Air Mataku Bukan Untuk Negeriku (sebuah puisi)
air mataku bukan untuk negeriku
tetapi buat bapak si pedagang kerang
yang berjalan tanpa alas kaki
membiarkan telapaknya tertikam kerikil
merelakan kulitnya tersengat mentari
aku menangis untuk telapak kasarnya
karena di sana penguasa negeriku
pameran kilatan sepatu
aku bersedih untuk pakaian usangnya
karena dalam selimut kayu berukir
tumpukan batik licin memberi makan rayap
aku berduka untuk kerut wajahnya dan bau keringatnya
karena dalam istana negeriku
aroma farmum,saling bersilang
perang merek sudah biasa
berbagai kosmetik dilelang
bau keringat jadi kasturi
air mataku bukan untuk negeriku
monster-monster berdasi telah menyihirnya
menjadi sangkar nenek sihir dan burung gagak
meski kini usianya beranjak menua
negeriku juga semakin tergadai
ia menjadi rebutan dalam bursa kuasa
menjadikan pemimpinku layaknya boneka
pajangan etalase kapitalis
berbagai musibah yang melanda
bukannya mengikutkan istiqfar
tetapi menjanjikan lahan investasi
air mataku bukan untuk negeriku
meski kutahu ia sekarang diuji
sebab air mataku telah terkuras
memandikan jenazah si miskin
yang menggadai nyawanya di ranjang putih
air mataku sudah mengering
untuk saudaraku di Papua
busung lapar di kerajaannya sendiri
yang terisolasi karena hartanya dirampas
sekarang titik-titik air mataku yang masih tersisa
sekali lagi bukan untuk negeriku!
tetapi akan kutampung
untuk memberi minum adik-adik kecilku
diperempatan jalan
yang menggantungkan hidupnya
pada tutup botol berkayu
serta kantongan plastik bekas gorengan
sebagiannya, akan kugunakan membersihkan
tubuh saudaraku yang terguyur lumpur panas
oleh mesin-mesin pemaksa alamku
melahirkan semburan uang
tak ada lagi yang tersisa
untuk aku meratapi negeriku
karena aku terlalu lama menunggu
tetapi janji tak kunjung tiba
di hari lahirmu ini
ingin rasanya menciumi telapak nakhodanya
tetapi aku kembali enggan
karena telapaknya begitu halus dan kukunya licin
sentara si bapak penjual kerang
telapaknya mengelupas, kasar!kukunya hitam
setiap hari berjalan puluhan kilo
bersama gerobak dan seember kerang
namun nuraniku berbisik
ciumlah tetapak itu dan menangislah untuknya!
pondok biru, kamis (17 Agustus 2006)
tetapi buat bapak si pedagang kerang
yang berjalan tanpa alas kaki
membiarkan telapaknya tertikam kerikil
merelakan kulitnya tersengat mentari
aku menangis untuk telapak kasarnya
karena di sana penguasa negeriku
pameran kilatan sepatu
aku bersedih untuk pakaian usangnya
karena dalam selimut kayu berukir
tumpukan batik licin memberi makan rayap
aku berduka untuk kerut wajahnya dan bau keringatnya
karena dalam istana negeriku
aroma farmum,saling bersilang
perang merek sudah biasa
berbagai kosmetik dilelang
bau keringat jadi kasturi
air mataku bukan untuk negeriku
monster-monster berdasi telah menyihirnya
menjadi sangkar nenek sihir dan burung gagak
meski kini usianya beranjak menua
negeriku juga semakin tergadai
ia menjadi rebutan dalam bursa kuasa
menjadikan pemimpinku layaknya boneka
pajangan etalase kapitalis
berbagai musibah yang melanda
bukannya mengikutkan istiqfar
tetapi menjanjikan lahan investasi
air mataku bukan untuk negeriku
meski kutahu ia sekarang diuji
sebab air mataku telah terkuras
memandikan jenazah si miskin
yang menggadai nyawanya di ranjang putih
air mataku sudah mengering
untuk saudaraku di Papua
busung lapar di kerajaannya sendiri
yang terisolasi karena hartanya dirampas
sekarang titik-titik air mataku yang masih tersisa
sekali lagi bukan untuk negeriku!
tetapi akan kutampung
untuk memberi minum adik-adik kecilku
diperempatan jalan
yang menggantungkan hidupnya
pada tutup botol berkayu
serta kantongan plastik bekas gorengan
sebagiannya, akan kugunakan membersihkan
tubuh saudaraku yang terguyur lumpur panas
oleh mesin-mesin pemaksa alamku
melahirkan semburan uang
tak ada lagi yang tersisa
untuk aku meratapi negeriku
karena aku terlalu lama menunggu
tetapi janji tak kunjung tiba
di hari lahirmu ini
ingin rasanya menciumi telapak nakhodanya
tetapi aku kembali enggan
karena telapaknya begitu halus dan kukunya licin
sentara si bapak penjual kerang
telapaknya mengelupas, kasar!kukunya hitam
setiap hari berjalan puluhan kilo
bersama gerobak dan seember kerang
namun nuraniku berbisik
ciumlah tetapak itu dan menangislah untuknya!
pondok biru, kamis (17 Agustus 2006)