Zukenah........SEBUAH CERPEN
“ZUKENAH”
By: Art 02
Pukul dua dini hari, kusaksikan kepolosan wajah-wajah manusia yang berbaring di depanku. Ternyata memang benar tidur menafikan kamuflase, kemunafikan atau rekayasa kedirian manusia.
“Nnnnng…nnnng….” Terdengar dengungan nyamuk-nyamuk kecil menyapaku dalam kesunyian.
“Kasihan manusia, karena kebebasan hanyalah seonggokan kata sampah yang tidak pernah merealitas, ia hanyalah kata pemanis yang meninabobokkan manusia dalam kehidupannya!” seruan itulah yang sempat kudengar saat nyamuk-nyamuk kecil mendendangkan syairnya di hadapanku. Aku tersenyum sendiri dan mendengarkan syair itu. Meskipun aku tahu egoku tidak menerima hal tersebut, tetapi begitulah manusia yang harus senantiasa memilih dalam dilema hidup.
“Kalian memang sangat pandai berkata, tetapi seandainya nyamuk dalam posisi manusia akankah kalian berkata begitu?” bisikku.
Dua ekor nyamuk hitam yang sedari tadi menari di tepi hidungku ternyata mendengar bisikannku.
“Apa bedanya nyamuk dengan manusia. Mereka sama-sama dilengkapi panca indra yang seharusnya menjadi mediasi penghambaan abdi pada sang khaliq.” Jawabnya secara serentak.
“Tetapi kalian punya sayap dan manusia tidak. Sayap itulah yang membawa kalian terbang kapan dan di manapun kalian mau, tidak ada penjara dan penindasan bagi bangsa kalian.” Ucapku menanggapi sanggahan dua ekor nyamuk tadi.
“Kamu salah, justru kamilah yang seharusnya iri melihat anugerah Tuhan yang nyaris sempurna pada manusia, bukankah manusia memiliki akal dan itulah sayap manusia yang melebihi ribuan sayap bangsaku.” Balas mereka.
“Nnnnng… nnnnng… akal adalah sayapmu, hati adalah perisainya dan kebebasan adalah milikmu. Nnnnng… nnnnng….” Kedua nyamuk itu kembali bersyair merdu.
Syair itu semakin menyudutkanku yang kini terpuruk dalam terali besi akan tetapi menyerah apalagi menangis sebagaimana predikat yang selalu disandangkan terhadap eksistensi perempuan tidak akan kupelihara. Meringkuk di jeruji besi lebih baik bagiku daripada hidup di bawah telunjuk orang lain.
Di tengah keheningan malam kuraih sajadah kumal pemberian sipir penjara siang tadi dan kubenamkan diri di telapak sang khaliq.
“Siapa bilang kebebasan itu hanyalah mimpi bagi manusia,” haturku dalam ratapan sujud terakhir.
***
“Subahanallah.” Desahku saat pertama kali kupijakkan kakiku pada sebuah rumah mewah di kawasan Real Estate negeri Jiran.
Di sinilah kuleburkan egoku dan kupatuhi kehendak penghuninya menjadi seorang pembantu rumah tangga. Hari-hariku berlalu dengan berbagai rutinitas yang terkesan monoton. Entah sudah berapa banyak keringat yang terkuras dan air mata yang mengalir dalam pengabdian ini, namun aku harus tetap mencintai setiap apa yang aku lakukan karena tanpa cinta semuanya akan hampa dan sia-sia.
Ijazah diploma yang terus kubawa tidak mampu menjadi jaminan layaknya sebuah pekerjaan. Ternyata tanpa rupiah semuanya tidak berarti apa-apa. Ijazah itu kini hanya bersembunyi di balik dipan tempatku berbaring setelah semua pekerjaan selesai.
***
Pukul lima tiga puluh, aku dikejutkan oleh kehadiran seorang lelaki tua yang sebenarnya tidak asing lagi buatku.
“Zukenah….” Pak Sukiman memanggilku.
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada Pak Sukiman sorang tukang kebun di rumah itu.
“Maukah kamu menolongku?” Pak Sukiman balik bertanya kepadaku.
Aku mengangguk.
“Sudah dua bulan ini Tuan Darmawan tidak membayar upahku dan sekarang istriku melahirkan. Tetapi aku tidak punya uang untuk biaya persalinannya. Apakah kamu bisa membantuku?” lanjut Pak Sukiman.
Aku tertunduk. “Apa yang harus aku lakukan, aku juga tidak memiliki cukup uang karena upahku empat bulan yang lalu sudah terkirim buat Ayah dan gadis kecilku.”
Di tengah perbincangan kami, melintas Pak Darmawan yang baru saja pulang dari gudang tempat ia menghimpun harta kekayaannya. Tanpa menunggu lagi, kuajak Pak Sukiman bertemu majikan kami.
“Ada apa lagi kalian ke sini!” seru majikanku dengan nada membentak.
Pak Sukiman terdiam. Padahal ialah yang aku harapkan dapat memulai pembicaraan itu. Akhirnya dengan sisa-sisa keberanianku yang menyusup di balik saraf-saraf pikiranku, aku mulai berbicara.
“Tuan…kami ingin meminta upah kami!”
“Apa…!” seru Pak Darmawan
Aku dan Pak Sukiman serentak menunduk.
“Apa yang telah kalian lakukan selama ini? Apa yang telah kalian berikan padaku sehingga aku harus membagi-bagikan uang untuk kalian?” Pak Darmawan kembali berbicara dengan amarah yang memuncak.
“A…anu Tuan, istriku bersalin dan aku butuh uang.” Pak Sukiman akhirnya angkat bicara dengan nada yang terbata-bata.
“Aku tidak peduli.” Bentaknya pada Pak Sukiman.
Kali ini kusaksikan kesedihan menghiasi wajah lelaki tua itu. Dalam hatiku ada rasa kesal yang amat sangat. Aku tidak terima bentakan itu meskipun bukan di tujukan buatku, karena menurutku meminta hak setelah melaksanakan kewajiban bukanlah sebuah dosa tatapi kemestian. Aku jadi ibah dengan Pak Sukiman yang berjuang untuk keluarganya dalam keterasingan usia. Rasa ibah inilah yang menstimulus emosiku yang selama ini bungkam.
“Astagfirullah.” Kucoba beristikfar untuk membunuh emosiku. Agar kuraih lagi kebeningan pikiran dan hati untuk meminta hak kami.
“Tuan, bukankah upah kami beberapa bulan yang lalu belum dibayar. Kami juga punya keluarga, kalaupun Tuan enggan membayar upahku tidak apalah. Tetapi setidaknya Tuan dapat memberikan upah Pak Sukiman.” Pintaku.
“Lancang kau…mau jadi pahlawan, yah!” seru Pak Darmawan sambil melayangkan tangan yang biasanya menopang ketika menghadap Rabbnya ke wajahku.
“Zukenah….” Teriak Pak Sukiman saat menyaksikan aku tersungkur dan kerudung yang menutupi kepalaku terpental.
“Pergi sana…!”
Aku berdiri menatap Pak Darmawan sambil memasang kembali kerudung yang menjadi perisaiku saat bergumul dalam lembah kemunafikan dan relitas hidup yang semakin kelam.
“Tidak….” Balasku.
Kali ini kurasakan Pak Darmawan membalas perkataanku itu dengan tatapan yang telah dikobarkan oleh libido kelaki-lakiannya. Sisa-sisa keimanan yang terpendam sudah hilang terbaluti nafsu yang memuncak. Ia menarikku dan ingin menyalurkan hasratnya tanpa peduli nasibku nanti. Tetapi aku bukan perempuan lemah sehingga aku harus berontak agar terlepas dari laki-laki itu.
Pak Sukiman berusaha menolongku, namun dengan sedikit dorongan dari tangan majikanku, ia terhempas dan tidak lagi sadarkan diri. Entah dari mana aku memperoleh kekuatan sehingga aku berhasil lepas dari peristiwa itu. Saat Pak Sukiman terbangun ia sangat terkejud menyaksikan tanganku berlumuran darah dan Pak Darmawan tertelungkup dengan sebilah pisau menancap di punggungnya.
“Apa yang kamu lakukan, Zukenah?” Tanya pak Sukiman.
Aku hanya tersenyum. Dari peristiwa itu kurasakan kebahagiaan akan kemenanganku. Mungkin seperti inilah yang dirasakan oleh Firdaus dalam novel PEREMPUAN DI TITIK NOL ketika akan berhadapan dengan vonis hukuman mati karena telah menumbangkan seorang germo. Tetapi aku merasa lebih bahagia karena aku bukanlah seorang pelacur yang harus tunduk pada kelatahan realitas hidup dan menggadaikan kehormatan demi lembaran rupiah layaknya Firdaus. Ini hanyalah sepenggal kisah yang terungkap untuk membuka mata kaum perempuan yang terenggut nilai kemanusiaannya. Meskipun kehadiran mereka atas nama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tetapi tidak ada perlindungan dan pembelaan yang nyata. Ini adalah wujud pemberontakanku atas penindasan yang menimpa saudara-saudaraku. Aku tidak akan pernah menyesal meskipun kutahu kematian majikanku harus aku bayar dengan nyawaku sendiri atas nama keadilan hukum. Aku yakin akan terlahir Zukenah-Zukenah baru dari rahim suci ibu pertiwi selama pemuja-pemuja violence dan praktik-praktik dehumanisasi masih tumbuh subur.
“Innalillah….” Ucapan terakhirku saat kutinggalkan sangkar pemuja hedonisme bersemayam. Beberapa orang petugas memborgol tanganku dan membawaku ke atap yang baru untuk menuggu panggilan Ilahi.
***
Bangkitlah hai…gadisku
Rajut kembali jelaga senjamu
Tegakkan benang harapmu
Selama fajar belum terbaluti kerudung malam
Engkau masih bisa menari
Altar kemanisan menantimu
Teratai kesucian masih milikmu
Jangan renggut asamu
Dalam kelamnya malam
Inilah sebait kata yang kutorehkan pada dinding buihku, dengan tinta darah sebelum tiang gantungan mengantarkan aku pada kematian yang tanpa mereka sadari bahwa kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya.
“Allahu akbar… Allahu akbar…! seru manusia-manusia yang bersimpati mengiringi kepergianku.
***
Pukul dua dini hari seorang gadis berparas cantik, memberanikan diri menemui lelaki berusia lanjut yang baru saja mengucap salam pada Rabbnya di tengah keheningan malam.
“Kek… aku ingin pamit. Pagi nanti mereka akan menjemputku.”
“Kamu tidak boleh pergi, Nak….”
“Kakek… ini semua demi kebaikan kita.”
“Tidak… Kakek tidak ingin peristiwa itu terulang lagi!”
“Apa maksud Kakek?”
“Lihat… kamu lihat lukisan itu? Kamu pernah bertanya, siapa perempuan itu? Sekarang dengar baik-baik, ia adalah ibumu sekaligus korban yang menjadi tumbal ketidakadilan hukum, saat usianya Dua puluh tiga tahun dan Armansyah bapakmu telah meninggal. Ia menitipkan kamu pada kakek. Usiamu saat itu baru setahun lebih. Ia ingin bekerja di luar negeri akan tetapi demi mempertahankan kehormatannya, ia membunuh majikannya sendiri dan divonis hukuman mati. Kakek tidak ingin semua itu terulang lagi pada kamu, Nak….”
Gadis itu tertegun, ia menarik nafas dalam-dalam dan menatap lukisan tua yang tampak usang termakan usia. Aku adalah anak Zukenah, iya… namaku adalah Liliana Zukenah. Aku ternyata terlahir dari rahim seorang pembunuh. Pembunuh kemunafikan yang akhirnya terbunuh di tiang gantungan dalam kemunafikan hukum.
“Innalillahi wa’innailaihi roajiuun” Ucapku menyambut fajar di ufuk timur, menyibak kabut di mata kakek yang selama ini selalu merindukan anaknya Zukenah.
Terkhusus untuk saudara-saudaraku yang mengadu nasib di negeri orang, mudah-mudahan kalian tetap istiqomah di jalan-Nya agar senantiasa mendapat lindungan dari-Nya. Amin
By: Art 02
Pukul dua dini hari, kusaksikan kepolosan wajah-wajah manusia yang berbaring di depanku. Ternyata memang benar tidur menafikan kamuflase, kemunafikan atau rekayasa kedirian manusia.
“Nnnnng…nnnng….” Terdengar dengungan nyamuk-nyamuk kecil menyapaku dalam kesunyian.
“Kasihan manusia, karena kebebasan hanyalah seonggokan kata sampah yang tidak pernah merealitas, ia hanyalah kata pemanis yang meninabobokkan manusia dalam kehidupannya!” seruan itulah yang sempat kudengar saat nyamuk-nyamuk kecil mendendangkan syairnya di hadapanku. Aku tersenyum sendiri dan mendengarkan syair itu. Meskipun aku tahu egoku tidak menerima hal tersebut, tetapi begitulah manusia yang harus senantiasa memilih dalam dilema hidup.
“Kalian memang sangat pandai berkata, tetapi seandainya nyamuk dalam posisi manusia akankah kalian berkata begitu?” bisikku.
Dua ekor nyamuk hitam yang sedari tadi menari di tepi hidungku ternyata mendengar bisikannku.
“Apa bedanya nyamuk dengan manusia. Mereka sama-sama dilengkapi panca indra yang seharusnya menjadi mediasi penghambaan abdi pada sang khaliq.” Jawabnya secara serentak.
“Tetapi kalian punya sayap dan manusia tidak. Sayap itulah yang membawa kalian terbang kapan dan di manapun kalian mau, tidak ada penjara dan penindasan bagi bangsa kalian.” Ucapku menanggapi sanggahan dua ekor nyamuk tadi.
“Kamu salah, justru kamilah yang seharusnya iri melihat anugerah Tuhan yang nyaris sempurna pada manusia, bukankah manusia memiliki akal dan itulah sayap manusia yang melebihi ribuan sayap bangsaku.” Balas mereka.
“Nnnnng… nnnnng… akal adalah sayapmu, hati adalah perisainya dan kebebasan adalah milikmu. Nnnnng… nnnnng….” Kedua nyamuk itu kembali bersyair merdu.
Syair itu semakin menyudutkanku yang kini terpuruk dalam terali besi akan tetapi menyerah apalagi menangis sebagaimana predikat yang selalu disandangkan terhadap eksistensi perempuan tidak akan kupelihara. Meringkuk di jeruji besi lebih baik bagiku daripada hidup di bawah telunjuk orang lain.
Di tengah keheningan malam kuraih sajadah kumal pemberian sipir penjara siang tadi dan kubenamkan diri di telapak sang khaliq.
“Siapa bilang kebebasan itu hanyalah mimpi bagi manusia,” haturku dalam ratapan sujud terakhir.
***
“Subahanallah.” Desahku saat pertama kali kupijakkan kakiku pada sebuah rumah mewah di kawasan Real Estate negeri Jiran.
Di sinilah kuleburkan egoku dan kupatuhi kehendak penghuninya menjadi seorang pembantu rumah tangga. Hari-hariku berlalu dengan berbagai rutinitas yang terkesan monoton. Entah sudah berapa banyak keringat yang terkuras dan air mata yang mengalir dalam pengabdian ini, namun aku harus tetap mencintai setiap apa yang aku lakukan karena tanpa cinta semuanya akan hampa dan sia-sia.
Ijazah diploma yang terus kubawa tidak mampu menjadi jaminan layaknya sebuah pekerjaan. Ternyata tanpa rupiah semuanya tidak berarti apa-apa. Ijazah itu kini hanya bersembunyi di balik dipan tempatku berbaring setelah semua pekerjaan selesai.
***
Pukul lima tiga puluh, aku dikejutkan oleh kehadiran seorang lelaki tua yang sebenarnya tidak asing lagi buatku.
“Zukenah….” Pak Sukiman memanggilku.
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada Pak Sukiman sorang tukang kebun di rumah itu.
“Maukah kamu menolongku?” Pak Sukiman balik bertanya kepadaku.
Aku mengangguk.
“Sudah dua bulan ini Tuan Darmawan tidak membayar upahku dan sekarang istriku melahirkan. Tetapi aku tidak punya uang untuk biaya persalinannya. Apakah kamu bisa membantuku?” lanjut Pak Sukiman.
Aku tertunduk. “Apa yang harus aku lakukan, aku juga tidak memiliki cukup uang karena upahku empat bulan yang lalu sudah terkirim buat Ayah dan gadis kecilku.”
Di tengah perbincangan kami, melintas Pak Darmawan yang baru saja pulang dari gudang tempat ia menghimpun harta kekayaannya. Tanpa menunggu lagi, kuajak Pak Sukiman bertemu majikan kami.
“Ada apa lagi kalian ke sini!” seru majikanku dengan nada membentak.
Pak Sukiman terdiam. Padahal ialah yang aku harapkan dapat memulai pembicaraan itu. Akhirnya dengan sisa-sisa keberanianku yang menyusup di balik saraf-saraf pikiranku, aku mulai berbicara.
“Tuan…kami ingin meminta upah kami!”
“Apa…!” seru Pak Darmawan
Aku dan Pak Sukiman serentak menunduk.
“Apa yang telah kalian lakukan selama ini? Apa yang telah kalian berikan padaku sehingga aku harus membagi-bagikan uang untuk kalian?” Pak Darmawan kembali berbicara dengan amarah yang memuncak.
“A…anu Tuan, istriku bersalin dan aku butuh uang.” Pak Sukiman akhirnya angkat bicara dengan nada yang terbata-bata.
“Aku tidak peduli.” Bentaknya pada Pak Sukiman.
Kali ini kusaksikan kesedihan menghiasi wajah lelaki tua itu. Dalam hatiku ada rasa kesal yang amat sangat. Aku tidak terima bentakan itu meskipun bukan di tujukan buatku, karena menurutku meminta hak setelah melaksanakan kewajiban bukanlah sebuah dosa tatapi kemestian. Aku jadi ibah dengan Pak Sukiman yang berjuang untuk keluarganya dalam keterasingan usia. Rasa ibah inilah yang menstimulus emosiku yang selama ini bungkam.
“Astagfirullah.” Kucoba beristikfar untuk membunuh emosiku. Agar kuraih lagi kebeningan pikiran dan hati untuk meminta hak kami.
“Tuan, bukankah upah kami beberapa bulan yang lalu belum dibayar. Kami juga punya keluarga, kalaupun Tuan enggan membayar upahku tidak apalah. Tetapi setidaknya Tuan dapat memberikan upah Pak Sukiman.” Pintaku.
“Lancang kau…mau jadi pahlawan, yah!” seru Pak Darmawan sambil melayangkan tangan yang biasanya menopang ketika menghadap Rabbnya ke wajahku.
“Zukenah….” Teriak Pak Sukiman saat menyaksikan aku tersungkur dan kerudung yang menutupi kepalaku terpental.
“Pergi sana…!”
Aku berdiri menatap Pak Darmawan sambil memasang kembali kerudung yang menjadi perisaiku saat bergumul dalam lembah kemunafikan dan relitas hidup yang semakin kelam.
“Tidak….” Balasku.
Kali ini kurasakan Pak Darmawan membalas perkataanku itu dengan tatapan yang telah dikobarkan oleh libido kelaki-lakiannya. Sisa-sisa keimanan yang terpendam sudah hilang terbaluti nafsu yang memuncak. Ia menarikku dan ingin menyalurkan hasratnya tanpa peduli nasibku nanti. Tetapi aku bukan perempuan lemah sehingga aku harus berontak agar terlepas dari laki-laki itu.
Pak Sukiman berusaha menolongku, namun dengan sedikit dorongan dari tangan majikanku, ia terhempas dan tidak lagi sadarkan diri. Entah dari mana aku memperoleh kekuatan sehingga aku berhasil lepas dari peristiwa itu. Saat Pak Sukiman terbangun ia sangat terkejud menyaksikan tanganku berlumuran darah dan Pak Darmawan tertelungkup dengan sebilah pisau menancap di punggungnya.
“Apa yang kamu lakukan, Zukenah?” Tanya pak Sukiman.
Aku hanya tersenyum. Dari peristiwa itu kurasakan kebahagiaan akan kemenanganku. Mungkin seperti inilah yang dirasakan oleh Firdaus dalam novel PEREMPUAN DI TITIK NOL ketika akan berhadapan dengan vonis hukuman mati karena telah menumbangkan seorang germo. Tetapi aku merasa lebih bahagia karena aku bukanlah seorang pelacur yang harus tunduk pada kelatahan realitas hidup dan menggadaikan kehormatan demi lembaran rupiah layaknya Firdaus. Ini hanyalah sepenggal kisah yang terungkap untuk membuka mata kaum perempuan yang terenggut nilai kemanusiaannya. Meskipun kehadiran mereka atas nama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tetapi tidak ada perlindungan dan pembelaan yang nyata. Ini adalah wujud pemberontakanku atas penindasan yang menimpa saudara-saudaraku. Aku tidak akan pernah menyesal meskipun kutahu kematian majikanku harus aku bayar dengan nyawaku sendiri atas nama keadilan hukum. Aku yakin akan terlahir Zukenah-Zukenah baru dari rahim suci ibu pertiwi selama pemuja-pemuja violence dan praktik-praktik dehumanisasi masih tumbuh subur.
“Innalillah….” Ucapan terakhirku saat kutinggalkan sangkar pemuja hedonisme bersemayam. Beberapa orang petugas memborgol tanganku dan membawaku ke atap yang baru untuk menuggu panggilan Ilahi.
***
Bangkitlah hai…gadisku
Rajut kembali jelaga senjamu
Tegakkan benang harapmu
Selama fajar belum terbaluti kerudung malam
Engkau masih bisa menari
Altar kemanisan menantimu
Teratai kesucian masih milikmu
Jangan renggut asamu
Dalam kelamnya malam
Inilah sebait kata yang kutorehkan pada dinding buihku, dengan tinta darah sebelum tiang gantungan mengantarkan aku pada kematian yang tanpa mereka sadari bahwa kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya.
“Allahu akbar… Allahu akbar…! seru manusia-manusia yang bersimpati mengiringi kepergianku.
***
Pukul dua dini hari seorang gadis berparas cantik, memberanikan diri menemui lelaki berusia lanjut yang baru saja mengucap salam pada Rabbnya di tengah keheningan malam.
“Kek… aku ingin pamit. Pagi nanti mereka akan menjemputku.”
“Kamu tidak boleh pergi, Nak….”
“Kakek… ini semua demi kebaikan kita.”
“Tidak… Kakek tidak ingin peristiwa itu terulang lagi!”
“Apa maksud Kakek?”
“Lihat… kamu lihat lukisan itu? Kamu pernah bertanya, siapa perempuan itu? Sekarang dengar baik-baik, ia adalah ibumu sekaligus korban yang menjadi tumbal ketidakadilan hukum, saat usianya Dua puluh tiga tahun dan Armansyah bapakmu telah meninggal. Ia menitipkan kamu pada kakek. Usiamu saat itu baru setahun lebih. Ia ingin bekerja di luar negeri akan tetapi demi mempertahankan kehormatannya, ia membunuh majikannya sendiri dan divonis hukuman mati. Kakek tidak ingin semua itu terulang lagi pada kamu, Nak….”
Gadis itu tertegun, ia menarik nafas dalam-dalam dan menatap lukisan tua yang tampak usang termakan usia. Aku adalah anak Zukenah, iya… namaku adalah Liliana Zukenah. Aku ternyata terlahir dari rahim seorang pembunuh. Pembunuh kemunafikan yang akhirnya terbunuh di tiang gantungan dalam kemunafikan hukum.
“Innalillahi wa’innailaihi roajiuun” Ucapku menyambut fajar di ufuk timur, menyibak kabut di mata kakek yang selama ini selalu merindukan anaknya Zukenah.
Terkhusus untuk saudara-saudaraku yang mengadu nasib di negeri orang, mudah-mudahan kalian tetap istiqomah di jalan-Nya agar senantiasa mendapat lindungan dari-Nya. Amin