku.
“Ran... Rani...!” kudengar panggilan Deni di balik gagang telpon yang hampir saja kulepaskan. Tetapi aku hanya terdiam dan mencoba merangkai kata untuk mengucap selamat jalan pada Deni. Untuk sementara suasana menjadi hening.
“Aku percaya padamu Den. Selamat jalan yah. Semoga engkau dapat memulai kisah hidupmu sebagaimana yang kamu harapkan.” Ucapku setelah beberapa lama aku dan Deni hanya terdiam.
“Rani aku tidak akan melupakanmu, terima kasih atas segala perhatianmu....” Ucap Deni dengan nada yang terbata-bata oleh tangisannya yang sulit terbendung.
“Sampai jumpa Rani....” Lanjutnya.
Setelah itu terdengar nada, TUTS... TUTS... TUTS... yang menandakan percakapan kami harus berakhir.
Aku mengusap wajah dengan kedua tanganku. Kemudian berjalan menuju kamar kost tanpa memperhatikan lagi orang-orang disekelilingku. Kusandarkan tubuh ini pada sebuah kursi yang berdiri tegap menemani meja belajarku. Tanganku mencoba menekan tuts-tuts keyboard untuk menulis kegundahan di layar monitor. Sesekali tatapanku menerawang di atas langit-langit kamar dan tanpa sengaja terpendar pada buku diary yang masih tetap diam di sampingku. Kuraih diary itu dan kubuka kembali lembaran di mana kalimat yang kubaca kemarin tertulis. Kuamati kata demi kata yang ada di dalamnya, dan aku hampir tidak percaya saat di sudut kanan bawah tertulis nama DINDA ERNIWATI. Bukankah nama itu adalah nama DENI?!? Ya Tuhan mengapa aku tidak memperhatikan tulisan kecil yang terpahat halus itu? Kembali aku hanya bisa mendesah karena saat ini Deni telah pergi dariku.


Makassar, 23 agustus 2005

Buat sahabat-sahabatku; ingatlah bahwa dalam hidup ada yang mesti kita perjuangkan sobat!!!DIARY DINDA
By : Art 02

Entah siapa pemilik catatan harian ini yang tergeletak begitu saja, saat aku melintasi koridor sekolahku yang nampak mulai sepi. Kucoba menolekan kepalaku ke seluruh sisi ruangan yang sempat terjangkau oleh pandanganku, namun tetap saja tak menyisahkan satu pun sosok yang dapat kucurigai sebagai pemilik diary bersampul biru ini. Dalam pikiranku terlintas ocehan, mungkin akulah orang yang harus mengamankan diary tersebut, sebelum ada yang menjahilinya.
Sambil mengamati diary tadi, aku terus berjalan menuju ruang perpustakaan untuk menunggu Deni, karena aku terlanjur berjanji akan menemaninya ke toko buku ABADI untuk mencari beberapa buku yang akan menjadi referensi karya ilmiahnya tentang remaja dan lingkungan. Kucoba mengalihkan perhatianku dengan bernyanyi-nyanyi kecil agar dapat menghilangkan rasa penasaran, yang sedari tadi mendesak untuk segera membuka dan membaca lembar demi lembar catatan yang tertulis di dalamnya. Namun ternyata aku tak mampu melakukannya dan akhirnya kubuka lembar demi lembar catatan tadi dan tanpa sengaja mataku terperangkap pada sebait kalimat yang menurutku sangat filosofis.

Rabu, 10 Agustus 2005

Seandainya Tuhan mengizinkan aku
Untuk menggapai yang terjauh maka dengan kepasrahan
Kulambaikan tanganku untuk kisah yang kemarin
Seandainya Tuhan menebarkan pesona cahaya
Maka kuingin memejamkan mata ini
Agar aral yang melintang, takkan pernah terbaca
Seandainya Tuhan mengajak aku melebur
Maka kuingin senyum itu menjadi indah
Tanpa paksaan dan kepedihan

Kembali benakku dipenuhi berbagai pertanyaan tentang siapa pemilik tulisan yang tak setitik pun meninggalkan identitas diri di dalamnya. Mungkinkah ini milik seorang sastrawan yang sedang putus asa? Ataukah milik seorang gadis yang ditinggal kekasihnya? Ah sudahlah aku juga tak mampu menebak karena setahuku di sekolah ini yang katanya terdaftar sebagai salah satu sekolah menengah favorit, tak ada satu pun pujangga besar apalagi seorang sastrawan handal. Yang ada hanyalah siswa-siswa baru yang sangat patuh pada seniornya atau siswa yang tahunya hanya belajar melulu tanpa mau terlibat aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler ( Upsttt... kok jadi sinis begini yah?)
Seiko di pergelangan tanganku saat ini telah menunjukkan pukul 14.30 WITA. Berarti sudah hampir sejam aku membiarkan diriku diselimuti berbagai pertanyaan. Sementara Deni belum juga menampakkan batang hidungnya. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kostku yang kebetulan tidak begitu jauh dari sekolahku, meskipun rasa kesalku pada Deni yang telah ingkar janji dan membiarkanku menunggu tak bisa kuhindari.
***
Sehari telah berlalu. Di beranda kamar kostku aku masih termenung, ditemani dengan secangkir teh hangat dan beberapa potong pisang goreng yang sempat aku beli pagi tadi, dari penjaja makanan kecil yang hampir setiap hari melintas di depan kostku. Kucoba meraih kembali buku harian yang kutemukan kemarin, tetapi hasilnya tetap sama. Aku tak tahu siapa pemiliknya? Aku membiarkan diary itu terbuka di atas meja belajarku dan kuhirup teh yang masih hangat untuk menyegarkan pikiran ini.
“Hei... Rani!” seru Siva teman sekostku, yang tiba-tiba saja muncul di belakangku.
Dengan nada sedikit terkejut aku mencoba memalingkan wajahku, mencari asal suara tadi.
“Ada apa sih, Non? Kok pagi-pagi begini sudah melamun?” lanjutnya.
“Nggak kok, aku hanya ingin menikmati pagi. Sayangkan kalau pagi yang secerah ini dibiarkan berlalu begitu saja.” Jawabku sambil tersenyum.
Dia membalas senyumku sambil melayangkan tangannya untuk menggaet sepotong pisang gorengku tanpa izin.
“Ran! Tahu nggak? Kemarin si Deni diskorsing oleh kepala sekolah.” Ucapnya tanpa rasa bersalah.
“Ha... masa sih! Dia melakukan kesalahan apa?” balasku dengan nada heran.
“Dia kedapatan membawa beberapa butir pil koplo oleh petugas keamanan sekolah.” Jawab Rani.
“Aku tidak percaya, Ran. Deni tidak mungkin melakukan hal semacam itu!”
“Awalnya aku juga berpikiran sama denganmu, akan tetapi mau tidak mau aku harus percaya. Mengingat masa lalu Deni sebagai seorang pemakai narkoba.” Ucapnya lagi kemudian berlalu pergi meninggalkan aku dalam suasana hati yang carut-marut.
Deni tidak mungkin melakukan hal itu lagi. Memang benar, dia dulu adalah seorang pemakai narkoba, akan tetapi dia tidak lagi melakukan hal itu. Semenjak obat-obatan itu hampir saja merenggut nyawanya.
Dia pernah berkata, “Rani, aku juga ingin merasakan hidup normal sama seperti kamu. Bantu aku Rani... bantu aku!”
Karena inilah aku berteman dengannya disaat semua orang mengucilkannya bahkan dari keluarganya sendiri. Aku yakin semua orang pasti tidak akan menjatuhkan dirinya pada lubang yang sama untuk kedua kalinya, begitu pun dengan Deni. Deni... mengapa engkau tidak mengabari aku. Ya... Tuhan cobaan apalagi yang kau timpahkan padanya? Bisikku dalam hati, sambil mengamati diary biru yang masih terdiam meskipun tiupan angin pagi mempermainkan lembaran-lembarannya layaknya suasana hatiku saat ini.
***
Aku masih tetap berdiri menikmati pancaran sinar mentari pagi, saat lamat-lamat terdengar suara Siva memanggilku.
“Rani... ada telpon untukmu!”
Aku berlari menelusuri anak tangga yang menghubungkan kamar kostku dengan kamar lain yang berada di lantai bawah.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara dari seberang sana.
“Wa’alaikum salam,” jawabku.
“Rani, maafkan aku.”
“Den... sekarang kamu ada di mana? Apa benar kamu melakukan hal itu?”
“Tidak... aku tidak melakukan itu, Ran! Ada yang mencoba menjebakku. Dan sekarang aku berada aku berada di panti rehabilitasi. Itu pun atas permintaan ayahku. Besok aku bersama ayah akan berangkat ke Australia dan mungkin akan menetap di sana untuk selama-lamanya.”
Aku tak bisa lagi membalas ucapan Deni, butiran mutiara putih tak terasa keluar dari kelopak mataku.
“Ran... Rani...!” kudengar panggilan Deni di balik gagang telpon yang hampir saja kulepaskan. Tetapi aku hanya terdiam dan mencoba merangkai kata untuk mengucap selamat jalan pada Deni. Untuk sementara suasana menjadi hening.
“Aku percaya padamu Den. Selamat jalan yah. Semoga engkau dapat memulai kisah hidupmu sebagaimana yang kamu harapkan.” Ucapku setelah beberapa lama aku dan Deni hanya terdiam.
“Rani aku tidak akan melupakanmu, terima kasih atas segala perhatianmu....” Ucap Deni dengan nada yang terbata-bata oleh tangisannya yang sulit terbendung.
“Sampai jumpa Rani....” Lanjutnya.
Setelah itu terdengar nada, TUTS... TUTS... TUTS... yang menandakan percakapan kami harus berakhir.
Aku mengusap wajah dengan kedua tanganku. Kemudian berjalan menuju kamar kost tanpa memperhatikan lagi orang-orang disekelilingku. Kusandarkan tubuh ini pada sebuah kursi yang berdiri tegap menemani meja belajarku. Tanganku mencoba menekan tuts-tuts keyboard untuk menulis kegundahan di layar monitor. Sesekali tatapanku menerawang di atas langit-langit kamar dan tanpa sengaja terpendar pada buku diary yang masih tetap diam di sampingku. Kuraih diary itu dan kubuka kembali lembaran di mana kalimat yang kubaca kemarin tertulis. Kuamati kata demi kata yang ada di dalamnya, dan aku hampir tidak percaya saat di sudut kanan bawah tertulis nama DINDA ERNIWATI. Bukankah nama itu adalah nama DENI?!? Ya Tuhan mengapa aku tidak memperhatikan tulisan kecil yang terpahat halus itu? Kembali aku hanya bisa mendesah karena saat ini Deni telah pergi dariku.


Makassar, 23 agustus 2005

Buat sahabat-sahabatku; ingatlah bahwa dalam hidup ada yang mesti kita perjuangkan sobat!!!