« Home | TUHAN BERBISIK (Sebuah Puisi) » | Bisikan Deburan Ombak (Sebuah Puisi) » | CINTA ( Sebuah Prosa Liris) » | KEKASIH PURNAMA ( Sebuah Prosa Liris) » | Adelia, Kenangan Yang Hilang ( Sebuah Cerpen) » | MENGETUK NURANI BUNDA (Sebuah Cerpen) » | Zukenah........SEBUAH CERPEN » | CERPEN : DIARY DINDA » | ADA YANG MENYAPA » | Puisi Buat Kakanda »

HIDUP RINDU KEKASIH ( Sebuah Prosa Liris)

Oleh : Masril Habib

Mencintaimu. Hidup berkata, petiklah matahari dan sematkan dalam jiwa. Seorang dara bunga-bunga menjelma indah. Bentukmu. Rindu-rindu tak berdasar, buta dan membingungkan. Seorang gadis, yang kucinta, ia milik keagungan. Dipingit pada puisi-puisi kerinduan seorang lelaki di pingiran kejenuhan kalbunya. Jelas selalu gelisah, menunggumu, tidur-tidurmu bernafas menyatu dalam angkasa yang penuh dengan debu-debu resahku. Gadis yang kutemukan di jalanku. Kaukah teramat halus-halus garis-garis hasrat ini, dan lukisan kata-kata kemauan samar membentuk. Jelangmu pagi kembang-kembang di pagar. Sendiri kelopak katakan ia ingin mengembang sampai sejauh mungkin, sampai di batas cakrawala. Tanganmu yang tumbuh dalam lengkungnya waktu selalu melambaikan angin dingin di bilik jantungku membuat hati-hati ini seakan tertinggal.
Semburat emas, dalam wajahmu, petang yang singkirkan terik, tegakmu di depan mataku, dalam pucatnya jiwa mendamba. Tangan-tangan kita iringi sang surya, bawakan sekerat kejenuhan gelisah, hari-hari yang lelah. Satu kata, seribu kata, apapun yang kau simpan dalam kalbumu, katakan wahai belahan sukma. Tiada nafasmu akan tertinggal walau mentari terus tenggelam. Engkau jiwa bersinar di pintu-pintu dunia yang ingin menggelap.
Kataku “ apa sang cinta dalam senja.? “
Gadisku berkata “ cinta adalah batas antara terang dan gelap. Jelitanya terang adalah dambaanku, ku dapat melukis dinding-dinding yang tumbuh yang di baliknya manusia menyelesaikan karya-karyanya. Jiwaku akan menghidup untuk mekar pada halaman-halaman rumah para penghuni bumi, dan dipetik oleh cinta yang datang di setiap sisi-sisi. Lalu terang perlahan hilang beriring kegelapan yang datang. Pepohonan menyepi, namun orang-orang masih dapat mendekap impian siangnya untuk bersama dalam jalan keremangan. Dan akupun masih dapat melihat bintang-bintang di dekat wajahmu yang bernyanyi untukku menghibur kerinduan. Bagiku cinta di antara gelap dan terang, di antara harapan dan mimpi. Aku selalu menunggunya tak perduli hari penuh cahaya ataupun malam sangat kelam.”
Lalu gadisku berkata, “ sedang bagimu apa sang cinta dalam senja ? “
Aku berkata “ cinta berada antara keraguan dan keyakinan. Dapatkah hari pertahankan terang bila pintu malam siap merampas. Dan yakinkah aku mentari akan datang lagi bila bumi sudah menenggelamkannya di balik ufuk-ufuk kalbu. Dan adakah dapat memilikimu jika Kemahaperkasaan tak memberikanmu untukku selamanya. Dalam senja hatiku berdebar, tebarkan jiwa ke penjuru angkasa. Mencumbu keindahan pergantian waktu yang berlalu. Seindah harapan yang bersembunyi di antara keraguan dan keyakinan, semanis wajahmu yang menerpa angan-angan sang matahari.”
Menemukanmu. Waktu musim tetap berubah. Orang-orang di tepi tumbuhnya kotaku, dan kesunyian kampung-kampung kalbuku. Gadis dalam langkah membaktikan hadirmu menjelang esok. Seperti engkau katakan dalam mimpiku, “ aku datang untuk menyatu dalam pelukanmu, menjadi bayangan pagi harimu, lalu kita akan tumbuhkan pepohonan yang menaungi keterikan bumi, lalu kita membentuk jalan-jalan, dalam kesempitan orang-orang untuk pergi ke arah-arah hidupnya. Kemudian aku kan lahirkan jiwa-jiwa perkasa untuk membangun harapan-harapan. Aku datang untukmu, bukankah telah kau panggil, di syair-syair sepimu yang haus, nyanyianmu memintaku, di keinginan membagi hari depan. Sedang Tuhanmu yang bersembunyi memberikan jalan kehadiranku.. “
Mengingkarimu. Hujan deras membelah tanah-tanah lalu mengalir ke kedalaman tanpa batas. Gemuruh membisikkan kepergian. Gadis pada keindahan matamu. Menyambar di kekakuan batu-batu. Sayup-sayup nafasku membenci, merinduimu seperti ini dan keharusan membagi rasa-rasa. Sekelit terbisik ingin berlari tinggalkan cakrawalamu. Seperti kataku di lembaran daun-daun yang gugur, telah kusebut untukmu, “ melihatmu, dan kau datang untuk cahaya kerinduan, selalukah aku akan terjaga di sampingmu dan sertai fajar pagimu, selalukah kaki-kakiku merintis semak untuk membuka belukar kesesatan-kesesatan hidup kita, dan dunia yang menjerat mimpi-mimpi kita. Terhapuskah rasa haus dan kering, di daratan jiwamu atau di kepekatan asa-asaku. Gadis engkau sungguh indah, takutku melukis seringnya matahari ingin membawamu. Dan sepertinya dunia kita tempat hati kita tetap merana. Lihatlah, benarkah aku selalu menyanyikan bunga-bunga yang tumbuh. ”
Pada lamanya harapan menjadi dekat. Hidup dan mencintai di butir-butir jiwa yang terbang berhamburan. Kadang titiknya berpijar di atas lembah-lembah hati manusia, yang telah lama menumpuk kehampaan dan ketidakpastian akan hari mendatang. Jiwa saling berlomba mencari perhentian. Siapakah sang penunggu tempat. Ia adalah pemilik cinta yang tak berbatas. Butirku, juga satu kefanaan yang naif, mengejar bentuk kepastian dalam kemegahan wana-warna yang ada. Yang sewaktu engkau hadir membisikkan semua yang mengatakan ambillah dunia untuk tempat meniti, nyatalah engkau benar kurasa, sebagai bagian diri-diri resah untuk berdiri. Sejauh harapanmu, adalah sedekat kemauanku menjadi tonggak, di pelataran jutaan kerinduan manusia, yang sejak dahulu dan sampai kapanpun mencari dirinya. Masa yang melantunkan bait-bait gelap, menyimpan semua pertanyaan akan meraih apa. Inginkah jiwaku dalam raihmu, kekasih, adakah engkau benar-benar tiba, dan menjadi jalan-jalanku menjadi benderang lalu akhir akan terlihat, atau tempat-tempatmu yang indah akan terjaga seterusnya. Sedang kehadiranmu juga adalah butir-butir yang terbang ke senyap-senyap janji. Menggandeng bumi dalam jari-jemarimu yang memegang sumbunya dalam nafasmu, hanyalah kehanyutan kita ke puncak-puncak kerinduan tak bertepi. Tautkanlah nafasmu gadis, di sempit rongga udara zaman, seluruh waktu adalah kerinduanmu, bukan kerinduanmu untukku, namun suara-suara jiwamu yang menerjang cakrawala. Disana banyak pinta-pinta dan kesedihan. Butir ratap-ratap manusia yang berserakan. Sempatkah bersamamu kekasih, bila waktu telah habis untuk kita setarakan langkah, dengan putaran waktu ke janji-janji langit. Habis cintamu ditepa saat-saat.
Mencercamu, kekasih. Benci atas nafas sendiri yang menyatu dengan nafasmu. Syahdu wajahmu tak pantas sendiri. Dan lautanpun pasti menantimu, untuk seberangkan harapanmu ke pulau-pulau terbaik. Seperti kata-kata sakitku yang sulit.
Kutanya padamu, “ hai sang dara, katakan apakah artiku dalam kehidupanmu.”
Jawabnya, “ engkau adalah keinginanku, dimana tangan-tanganku bertaut untuk kokoh membangun perlindungan, inginkanmu tidurkanku di lembaran kedamaian, sambunglah nyanyianku untuk pecahkan sepi, dan hari-hari takkan pernah bersedih, tetaplah di sampingku walau waktu telah berhenti. Hadirlah, tak ada jalan untuk meninggalkan keindahan. Engkau adalah dimana aku dapat pasrah tanpa merasa susah. “
Seperti belahan awan yang membentuk, bayanganmu yang menitis menusuk. keinginan mengiring gumpalan-gumpalanmu ke segala arah. Gadisku, katakan semua hasrat pada sendirinya batang-batang lapuk, agar ia tumbuh kembali menjadi kaki-kakimu untuk menerjang, dan tulislah nyanyianmu di padang-padang gersang agar tumbuhlah rerumputan, dan gandenglah angin untuk menghembuskan harap di rumah-rumah nasib manusia. Kemarin adalah semua kalbumu terbentuk dan engkau dalam keindahan, kini jiwamu menuntut apakah akan masih pada keindahan. Tidakkah kau melihat kematian mimpi-mimpi kisah yang terbakar. Berjalanlah sendiri, di antara kesunyian hatimu. Ada kesedihan yang tak terjawab, pasti melanda di kedatanganmu pada keberadaannya. Sambil kau lihat aku, dalam sudut-sudut kecil, terbit dalam duka-dukanya ladang-ladang kemarau, siramilah dengan hadirmu.
Kekasihku. Merindukanmu adalah cinta. Adalah kemauan siapapun. Tanah negeri kita berkata, “ hiduplah untuk kasihmu, dengan do’a-do’a suburnya langit, memberikan semua harapan manusia untuk benar-benar bahagia, tiada ketakutan dan kematian “.
Senja untuk berhenti, dan kita duduk menjadi satu dimensi. Panorama kesempatan menahan laju sang waktu. Itulah hidup kita. Rindu kita tiada di akhir penyatuan, kecuali senja ini tak pernah berganti malam yang binasa ditelan dalamnya gelap-gelap. Namun mengerti pertemuan jiwa kita, masih mencipta harapan-harapan dunia ini terus ada. Melahap kehilangan satunya kalbu kita, tentu juga kebinasaan cinta semesta.
Seperti kejauhan engkau berkata, “ janganlah engkau tinggalkan aku, di kesendirian hidup dan pulangnya aku kepada takdir dengan seorang diri.“
Desirkan satu keteramatan kasih.
Kataku, “ gadisku, tiada kebersamaan dalam dunia, jatuhkanlah dirimu dalam gelombang jingga-jinggaku, menulismu untuk esok, dimana ketakutan benar-benar hilang, dan nafasmu telah terbit dari jiwaku. Saat yang mewarnai wajah-wajah manusia dalam senyum dan cahaya. Esok sambutlah nyanyianku di pagi, saat hidup melangkah berisi pinta-pintaku sepanjang waktu. Dekatlah disisiku selama kerinduanmu adalah keinginan dalam kebenaran, yang memastikan hidupmu datang hanya untuk akhir yang sejati. “
Mengasihimu. Mencintai gadisku waktu-waktu terasa hidup. Mimpi-mimpi indahnya menerjang kesepian lelaki yang bergerak untuk berbakti. Janji benarnya cakawala. Seorang dara kesemua mata-mata akan melihat rembulannya, haruskah hadir dan pergi tanpa arti. Kerinduan dan cinta, atau bahkan ingin memiliki, tetaplah bernafas penuhi angkasa yang kokoh. Aku ada di sana, sampai kapanpun. Walau penyatuan dan terpisah tetap terjadi. Rinduku adalah deru-deru gelombang di jauhnya hidup, yang penuh dengan bumi-bumi manusia, takut dan harap, do’anya masih-masih melanda. Ada gadisku, dalam indahnya tercipta Sang Perkasa. Mendekat hadirnya, meski menebar gelisah, temaniku, mencipta rinduku sempurna.


* * * * * * * * * * * * * * *