« Home | HIDUP RINDU KEKASIH ( Sebuah Prosa Liris) » | TUHAN BERBISIK (Sebuah Puisi) » | Bisikan Deburan Ombak (Sebuah Puisi) » | CINTA ( Sebuah Prosa Liris) » | KEKASIH PURNAMA ( Sebuah Prosa Liris) » | Adelia, Kenangan Yang Hilang ( Sebuah Cerpen) » | MENGETUK NURANI BUNDA (Sebuah Cerpen) » | Zukenah........SEBUAH CERPEN » | CERPEN : DIARY DINDA » | ADA YANG MENYAPA »

RINDU KEBISUAN ( Sebuah Prosa Liris)

Oleh : Masril Habib


Dendang-dendang seperti membisu. Sejauh perjalanan jiwa melukis kefanaan. Semua yang terlihat, adalah beku dan mati. Sendiri, dan berdiri dalam rajutan Yang Maha Perkasa, lama-lama menjadi kesetiaan. Atau juga keletihan jiwa-jiwa berdo.a, menekuri jalannya dan mencari arahnya. Sebanyak matahari yang telah hadir menyinari bumi, dan sebanyak gubahan rembulan yang mencintai bumi. Dapat ku mengerti, di setia rerumputan yang tak pernah tampakkan kesombongannya, selalu tumbuh wewangian telapak gadis-gadis, yang menyusun anyaman halaman kerelaan. Kemauan ikuti irama langit biru. Tumbuh di jalan-jalan syahdu. Meskipun kematian yang dekat dalam rumah-rumah kehidupan, dan harapan banyak terbuang.
Nyanyian yang membisu. Bukan tak mengerti dahan-dahan yang disentuh angin. Dalam renungnya di jembatan langkah lelaki sewaktu tiba. Bisik pepohonan adalah lagu-lagu yang ditunggu.
Aku, seorang lelaki yang memiliki cinta. Dan cerita dunia di bawah sengatan kesulitan dan kehendak. Memiliki nasib yang tertulis dalam daun-daun layu, ia adalah bagian semesta yang menjalar. Di sini, menyebut nama tempat-tempat singgah. Berhentinya gerak pasrah. Memiliki cinta, adalah semua kecintaan akan kelahiran, dan pertemuan dengan makna-makna yang sudah terdahulu digoreskan. Datang untuk bumi, dan akar-akar kematianku.
Dalam mimpiku, kulihat rembulan sedang di cerca seorang lelaki yang terbaring di atas bukit. Katanya, “ hai bulan, apakah yang bisa kau perbuat, selain hanya bersinar, datang dan pergi tanpa ada artinya untukku, lihatlah aku telah menderita tanpa ada penolong, aku tersisih dari para manusia karena sakit dan miskin, aku telah berjuang namun sia-sia, engkau selalu melihatku, tidakkah dapat membantu. Kau hanya diam tak merasa, dan tak pernah susah seperti aku. Sungguh dunia ini tidak adil. “
Dan lalu bulan berkata, “ hai kamu manusia, tahukah kau keadaanku, aku juga menderita, tak dapat pindah dari jejak-jejakku yang telah membelenggu sampai masa yang tua, tak mampu pergi ke arah orang-orang yang memerlukan kedatanganku, sedang cahayakupun semakin lemah dan tak mampu menerangi sudut-sudut kegelapan hati yang menderita. Dan aku selalu takut jalanku akan terhenti dan jatuh dalam kehinaan. “
Lelaki itu diam. Lalu menangis dan pergi. Menyatu dalam jauh dan jiwaku yang rebah gelisah. Banyak tempat-tempat di dunia ini, adalah bumi-bumi keretakan kalbu. Kelapangan jalan tercampaknya manusia ke semua daerah untuk merana. Keadaan susah yang dibuat tangannya sendiri ataupun kemauan bisik-bisik beku angkasa. Seperti banyak saudaraku di pinggiran desa-desa kecil, kulihat kata-kata mereka yang sering ucapkan kekecewaan.
Katanya, “ kita semua di sini adalah orang-orang yang tidak beruntung, seperti orang-orang di kota, yang hidup dalam kemewahan, kesenangan, semua ada dan menjadi kawan-kawan dunia dalam kemegahan dan kemajuan. “
“ Ya, kita tak pernah merasakan kenikmatan makanan dan minuman mereka, melihat gedung-gedung indah, tempat hiburan dan lampu-lampu. Kita hanya terkurung di sini tak ada daya untuk kesana, karena kampung kita yang jauh lagi tidak punya penghasilan, “ kata seorangnya lagi.
Sepi-sepi desa adalah keheningan sang waktu yang sedang menceritakan ruang-ruangnya yang menyimpan makna. Ada sepi dan ada keramaian. Indah ketulusan bila desa murnikan saat-saatnya. Namun juga akan terluka bila sepinya dirampas ketidakmampuan memahami makna dan tugasnya.
Kota-kota yang indah. Kenyataan mimpi-mimpi manusia benar-benar besar. Aku memimpikan berjalan-jalan dalam ramai. Pakaianku panjang dan bagus. Melihat ke segala arah, dan dilihat mata-mata yang mengagumi. Kehidupan dalam riuhnya kota melahirkan debu-debu kalbu terpecah. Saat-saat yang menyilaukan. Penat jiwa kecilku menyertai kesekian lama arus-arus berhembus. Kulihat banyak orang-orang yang tak berbaju, tak punya tempat tinggal. Dan banyak pula orang-orang yang kesakitan seperti lelaki di atas bukit. Dan banyak keluhan seperti yang diucapkan orang-orang di desa yang menyepi. Keras dinding-dinding batu pada gedung tinggi, mengeraskan dinding kalbuku. Dan sekat-sekat, banyak menutup angan-angan untuk mendekati keheningan.
Menjalani malam dan mimpi-mimpi bulan di antara kehadiran diri dan hidup. Lusuh keharusanku mendampingi waktu-waktu berlalu. Juga bila kemauan menanti, memaksalah angan melihat, dan renungan mendekat. Aku, mengitari bayangan batang-batang bambu. Sayap burung malam di lukiskan bulan di pelataran jelita kegelapan.
Di kalbuku, terdengar perkataan daun-daun, “ benarkah aku dicintai oleh lelaki yang menyentuhku saat ia hadir mendekat, jika benar, tentu ia akan menjalin jalan ke langit dan berdo’a agar hidupnya mengenal jiwa-jiwa alam dan makna kehadiran. Pertemuan adalah jalan menyatu untuk hidup di kehidupan segala dimensi. “
Dan rembulan berkata, “ benar, ia mencintaimu, kulihat dalam matanya. Mimpinya adalah selalu melihatmu tumbuh menjulang tinggi. Ia ingin engkau membawa daun-daunmu yang penuh tulisan kata-kata para penghuni dunia, do’a-do’a dan harapan, keluhan-keluhan yang tak terdengar, rintihan-rintihan kecewa orang lemah,. Ia ingin kau membawanya ke langit lalu terselamatkan. “
Lanjutnya, “ Tapi ia juga mencintaiku, selalu ia memandangku dalam mimpi atau terjaga. Ia inginkan aku selalu hadir di setiap malam, dan setiap hati-hati, setiap tempat, desa-desa yang hidup sunyi, kota-kota yang gegap gempita. Semuanya perlukan cahaya. Bukan cahaya gemerlap dian membara namun adalah sinar ilham dan kasih sayang. Ia mengerti aku, dan kami menginginkan makna-makna. “
Aku, mencintai dalam diri-diri abadi. Kehadiran masa membawa kehendak-kehendaknya. Angkasa kefanaan setiap kita pastikan keindahan. Kemelaratan asa adalah keabadian yang terselubung dalam langit. Aku tak mengerti. Untuk menjadikan rasa kasih sebagai pintu bagi orang-orang melihat tempat-tempat kerinduannya. Aku hanyalah sebuah kefanaan, dalam kedatangan waktu-waktu yang teramat keras. Aku, sering jatuh dan menangis. Mengeluh dan melawan rasa putus asa. Saudaraku manusia bayak yang terluka di hidupnya. Menyesal dan memaki-maki nasibnya. Mereka mencintai dirinya. Dimanakah kehidupan menyembunyikan cintanya.

* * * * *
Bertemu dengan orang-orang dalam keramaian siang. Aku di atas laju kendaraan kota mengejar kesempatannya. Disebelahku seorang menyanyikan gubahan dari kedalaman jagad. Di terik penuh keringat yang timbul dari titik-titik keinginan hidup dan bangkit.
“ Tuhan, kami manusia selalu mencarimu, dimanakah istanamu berada, apakah di puncak langit yang tak mungkin kami gapai, sampai kapan dunia ini menjadi tempat yang sempit. “ bunyi kalimat keresahan.
Peluh orang yang bergerak hadirkan diam. Mimpi dinding jalanan seakan ragu berdiri. Gundah tiang-tiang batu. Seresah aku, dan laju hidup di saat siang ini yang menulis angka yang tak terhitung lagi. Mengingat kata-kataku dalam malam, katanya di sana adakah rasa cinta dapat terpenuhi. Apakah diri harus mencari jiwa-jiwa bumi untuk di bawa dalam kebersamaan. Teman bergerak dan berhenti. Rasanya itu cukup sekejap. Cinta untuk kembalikan hidup pada gemilang abadi terlalu jauh. Jauh di ketika kami akan benar-benar kembali.
Namun tiada kesalahan dalam impian sang lelaki, yang tidur untuk cintanya, melukis rembulannya, menyimpan bisik-bisik saudaranya dimanapun berada. Ingin selalu terbangkan angannya ke cakrawala untuk menutup pelarian jiwa-jiwa yang putus asa. Mengharap laju waku ini benar-benar mengerti harapan manusia.
Di sisiku, yang selalu letih bila hari membentang, hidup di sini, mencari jalan perolongan, membiarkan cintaku tumbuh berkembang tetap berkembang. Memahami Tuhan di antara semua tempat yang di lewati hidup siapapun. Menunggu biar kapanpun hidup akan tiba seperti kecintaanku.

* * * * * * * * * *