« Home | Zukenah........SEBUAH CERPEN » | CERPEN : DIARY DINDA » | ADA YANG MENYAPA » | Puisi Buat Kakanda » | Puisi : Semusim beranjak pergi » | Puisi : Taman Kampus » | Puisi : Satu.. Dua..Tiga » | FOR MY FRIEND » | Cerpen : PLAKAT BERBINGKAI BIRU » | Puisi : Ibu »

MENGETUK NURANI BUNDA (Sebuah Cerpen)

MENGETUK NURANI BUNDA
By : Art 02

Gemerlapnya cahaya lampu penghias malam menjadi pemandangan yang tidak asing lagi di kota metropolitan ini. Kota dimana setiap orang berhasrat menjumpai dan mengadu nasib bersamanya, meskipun tidak ada jaminan bahwa kota itu akan membawa keberuntungan bagi mereka.
“Sebaiknya kita pulang ya, Nur soalnya jam-jam segini mobil-mobil mewah sudah pada lewat. Ngamennya dilanjutkan besok saja.” Usul raga ketika melihat tubuh kecil Nur kelelahan.
“Tapi kak, kita harus mengumpulkan uang untuk daftar sekolah tahun depan.”
“Kakak ngerti Nur, tetapi kita juga butuh istirahat. Jangan khawatir sayang, masih ada hari esok!” bujuk Raga sambil membelai rambut ikal Nur.
Nur akhirnya mengangguk dengan ajakan Raga. Mereka melangkah menyusuri tepian trotoar yang masih terasa lembab oleh guyuran air hujan malam tadi. Dua pasang telapak tak beralas itu sesekali berhenti dan memainkan sebuah bekas botol minuman untuk melepaskan gundah. Di tengah perjalanan, Nur terus saja menatap seorang anak kecil beserta ibu dan ayahnya yang baru saja keluar dari sebuah swalayan.
“Kak, boneka anak itu lucu, yah.”
Raga kini terdiam, sambil menatap Nur gadis kecil dengan ungkapannya yang polos, “sudahlah Nur, nanti kalau uang kita sudah banyak kamu juga bisa memiliki boneka seperti itu.”
***

Tubuh anak berusia lima belas tahun dan gadis kecil berusia lima tahun itu kini talah terbuai. Beralaskan sobekan-sobekan koran, berdinding kebisuan malam dalam balutan selimut dingin, di bawah atap keremangan cinta, akan kasih sayang yang tergadaikan oleh ketidaksanggupan seorang bunda menangggung aib karena kelalaian cinta anak remaja, yang dileburkan dalam kepuasan nafsu. Raga... Nur… mereka sebenarnya terlahir dari rahim yang suci. Mereka bukan anak haram. Mereka sama seperti anak kecil yang menggendong boneka di halaman swalayan tadi, mereka memiliki ayah dan ibu. Hanya saja takdir telah mengantarkan mereka untuk bertualang di pinggir jalan dan mengadu nasib di bawah keikhlasan hati pengguna jalan untuk memberikan kepingan-kepingan logam di telapaknya.
Di keheningan malam yang sesekali diselingi oleh suara tak karuan dari anak-anak jalanan yang terbius alkohol, Raga tiba-tiba terbangun oleh igauan Nur yang terus saja menangis memanggil bunda yang hingga saat ini tidak pernah dia tahu apa, siapa, dan bagaimana wujud sang bunda sebenarnya. Raga mendekap tubuh mungil itu dan membiarkannya hingga mata Nur terpejam dalam buaiannya. Dia sangat mencintai Nur, meskipun mereka tidak terlahir dari rahim yang sama.
Terbayang di benak Raga peristiwa lima tahun silam, saat usianya beranjak sepuluh tahun. Ketika dia menelusuri lorong-lorong sempit untuk menjajakkan koran di suatu pagi, lamat-lamat terdengar olehnya tangisan bayi yang sumbernya tidak jelas. Ketika dia berusaha mencari asal tangisan itu, kakinya tanpa sengaja menyentuh sebuah bungkusan hitam yang tergeletak begitu saja dekat kubangan sampah.
“Astagfirullah….” Ucapnya sewaktu dia tersadar bahwa isi dari bungkusan tadi adalah sosok bayi mungil yang masih berselimut darah karena terpaksa keluar dari rahim seorang bunda. Beruntung sosok bayi mungil itu masih bernyawa. Meskipun darah yang membalutinya sudah mengering dan menjadi santapan empuk bagi lalat-lalat tong sampah.
Didorong rasa ibah, Raga dan ibunya mengadopsi bayi itu meskipun kehidupan keluarganya pas-pasan. Mbok Sum, ibu Raga hanyalah seorang tukang cuci dan Raga sendiri berprofesi sebagai penjual koran sebelum dia berangkat ke sekolah. Nurani itulah nama pemberian Mbok Sum pada si bayi mungil sebagai wujud kegundahannya serta ketidaksepakatannya pada bunda yang kehilangan nurani sehingga tega membuang darah dagingnya sendiri.
Keceriaan Nur menebarkan cahaya yang menghiasi keluarga Raga, hingga ketika Nur memasuki usia enam tahun Mbok Sum harus menyusul kepergian suaminya di alam lain. Sejak saat itu Raga dan Nur bersepakat untuk terus berjuang melewati titian hidup meskipun mereka belum dapat menerka, akankah hari esok menjadi sahabatnya. Ketegaran sang bunda yang dititipkan di hati Raga membuat dia dengan sabar mendampingi Nur melewati masa remajanya meskipun harapan pada sisa-sisa peninggalan ibunya telah habis tergadaikan dan hanya meninggalkan puing-puing kenangan pada sebidang tanah tak bertuan.
***

Waktu terus bergulir dan mendewasakan dua sosok bocah pengamen itu. Raga kini memutuskan untuk merantau ke negeri seberang demi perubahan nasib mereka.
“Aku akan menunggu kepulangan, Kakak,” ucap Nur di sebuah terminal bus yang menjadi saksi kepergian seorang pemuda berusia duapuluh tiga tahun.
“Jaga dirimu baik-baik dan tetaplah mengingat Allah, Nur,” bisik Raga di tengah kerumunan manusia-manusia dengan tujun masing-masing.
“Insya Allah, Kak….” Ucap gadis berkerudung biru itu.
Raga tersenyum lega karena dia yakin Nur akan tetap terjaga dengan seruan-seruan Ilahiah yang senantiasa dia dendangkan saat bertualang di tengah jalan.
“Surga juga buat pengamen, Nur!” serunya kala itu, mengingatkan Nur ketika dia hampir mencopet dompet gadis muda yang baru saja keluar dari sebuah taxi.
Raga melangkah memasuki bus antar kota diiringi dengan lambaian tangan Nur yang sesekali menyeka air mata dengan ujung kerudungnya. Baru kali ini dia benar-benar merasakan pedihnya sebuah perpisahan meskipun rahasia dirinya dan hubungan persaudaraannya dengan Raga belum terungkap. Dia tidak pernah tahu akan identitas dirinya yang sebenarnya. Ketika seorang bertanya dimana bundamu? Nur pasti akan berkata dia telah meninggal. Seandainya dia tahu bahwa Raga bukan saudara kandungnya dan Mbok Sum bukan bunda yang melahirkannya, mungkin ketegaran dirinya akan buyar seketika, karena setiap anak yang terlahir pasti mengharapkan kasih sayang bunda. Sedangkan Nur telah menjadi korban dari seorang bunda yang tak bernurani.
***
Senja kian meredup saat seorang gadis kembali pulang pada sebuah atap cintanya. Dia menyandarkan tubuhnya pada bangku tua di sudut gubuknya sambil menengadahkan kepalanya menatap langit-langit gubuk. Hari ini dia harus belajar hidup mandiri karena Raga berada jauh di seberang sana. Dia melangkahkan kakiknya memasuki salah satu ruangan yang tidak begitu luas untuk merajut kembali kenangannya bersama Raga. Di ruangan inilah Raga seringkali duduk bersimpuh saat gema adzan telah berkumandang. Di tempat ini pula berjuta lafaz doa terangkai kala sepertiga malam datang menyapa. Mata sembabnya terus menelusuri sisi demi sisi ruangan itu dan tanpa sengaja tatapanya terhenti pada sebuah kotak kayu yang berada di lemari pakaian milik Raga. Kotak itu menghadirkan rasa ingin tahu di benak Nur. Dia mencoba membuka kotak tadi dan ternyata berisi sebuah catatan kecil milik Raga. Rasa penasaran mendorong Nur untuk menelaah lembar demi lembar catatan itu. Matanya yang bulat mencoba menelusuri kata-kata yang tertulis hingga pada menit berikutnya dia terpaku pada beberapa baris kata.
4 Januari 1986
“… Seorang bayi mungil tersenyum di bongkahan sampah kembali mengukir nama seorang ibu yang tak bernurani. Nur engkau adalah adik baruku meskipun kita terlahir dari rahim yang berbeda….”
Tanpa sadar tangan Nur bergetar hebat, dia melepaskan catatan kecil itu. Disusul dengan simbahan air mata yang berjatuhan dari kelopak matanya.
Apakah benar engkau bukan kakak kandungku? Apakah bunda bukan orang yang melahirkanku? Lantas siapa bundaku Kak…siapa? Isak tangis Nur semakin menjadi. Dia tidak percaya akan kenyataan yang ada di hadapannya.
Apakah aku sangat buruk sehingga dia yang melahirkanku mencampakkan diri ini?
Kegalauan dan kegelisahan jiwa menjadikan mata Nur enggan terpejam malam itu. Dia berusaha merajuk kembali kenangan-kenangan hidupnya yang retak oleh realitas. Sosok Mbok Sum dan Raga saling berkejaran dalam imajinya. Nur tersenyum sambil berlari mendekati Mbok Sum yang telah siap menganugerahkan rangkulan kasih. Dia duduk di atas pangkuan bundanya mendengarkan lantunan shalawat yang terdengar syahdu dari bibir wanita separuh baya itu. Sementara Raga terlihat segar sehabis mandi dan menukar pakaian dengan gamis putih sebelum berangkat ke mushallah di samping rumahnya. Kisah kasih masa kecil semakin membuatnya gelisah menunggu esok untuk menjumpai bunda yang tega mencampakkannya. Nur terhanyut bersama sayap-sayap imajinasi yang terus membentang hingga pada lamunan tak bertepi.
KRIIIING… KRIIIIING…. Suara weker mini yang tergeletak di sampingnya mematahkan sayap-sayap itu dan membawa Nur kembali pada dunia nyata.
Astagfirullah… aku hampir lupa, ternyata hari ini aku harus tugas pagi. desahnya sambil mengusap wajah.
Dia segera berbenah diri setelah membenamkan wajahya di atas sajadah usang warisan Mbok Sum. Sebuah Lembaga Pemasyarakatan telah menerimanya sebagai juru masak untuk para tahanan dan petugas-petugasnya. Di tempat inilah dia dapat mengenal berbagai karakter manusia yang dia jumpai setiap kali waktu makan tiba.
***
Siang itu, Nur mengambil posisi pada tempat duduk yang berada di pojok untuk menyandarkan punggungnya yang lelah. Dia menatap para narapidana yang menikmati hidangan buatannya. Tetapi tatapannya tiba-tiba berhenti pada sosok yang menarik perhatiannya. Sosok itu terlihat lusuh. Pendaran keayuan di wajahnya meninggalkan kesan kegersangan jiwa. Sosok itu mempermainkan hidangan makanan siang di hadapannya. Melihat tingkah laku wanita tersebut Nur mencoba menghampirinya.
“Hai….” Sapa nur.
Wanita itu menatap Nur dengan tatapan hampa.
“Tidak enak ya?” tanya Nur berusaha memalingkan perhatian wanita tadi yang terus saja membisu dan menatap Nur.
Nur menjadi salah tingkah dan tak tahu harus berbuat apa. Dia merasa tatapan itu berusaha menelanjangi dirinya bahkan merasuk dalam batinnya. Nur berlari menjahui wanita tadi yang tiba-tiba saja berdiri hendak memeluk Nur.
“Nur, kamu kenapa?” Tanya salah seorang petugas.
Nur tersentak kaget, ”ti… tidak apa-apa, Pak.”
Petugas itu tersenyum
“Siapa wanita yang di sudut sana, Pak?” Tanya Nur
“Rastiyana.”
“Penghuni baru ya?”
Petugas itu mengangguk.
“Kasus apa?”
“Dia memebuang darah dangingya sendiri, setelah beberapa menit dibiarkan terkapar hingga bayi itu menghembuskan nafas yang terakhir.” Jawab petugas tadi kemudian berlalu pergi.
Nur merasakan sebuah benda keras seperti mendarat tepat di atas kepalanya. Dia berdiri kaku sambil menatap wanita itu dari kejauhan. Ada sebilah pisau serasa menusuk batinnya.
Ya…Tuhan mengapa hal ini terulang lagi. Sebeku apakah nuraninya yang tidak terketuk dengan tangisan dan wajah polos si bayi mungil, saat terpaksa terusir dari rahim bunda. Dengan tangan apa lagi aku harus mengetuk nurani bunda yang beku ituTuhan? Mengapa mereka tidak pernah bercermin pada kenyataan hidup sebelum menghkianati ikrar cinta dalam telaga dosa. Haruskah ribuan bayi tak berdosa bergelimpangan pada bak-bak sampah, sumur-sumur pengharapan, tepian-tepian sungai kering, dan belukar-belukar berduri.
Nur terus melekatkan pandangannya pada wanita itu hingga waktu makan usai dan mengantarkan para nara pidana untuk kembali ke dalam sangkar berterali besi. Begitupun dengan sosok itu yang semakin menjauh darinya kemudian lebur bersama narapidana yang lain. Lambat laun kegaduhan suara-suara narapidana berganti dengan kehadiran seekor kucing belang bersama seekor bayi mungil di mulutnya memasuki ruangan makan. Mereka menikmati sisa-sisa makanan yang berserakan sambil sesekali menyuapi si bayi yang terlihat manja dan ceria di sisi bundanya.
“Subahanallah…subahanallah…” Ucap Nur sebelum meninggalkan ruangan itu. Sambil menyeka matanya yang terus meneteskan air mata sebagai obat rindunya pada sosok bunda yang hanya tinggal kenangan.
Special for my mother, I missyou forever
Makassar,21 April 2005

kalau nulis cerpen itu, emang gini ya paragraf nya?

Post a Comment