« Home | Kekuatan Persahabatan ( Sebuah Puisi ) » | IMAJIKU (Sebuah Puisi) » | Seruling Malam II (Sebuah Puisi) » | Seruling Malam I (Sebuah Puisi) » | BULAN SEPEREMPAT (Sebuah Cerpen) » | LUKISAN JEMARI TAK BERKUKU (Sebuah Cerpan) » | DIALOG DUA HATI » | Istikhfar ( sebuah Puisi) » | Perempuan Mencinta (Sebuah Puisi) » | Lelaki Kecilku ( Sebuah Puisi) »

CATATAN SEORANG HAMBA (Sebuah Cerpen)

By : Art 02

20 Agustus 2005


Sepertinya aku ingin mengajak Tuhanku, agar
kami berkata kepada adikku :
kabur terlalu samar
engkau terkasih
menepi sudah aku, dari kejauhan datangku
sembunyi sunyi
kau yang ku pilih
meski sudah aku jelang, waktu yang terjauh
kemarilah dari kerinduan
jangan simpan pucatnya matamu
kelak kugenggam tanganmu langkahi ragu
kesepian kita bersama
adalah debar janji
mengisi sunyi hidup ini
Seringkali aku mengucapkan syair ini kalah kulihat mendung selimuti wajahmu. Demikian halnya jika engkau berkeluh kesah tentang hari-harimu di kampus atau jika ada yang menggoda dan mengerjaimu. Namun saat ini syair itu tak dapat lagi kusenandungkan untukmu, sebab kabut terlalu tebal menutupi malam. Padahal di sana kudengar rintihanmu semakin menyayat. Tetapi apa yang bisa kulakukan selain mengutuk Tuhan yang telah salah mencipta takdir. Aku terlanjur terperangkap pada kepongahan dinding-dinding terjal dan kokohnya terali-terali besi.
“Aku akan menjemputmu adikku.” Bisikku, saat ruang imaji mencoba mengingat seorang gadis lugu, yang tak lain adalah adik kandungku sendiri.
Malam telah menutupi ceria dan kemanjaannya dariku. Malam tak mampu melindungi kehormatannya dan Tuhan sendiri hanya dapat memejamkan mata ketika dua orang pemuda merampas kehormatannya. Padahal saat itu seharusnya Tuhan menunjukkan kuasanya, karena apalagi yang kurang dari diri adikku. Dia gadis yang begitu pemalu dan besar dalam lingkungan pesantren. Seluruh tubuhnya terbaluti jubah dan kerudung. Bahkan ketika peristiwa itu menimpanya, dia baru saja pulang dari mushallah untuk mengajarkan kalimat-kalimat Ilahi kepada anak-anak di kawasan kami.
Dalam jeruji ini, aku tak henti-hentinya bertanya pada Tuhan, “mengapa Dia menghukum adikku? Padahal dia tidak berdosa. Dia bahkan lebih suci dari mereka yang menyebut dirinya suci. Adikku hanya mencoba mengaktualkan tugasnya sebagai abdillah…. Tetapi beginikah balasan-Mu, Tuhan?”
Dan seperti biasanya, kesunyian malam, tak pernah mau menjemput jawaban Tuhan untukku. Dia malah memimpin jengkrik-jengkrik untuk berdering dan menertawaiku.
“Dimana keadilan-Mu? Padahal malam itu aku hanya ingin menolong adikku. Bukan aku pelakunya. Mengapa aku yang harus mendekam di balik jeruji ini? Maafkan aku jika malam ini aku harus berkata bahwa Engkau sedang bisu… Tuhan sedang bisu!!!!!”

25 Agustus 2005

Kudengar dari kekasihku bahwa adikku belum dapat bicara, dia depresi berat. Dia bahkan tak mengenal siapa dirinya. Dia lupa segala-galanya, bahkan lupa pada siapa pelaku pemerkosaan itu. Dan ini berarti aku akan terus mendekam di sini hingga ingatannya pulih dan aku akan semakin gila.
“Akan kutuntut kuasa-Mu, kalau sampai terjadi sesuatu dengan adikku.” Teriakku.
Dan lamat-lamat masih kudengar bisikan kekasihku mengucap kalimat istighfar. Tetapi aku tidak memperdulikannya. Kebencianku pada-Nya menutupi segalanya.

29 Agustus 2005

Kekasihku datang lagi. Dan kali ini penampilannya sangat berbeda. Dia memakai pakaian adikku, tubuhnya terbaluti kain panjang dan kepalanya ditutupi kerudung. Tetapi aku benar-benar tak suka. Seketika juga kukeluarkan tanganku dari balik jeruji besi, kemudian kuraih kerudungnya dan dia pun tersentak kaget.
“Lepaskan kerudung ini!!!!”
Dia malah menatapku dengan tajam, sambil menahan rasa sakitnya karena beberapa helai rambutnya ikut tertarik.
“Dimas, apa yang kamu lakukan, bukankah dulu engkau pernah berkata alangkah indahnya perempuan. Jika setiap jengkal tubuhnya terbaluti kerudung!” jawabnya lembut.
“Apa yang bisa kau harapkan dari selembar kain ini? Engkau sudah terlanjur ditakdirkan menjadi manusia yang lemah, kerudung ini tidak akan bisa menolongmu.” Balasku.
Kulihat mata sipitmu semakin terbelalak. Sorotannya memojokkan aku sebagai terdakwah yang pantas dihukum mati.
“Istighfar Dimas… istighfar!” ucapmu sambil memungut kembali kerudung yang kulepaskan secara kasar.
“Istighfar… ha… ha… ha. Kata-kata itu sudah basi, Yesha. Tuhanlah yang seharusnya meminta maaf padaku!” seruku.
Kulihat engkau menangis, namun aku tak peduli. Bahkan besok ketika engkau datang lagi dengan kerudung itu maka engkau bukan istriku lagi.

3 September 2005

Sudah lima hari engkau tak datang. Aku juga tak tahu bagaimana adikku. Dimataku terbayang senyumnya yang selalu menyambutku, saat aku datang ke pondokannya. Dan ketika tugas-tugas kuliah menguapkan pikiranku dan membuahkan kepenatan. Masih kuingat waktu itu, dia memperlihatkan stelan kerudung violetnya untuk dikenakan pada pengajian Ibu Minah.
“Kakak, mulai sekarang, Zakiyyah memakai kerudung.” Ucapnya polos.
Aku hanya tersenyum. Kulihat saat itu, adikku bagaikan seorang bidadari yang diutus Tuhan untukku.
“Kau sangat cantik, Dinda.” Balasku, tetapi seketika itu kulihat rona wajahmu, sedih.
“Kakak, benarkah aku cantik?”
Aku mengangguk, dan mutiara putih itu akhirnya mengalir dan menetes di kerudungmu.
Lalu kutanya,” mengapa engkau menangis?”
Engkau terdiam untuk beberapa saat, kemudian kudengar engkau berbisik.
“Kecantikan bukan untuk dipuji. Aku memakai kerudung ini, agar keliaran pandangan mereka tidak tertuju padaku. Aku memilih berkerudung karena Dia telah berjanji akan senatiasa menjagaku dan berada di sisiku. Aku memakai kerudung ini karena aku menghargai anugerah-Nya. Bukan malah menampakkan kecantikan ini. Aku….”
Ucapanmu kemudian terhenti, oleh isyarat telunjuk yang kulekatkan di bibirmu.
“Semoga Tuhan, menjaga bidadariku ini,” bisikku. Dan lagi-lagi kulihat engkau tersenyum.

7 September 2005

Seorang sipir penjara datang menjemputku. Gesekan pintu tahanan berdering keras.
“Ada yang mencarimu.” Katanya. “Tapi ingat, waktumu hanya 15 menit,” lanjutnya.
Aku berjalan, mengekor di belakang sipir itu menuju ruang besuk. Di sana kudapati Yesha, kekasihku. Dia mengembangkan senyumnya untukku.
“Dimas, bagaimana kabarmu?”
Aku tak menjawab, meskipun aku sangat ingin berteriak, aku sakit lantaran rindu padamu. Aku melangkah ke arahnya dan kuraih kerudung yang membaluti makhotanya.
“Sudah kubilang, lepas kerudung ini!!!”
hampir saja aku melayangkan tamparanku ke arah pipinya yang mulus, tetapi sebuah gaungan suara tiba-tiba menghentikanku.
“Kakak….”
Aku sangat terkejut bercampur haru dan gembira. Adikku Zakiyyah, serta merta hadir dari belakang Yesha. Aku melangkah mundur, seakan-akan tak percaya. Kuusap wajahku dan kucubit lenganku sendiri. Dan dia benar-benar ada.
“Tuhan telah menjagaku dan mengembalikan aku ke tangan, Kakak.” Lanjutnya.
Romantisme yang baru saja akan kususun kembali dalam hatiku, seketika hancur berantakan mendengar kalimat yang diucapkan adikku tadi.
Kutanya padanya, “Setelah peristiwa itu, apakah engkau masih memuji Tuhanmu?”
Sebait jawaban yang tak kuduga engkau ucapkan. “Tuhan memang pantas dipuji. Aku dan kakak tak berhak mengadili keputusan-Nya. Aku dan kesucianku serta kebebasan kakak adalah milik-Nya. Seandaniya Tuhan tidak Maha pengasih, maka malam itu juga, kesempatan untukku bernafas di dunia ini akan diambilnya. Kerudung ini juga tak patut disalahkan karena Tuhan telah berjanji akan menjaga hamba-Nya dengan baik.”
“Lantas, mengapa Dia tak mampu menjagamu saat itu?”
“Bukannya Tuhan tak mampu menjagaku, tetapi Dia ingin mengajakku untuk berani intropeksi diri. Dan Dia juga ingin menjadikan aku lebih dewasa dan berhati-hati, Kak.”
Kutatap mata sayu, adikku dan ketulusannya meruntuhkan egoku untuk menatap realitas secara jernih, ternyata dibalik kelembutanmu, tersimpan kekuatan yang besar. Hatimu setegar karang, Dinda. Setelah itu kuusap tetesan mutiara putih diwajah kekasihku. Dan kurangkul mereka dalam pelukku, sambil membiarkan mereka terbenam dalam pikiranya masing-masing. Dalam hatiku berucap, terima kasih Tuhan, atas ketabahan yang Engkau berikan kepada istri dan adikku.
Tak terasa lima belas menit telah berlalu. Sipir penjara akhirnya menjemputku kembali ke buih. Sekali lagi kutatap kedua bidadariku. Dalam kekosongan pikiranku kudengar mereka berbisik.
“Engkau tidak bersalah dan besok kami akan menjemputmu pulang.”

8 September 2005

Kuakhiri catatan ini dengan mengajak Tuhanku, untuk berkunjung ke jiwa istri dan adikku. Menetap di sana dan selalu mendengar nyanyiannya :

kasihilah aku, bila sepi adalah waktu, bila mimpi adalah ragu
milikilah aku, dengan utuh dan sempurna
dan taruhlah di mataku bintang, di hatiku cakrawala
agar tak pernah berpisah dari tangan-Mu
selalu merajut benang-benang cinta
selalu melihat wajah-wajah surga


Makassar, 20 September 2005