« Home | MENGETUK NURANI BUNDA (Sebuah Cerpen) » | Zukenah........SEBUAH CERPEN » | CERPEN : DIARY DINDA » | ADA YANG MENYAPA » | Puisi Buat Kakanda » | Puisi : Semusim beranjak pergi » | Puisi : Taman Kampus » | Puisi : Satu.. Dua..Tiga » | FOR MY FRIEND » | Cerpen : PLAKAT BERBINGKAI BIRU »

Adelia, Kenangan Yang Hilang ( Sebuah Cerpen)

Adelia, Kenangan Yang Hilang
By : Art 02
Adelia seolah-olah tidak mau berkedip membayangkan kisah-kisah hidupnya Dua tahun silam, bersama seorang kawannya bernama Andi. Dia sangat baik, perhatian, sopan dan pandai. Mungkin karena itulah semua teman-teman di kelasnya simpati pada Andi. Namun pertemanan mereka harus berakhir ketika beberapa bulan kemudian acara perpisahan digelar, Adelia melanjutkan kuliah di Makassar dan dia terbang ke Bandung bersama keluarganya.
Saat ini, di kampus Orange kulewati hari-hariku bersama kawan-kawan yang baru dengan karakter yang berbeda-beda, tapi bayangan Andi tetap saja hadir dalam benakku. Dialah yang pertama kali mengajarkan aku arti hidup, dia pula yang membimbingku agar tidak menyesal menjadi perempuan, bahkan ia juga sering kali memperagakan beberapa rangkaian gerakan yang kukira jurus pamungkas sebagaimana dalam film-film silat, tetapi katanya itu adalah rangkaian gerakan shalat. Dan bersama dia untuk pertama kalinya kudengar irama yang sangat merdu dari lantunan ayat-ayat kitab suci Al Qur’an. Aku belum pernah mendengar suara itu, padahal kulihat di lemari kerja Ayahku ada buku yang sama dengan itu. Aku juga tidak pernah diajarkan shalat, padahal di meja rias Ibuku kudapati kain putih, sama dengan kain yang Andi sodorkan buatku kala itu, yang menurutnya pakain shalat untuk perempuan.
***
“Del, kok ngelamun, jadi tidak kamu ikutan study banding di ITB?”.
“Jelas dong Tia, bagiku ke Bandung adalah cita-citaku sejak dari dulu, di sana aku sangat berharap dapat berjumpa dengan sobat lamaku.”
“Berangkatnya kapan?”
“Besok.”
“Kok, tiba-tiba amat!”
“Nggak tahu tuh, aku juga baru dapat kabar pagi tadi.”
“Oh, kalau begitu hati-hati aja yah. Dan jangan lupa oleh-olehnya.”
Adelia tersenyum geli melihat gelagat, Tia sahabat dekatnya karena sedari tadi menerka Tia akan mengucapkan kalimat itu.
“Del, jangan lupa juga sampaikan salamku pada Andi.” Lanjutnya sambil mencoba menggoda Adelia.
“Insya Allah deh, doakan saja aku bisa berjumpa dengannya!”
“Ok… aku jalan duluan yah.”
Adelia mengangguk. Ada seberkas sinar kerinduan terpancar di wajahnya. Kerinduan yang menunggu sebuah perjumpaan tak bertepi. Dia tahu, Andi memang saat ini ada di Bandung dan kuliah di ITB. Tetapi Bandung itu bukanlah kota kecil dan berharap menemukan Andi di ITB adalah hal yang hampir tidak mungkin, karena dia sama sekali tidak tahu fakultas dan jurusan Andi. Namun sebuah harapan menjadi motivasi untuknya karena jika harapan itu masih ada maka keyakinan takkan mungkin terkubur. Sejak kepergianya ke sana, Andi tak pernah lagi berkirim kabar pada Adelia, sehingga informasi tentang dirinya di benak Adelia semakin mengabur.

***
Pagi yang cerah menjemput pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara. Aku bagai bermimpi di siang hari, kemarin aku di kampus Orange, tetapi sekarang aku di kampus ITB yang siapapun terdaftar namanya, dan kuliah di dalamnya akan dikatakan hebat, pandai serta kawan-kawannya deh..! Tetapi lain pendapat orang lain pula aku, bagiku di sini biasa-biasa saja, tidak ada bedanya dengan di kampus Orangeku, di sini namyak fungky di sana juga, di sini ada yang berjilbab, di kampusku juga ada malahan lebih ok, dan di sini kulihat laki-laki yang memakai jeans, di kampusku ikhwannya lebih sopan dengan tampilan yang sederhana. Dan… di sana kulihat sosok yang tidak asing buatku, tetapi siapa dia…? Sosok itu berbalik melangkah ke arahku. Semakin dekat sosok itu semakin jelas.
“Andi…Andi,” panggilku
Tetapi ia tidak mau berbalik bahkan menolehpun dia enggan. Aku berpikir mungkinkah dia Andi yang dulu kukenal. Tetapi entah mengapa hatiku sangat yakin, aku berlari-lari kecil menghampiri dia.
“Andi…ini aku Adelia.”
Dia hanya terdiam dan menatapku sekilas lalu menunduk. Lama dia terdiam, lalu berkata “astgfirullahul aladziim, maaf Adeli aku bukan Andi yang dulu!” balasnya kemudian ia berlalu pergi.
Aku terperanjak dan tidak terasa mutiara putih jatuh membasahi kenangan yang kugenggam. Memang benar, dia bukan Andi yang dulu kukenal, sekarang dia lahir dengan penampakan baru, dia saat ini mengenakan gamis panjang, memakai kopiah yang tidak pernah lepas dan wajahnya lebih bercahaya. Namun yang kusesalkan ketika dulu dia sangat ramah dan baik, tetapi sekarang mengapa dia melupakan segalanya.
Perjalananku kembali ke Makassar penuh dengan tanda tanya, di benakku ucapan itu masih terekam jelas. Aku tidak mengerti apakah Al Qur’an mengajarkan yang demikian? Haruskah kita memutuskan silaturahmi hanya karena saat ini aku hanyalah gadis yang tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan gadis-gadis jilbaber yang lalu-lalang di hadapanku. Aku memang tidak pantas berteman dengannya. Dan sekarang buat apa juga aku lamunkan semua itu, yang nantinya akan membunuh semua kenangan indah yang pernah terlukis di bebakku.
***
Setahun telah berlalu dan bayangan Andi lambat laun terkikis dalam ingatanku. Saat ini aku lebih memilih mengikuti kajian-kajian islami bersama kawan-kawanku agar aku lebih memahami hakikat makna yang tersirat di balik ciptan-Nya. Hati kecilku berkata bahwa namaku tetap tertoreh di hatinya. Semua yang dia lakukan saat perjumpaanku di Bandung waktu itu, bukanlah sebuah kesalahan. Karena menurut kawan-kawan rohisku dalam bergaul seorang wanita dan laki-laki tetap memiliki batasan, agar kesucian hati dan perilaku tetap terjaga.
Di emperan sebuah toko, di tengah hiruk pikuknya aktivitas masyarakat. Kudapati seorang lelaki yang sedang menghisap sebatang Dji Sam Soe dengan stelan jeans hitam dan kaos oblong, bergambar belakang grup musik Linkin Park, serta rambut panjang yang dibiarkan terurai tak terurus. Saat ia berbalik ternyata… ternyata sosok itu adalah Andi Nugraha. Tanpa sadar air mataku menetes lagi.
“Ya Allah yang membolak-balikkan hati manusia, tetapkanlah diriku pada keyakinanku.”
Aku baru tersadar dengan ucapannya kala itu.
“Del, iman seseorang tidak kekal adanya, kadang ia surut, kadang pula ia bertambah kuat, maka peliharalah imanmu agar kekuatannya tetap terjaga.”
Ingin kusapa sosok itu,tapi mobil yang kutumpangi berlalu pergi tanpa sempat mengucap salam. Matahari pagi menyusupi jendela kamarku dan dibalik tirai biru kudapati secarik kertas yang berisikan rangkaian syair yang ternyata rangkaian salam perpisahan darinya.