« Home | KEKASIH PURNAMA ( Sebuah Prosa Liris) » | Adelia, Kenangan Yang Hilang ( Sebuah Cerpen) » | MENGETUK NURANI BUNDA (Sebuah Cerpen) » | Zukenah........SEBUAH CERPEN » | CERPEN : DIARY DINDA » | ADA YANG MENYAPA » | Puisi Buat Kakanda » | Puisi : Semusim beranjak pergi » | Puisi : Taman Kampus » | Puisi : Satu.. Dua..Tiga »

CINTA ( Sebuah Prosa Liris)

Katakan kepada hidupku, tentang cinta yang menyatukan langit dan bumi. Katakanlah kepadaku, wahai kekasih. Saat jiwamu kau pagari dengan kesucian. Maka tak kan ada ruang bagi budak-budak cinta akan memasukinya.
Maka hidupku adalah jiwa yang mabuk dan terpesona dengan pijar di matamu. Padahal sinar matamu teruntuk jalan bila gelap, dan buat cahaya di antara hati dan mimpi. Akulah yang melihatmu dalam pijar langit dan bumi. Yang mengajariku bahwa cinta adalah kenyataan yang memenuhi keduanya.
Jika mimpi telah beranjak, siapakah yang menemukan kemuliaanya kembali di tanah ini ? Mimpilah yang mengajarkan hidup tentang kehalusan, dan jiwa yang penuh kasih. Katakanlah kepadaku, hai kekasih, yang memijarkan kalbuku adalah jiwamu. Lalu mengapakah aku seperti budak-budak kesunyian kerena rasa cinta kepadamu.
Adakah hidup yang mencintai adalah kebencian di langit, karena telah ku pijak sang bumi dengan rindu-rindu hatiku kepadamu. Katakanlah kekasih, tentang cinta yang menyatukan langit dan bumi. Di saat langit mengenggam jiwamu, aku juga memburu nafasmu. Biarkan aku berpacu dengan jalan, waktu, dan takdir. Dan janganlah bulan menjauhiku jika malam aku melukismu. Bumilah tempat kasih jiwa tumbuh, dan langit adalah pucuk-pucuknya.
Kekasih dengarlah jika langit telah menghujamiku cerca, ia berkata, “ pergilah kepada kesunyian dan hati yang tersiksa, di jalan-jalan bumi cinta menyengsarakan hati, dan menjauhkan segala mimpi. “
Cintakah yang melibatkan hidup di dalam penantian, pada hari-hari yang tidak pernah pasti. Tentang keburamannya yang menebar tak terarah. Menghapus cahaya dan jiwapun sirna. Atau cintakah yang melarikan mimpi-mimpi ke dalam belenggu sunyi, yang memenjarakan kalbu.
Maka katakanlah kepada hidupku, bahwa cinta mengajarkan jiwa tanah-tanah bumi yang indah yang bila sedang bernyanyi di bawah langit yang menaungi dengan keberkahannya.
Sebutlah kekasihku, tentang cinta yang membangkitkan kasih di negeri-negeri tandus, lalu negeri itu di penuhi anugerah karena cinta membuatnya subur dalam jiwanya. Karena kasih sayang adalah ladang yang paling indah.
Atau ucapkanlah pada bebatuan yang mengkristal di kematianku jiwaku ini, bahwa kedatanganmu adalah api yang mencairkan kesunyian dan membelah kebekuan menjadi butir-butir kesadaranku akan hidupku.
Maka simaklah apa yang diucapkannya saat ku pandang langit dari atas negeri ini, “ tembuslah sejauh cakrawala untuk bisa meraih sang cinta, atau jika engkau telah mengarungi semua kematian. “
Yah, cinta adalah kematian sekaligus kehidupan.
Kematiannya seperti para pemabuk yang tidak sadarkan diri, berjalan dalam sunyi malam, mengigau di lorong-lorong kota, menjeritkan ketidaktahuan dan kegelisahan. Cinta yang membunuh kesadaran, merampas jiwa menjadi budak-budak cintanya, membelenggunya. Menjadikan jiwa-jiwa putus asa, membenci kehidupan, mendendam kepada senyuman yang tersungging di bibir pagi. Cinta adalah kuburan bagi kenangan, yang diziarahi tangis dan mimpi, yang selalu ditaburi doa-doa sunyi, di saat jiwa meratapi dunia yang merebut janji sang kekasih. Cinta adalah saat-saat buta, karena tidak dapat melihat selain wajah keinginan, dan menatap kerinduan bagai alam yang teramat jauh, yang tidak akan terjangkau selamanya meski hidup telah melakukan segalanya.
Sedang hidupnya cinta seperti jiwa yang berfijar, laksana suluh yang membangunkan tidur yang beku karena waktu senantiasa melelapkan lembah-lembah, dialah fijar yang membidik titik kebangkitan bagi kehidupan yang telah diselubungi aroma kematian di kalbunya. Cinta seperti pijar yang keluar dari keluhuran semesta, menjadikan cahaya wajah begitu indah pada senyum bahagianya, lidahnya yang melantunkan puji-puji, tangannya yang melukis kenyataan, jiwanya yang menulis kebenaran, dan hidupnya mengusir kematian segala makna. Cinta adalah pijar di kegelapan dan kehampaan, saat para jiwa terduduk lesu terperangkap. Yang menembus ke dalam naluri dan menerangi sisi yang sunyi, mengajarinya melihat hidupnya langit, dan menghangatkannya dengan menghidupkan kasih.
Maka dimanakah kehidupan cinta, yang bisa melindungiku dari kesedihan. Atau bisa menghindarkanku dari sunyi yang membunuh.
Ucapkanlah, hai kekasih. Dari lidah jiwamu, tentang cinta yang menyatukan langit dan bumi. Agar ada jalan bagi bayanganku yang menjejaki bumi dapat melayang tinggi di sekitar langit, bersama bayangmu yang menghiasi mimpi-mimpi.

S a t u

Kesekian kalinya ku lihat wajahmu, ketika ladang-ladang berbunga. Seperti kemarinpun wajahmu di sana, hadir di antara tangkai dan dedaunan, engkaulah mahkota. Melambai di pucuk-pucuk cinta kepada hidupku. Senyummu merangkai musim menjadi arah bagi angin meniupkanku kehidupan.
Engkaulah gadis yang berlari-lari kecil di jiwaku. Bila mataku memandang di bumi ini. Serasa jalan-jalan akan sirna bila tak kau jejaki. Langkahmu adalah irama padang rumput, dan detak rindu bebatuan. Aku mengikuti jejakmu hingga jauh, bahkan bila engkau sudah diam dan terlelap karena letih atau telah bersembunyi di balik kabut.
Dan jika saat kau hiasi ladang-ladang dengan senyuman, maka hidupku bernafas suka cita. Itulah nyanyian cintaku kepadamu. Seperti ungkapan persinggahanmu di musim kehidupanku, “ ruhku semerbak bunga-bunga, ruhku panggilan dalam janji cinta, ruhku telah tiba. “
Seperti jawabku, “ ruhmu keindahan, pewangi kepada dunia dan musim-musimnya, ruhmu adalah cinta, penumbuh rindu dan mesra di kesunyian, ruhmu adalah bahagia, dapat berlari-lari dengan pasti, ruhmu kekasih bagiku. “
Tak ada yang begitu kuinginkan, kecuali jika angin di ladang akan menyandingkanmu denganku sebagai pengantin yang mewarisi cinta. Lalu kita hidup bersama untuk mencipta musim kerinduan dan kebahagiaan. Atau setidaknya angin di ladang akan memanggilmu sebagai kekasihku, dan memanggilku sebagai kekasihmu, walau hari esok tidak akan menjanjikan penyatuan.
Kataku, engkaulah kekasih yang menghidupi ladang-ladang kemarauku. Bila kemarin tanah bumi bukanlah ladang yang memiliki janji untuk berbuah. Terutama jika masa-masa sulit melanda negeri. Engkaulah menjadi bibit yang disemai, di atas tanah yang berkah, lalu tumbuh menjadi bebungaan yang siap dipetik jika waktunya tiba. Dan padamulah madu-madunya bersemayam, untuk menghilangkan kepahitan tatkala kesunyian menghantuiku. Engkaulah yang membangunkan tunas-tunasku yang layu, dan menghiasi dahan-dahannya. Kucari walaupun engkau jauh. Betapapun begitu, cahaya kesucian di dalam jiwamu, telah mengembara memasuki duniaku. Dan mampu membasahi jiwaku yang kering.
Aku menjadikanmu hiasan jika hatiku sunyi dari kebahagiaan. Kupandangi engkau dari kejauhan. Kunikmati dirimu seperti telaga yang sejuk dan bening, yang melepaskan dahaga ternak dan rerumputan. Kurasakan dirimu membawaku kepada impian segala impian yang menghidupkan rasa rindu di jiwaku. Dan membawaku kepada cinta para penyair yang menghidupkan imajinasiku.
Kukatakan, tentang cinta yang menghidupi bumi. Ini bukanlah kematian bagi jiwaku. Karena tak ada lelaki yang menginginkan kematian pada jiwa kelelakiannya, meski perasaanku lebih menginginkan memuja jiwamu, hai kekasih. Maka aku sering menyuntingmu di sanubariku tanpa sepengetahuan orang lain. Hidup bersama jiwamu menanami tanah cinta. Jika kini ia tengah berbuah karya, maka pernahkah engkau akan mengetahuinya.
Tetapi engkau berkata di persinggahanmu pada zamanku, “ ruhku dimiliki pengetahuan, aku belajar pada yang mencintai, karena ia punya anugerah, ruhku dimiliki oleh cintamu, karena cinta telah memiliki apapun juga. “
“ Tetapi kematian cintaku juga ada, “ kataku.
“ Jiwaku kerap di hina oleh rasa malu. Karena mencumbui kehampaan dan bayangan. Aku seperti budak-budak cnita yang sedang mabuk. Yang telah dipasung dalam kurungan mimpi-mimpi,
Cinta dan jiwamu kekasihku, memasung harapanku. Tetapi tidak memenjarakanku, walau mengharapkannya seperti sulitnya mendaki puncak gunung, dan seperti bersahabat dengan kesunyian demi kesunyian. Ia memasungku di lembah-lembah cinta. Yang hanya dihuni oleh jiwa-jiwa lemah. “
Jawabmu, “ ruhku adalah keinginan, layaknya sang takdir menginginkan hidup semua zat, ia menginginkan penuh dan sempurna, maka ruhku masih ingin mengerti kehendak cintamu. “
Menghendaki cinta yang sejati. Seperti apakah itu ?
Memiliki jiwa ataukah ragamu, hai kekasih ? Yang menyatakan kesejatian. Atau yang manapun dari keduanya yang membangunkan kesadaran ?
Meski di atas dunia ini kesadaran akan memperkenalkan kepada eksistensi hidup yang banyak sekali duka citanya.
Katanya, “ ruhku juga mengenalinya, maka apakah kehendak cintamu itu akan mengusir duka citaku ? Ruhku adalah kesejatian, maka adakah cinta di hatimu akan membentukku lebih sejati lagi ? “
Kataku, “ melihat engkau dalam rasa cintaku, perasaanku sebagai lelaki yang ingin bersanding bahagia, ataupun bersanding dengan jiwa. Cinta di bumiku seperti menghidupkan musim yang kemarau dengan wajahmu..
Maka aku mengamati tempat persinggahanmu hai kekasih. Di tempat itulah banyak sekali bayang-bayang keindahan. Seolah-olah engkaulah yang kulihat dimana-mana. Dan engkaulah yang sudah menghadirkan cinta. Kepadaku, untuk menghidupkanku dari layu.

D u a

Jika bumi ingin menghidupkanku di bawah langit dan dapat membawa cinta kemanapun, maka aku selalu menunggu kekasihku bercerita tentang cinta yang menyatukan langit dan bumi.
Kerena aku yakin bahwa kami bisa saling mengenali jiwanya. Karena gadis yang berlari membawa jiwanya, adalah cinta yang menyinggahi makna-maknaku. Setiap pertemuan adalah kehidupan.
Dan perpisahan kematian ? Kami tidak mati karena perpisahan, sebab cinta adalah api yang hidup selama-lamanya.
Sayang jika kemarin pada langit aku dicerca, “ siapakah yang menghidupkan cintanya di bumi, dan berkata telah yakin akan dua jiwa ? Dan menganggap langit akan faham dan menerima hubungan mereka ? Yang mencintai seorang gadis selalu berkata ‘hidupku semakin bermakna dengan dirimu, dan engkaulah yang menumbuhkan kesadaranku.’ Begitulah bumi menumbuhkan cinta di hati manusia, mengahantarkan gadis-gadis di hadapan pemudanya, dan seolah-olah tanah menjadi berkah dengan kasih sayang, dan menganggap hidupnya telah sempurna. “
Lalu siapakah yang menghidupkan tunas-tunas di atas bumi, jika tidak ada cinta dari sang hujan, yang menyirami tanah sepanjang tahun dan mengalirkan sungai-sungai padanya. Dan tunas pun telah dipetik di ladang-ladang setelah tumbuh menyenangkan hati, kemudian dimanfaatkan keutamaannya sampai akhir.
Lalu siapakah yang menghiasi pantai kalau bukan cinta sang ombak, yang mengantarkan perahu sampai jauh, dan menunjukkan dimana tersimpan ikan dan mutiara, sehingga para nelayan dapat tersenyum di pasir pantai negerinya setelah pulang membawa cendra mata laut, bagi kebutuhan di daratan yang kering, sampai pegunungan pun menjadi tahu tentang samudera.
Lalu siapakah yang memiliki mimpi kalau bukan cinta sang malam, yang menghadirkan sunyi yang damai di kampung kehidupan, membuat orang-orang terlelap dengan tenang dan merindukan malam dengan rayuan pagi yang memasuki tidur mereka dengan bisikan-bisikan halus kepadanya, sehingga malam dapat mengajari para jiwa akan hidup yang nyata.
Lalu siapakah yang mengasihi para gadis kalau bukan cinta sang pemuda, yang menyentuh hati mereka dengan rindu, membuat mereka merasakan keindahan, sehingga para gadis menjadi sebuah kesucian di bumi yang menuntut kedatangan tangan-tangan pemetiknya, agar kesucian itu dikenali di penjuru negeri, dan dirasakan oleh siapapun sang kekasih.
Sebutkanlah kekasihku, tentang cinta yang menyatukan langit dan bumi. Dalam perbincangan jiwa kita dengan bintang-bintang. Suatu hari engkau akan singgah di sisinya bila cinta yang kumiliki telah terarah dengan pasti.
Apakah bumi dan langit sebegitu jauh, sehingga di langit aku dicerca, “ cinta yang tumbuh di bumi, adalah taman kelalaian jiwa manusia, dengan bunga-bunga yang beracun. Engkaulah yang mengaburkan pandanganmu, dengan pesona dan nafsu, cinta mematikan bumi dengan tanganmu yang menggenggam kerinduan palsu. “
Jawablah kekasihku, bahwa aku tidak pernah menyentuhmu dengan hasrat lelaki yang bergolak, atau mengajakmu memandang yang hitam dalam samar hawa nafsu. Dan bumi tidak melahirkanmu di taman bunga yang beracun. Juga tidak ada kematian di sini saat jiwa kita bertemu dalam kasih sayang.
Maka jawablah langit yang menghujamiku tanya, “ bagaimanakah cinta bisa menghidupkanmu ? Bila engkau terperangkap dalam kematian naluri karena terpedaya nafsu, bukankah engkau seperti budak-budak cinta yang sedang mabuk di jalan yang tidak menyadari ujungnya ? “
Katakanlah, hai kekasih, bahwa cinta adalah jiwa kita yang hidup. Katakanlah, kita saling mengenali batas jiwa kita. Kita menginginkan pertemuan karena begitulah hakekatnya, bahwa penyatuan akan menyempurnakan hidup kita. Jika kita bersanding kelak itu adalah kebahagiaan, memiliki sang kekasih dalam pelukannya. Dan bila keterpisahan datang maka itulah kesedihan karena hilangnya satu keindahan. Tetapi mencintai sang gadis tidak membuatku mati, walau seperti budak-budak cinta yang terlena, aku hanya melukismu dengan seksama, benarkah engkau jiwa yang terpancar dari kedalaman semesta dengan membawa segala keindahan yang menghibur jiwaku. Maka betapa berharganya penciptaanmu, betapa sucinya jiwamu sesungguhnya. Maka siapakah yang tidak ingin memiliki engkau kekasih, bila denganmu aku bahagia, dengan mengenalmu aku gembira, dan bila aku kehilanganmu aku menjadi orang yang bersabar. Katakanlah wahai gadis, bahwa cinta tidak pernah mematikan bumi, tetapi tanah menjadi damai karenanya. Cinta hanya keindahan, bahkan luka-luka karena kehilangannya masih menghadirkan rindu. Dan kepergiannya meninggalkan harapan yang tumbuh.
Dan jika ia mengatakan, “ cintamu hanya mimpi semu. “
Maka jawablah, “ semu hanya dunia, dan raga yang fana. Kita tidak mencintainya. Yang kita kasihi adalah jiwa yang kita miliki. Karena itulah yang abadi. Maka kita memburu cinta di antara jiwa-jiwa yang rindu. “
Dan yang kau tanya kemarin di persinggahanmu pada zamanku, tentang kesejatian pada ruhmu bila aku datang, maka kesejatian tentulah bukan karena aku. Cinta pada jiwa kita tidak akan menambah kesejatianmu, cinta hanya perlengkapan bagi kebahagiaan hidup kita. Tetapi engkau telah sejati karena Sang Penciptamu, baik engkau ku kasihi ataupun tidak.
Tapi nyatalah aku memang benar telah mengikutimu, hai kekasihku. Saat engkau berlari-lari kecil di jiwaku pada zaman yang besar. Aku melihatmu pada ladang kerinduanku yang sunyi. Dan mengharapkan kekasih sepertimu adalah nafas yang menyemai kehidupan. Karena cinta adalah kehidupan.
Maka ku tunggu, hai kekasih, engkau mengucapkan cinta yang menyatukan langit dan bumi. Agar mencintai sang kekasih adalah keberkahan dan anugerah. Agar cinta yang tumbuh di negeri kita akan menjelaskan tulusnya bumi, sewaktu langit memandang kepadanya.
Seharusnya ada kefahaman yang terbentang jika cinta telah menyentuh jiwa. Agar kesunyian seperti dalam jiwaku ini hanyalah pergulatanku mencari kebenaranmu. Dan agar bumi tidak menjadi tempat budak-budak cinta yang mabuk dan tidak mengerti, bahwa kekasih adalah semua kehidupan dan harapan. Bukannya keindahan yang harus dimiliki. Agar cinta tidak menjadi lembah dosa dan putus asa, dan menjadi tempat untuk menangisi yang fana.
Aku mengenali kecintaan dalam jiwaku dengan jiwamu hai kekasih. Ketika engkau berkata, “ ruhku dimiliki cinta, karena cinta adalah kehidupan segalanya. “

* * * * * * *