« Home | DIALOG DUA HATI » | Istikhfar ( sebuah Puisi) » | Perempuan Mencinta (Sebuah Puisi) » | Lelaki Kecilku ( Sebuah Puisi) » | Kegelisahan (Sebuah Puisi) » | Kecapi Tak Berdawai ( Sebuah Puisi) » | RINDU KEBISUAN ( Sebuah Prosa Liris) » | HIDUP RINDU KEKASIH ( Sebuah Prosa Liris) » | TUHAN BERBISIK (Sebuah Puisi) » | Bisikan Deburan Ombak (Sebuah Puisi) »

LUKISAN JEMARI TAK BERKUKU (Sebuah Cerpan)

By : Art 02

“Aneh, mengapa sedari tadi orang-orang ini menatapku,” guman Frenda saat melintasi korodor kampusnya.
“Ah… cuek aja lagi.” Pikirnya. Tetapi meskipun Frenda berusaha melupakannya, tatapan itu tetap merasuki pikirannya hingga membuat dia lebih memilih kembali ke rumah. Meraih sebuah kanvas dan melanjutkan lukisannya yang hampir selesai. Meskipun hingga saat ini dia belum mampu menerka sketsa apa yang dilukisnya. Frenda hanya mengikuti melodi kata hati yang menjadi inspirasinya untuk melengokkan kanvas di atas lembaran putih di hadapannya.
Sebuah irama yang tidak asing lagi berdering, memecah konsentrasi Frenda.
“Ah… dia lagi, dia lagi! Kenapa sih orang ini nggak kapok-kapok juga nelpon aku.”
“Hallo… kamu lagi ngapain, kita jalan-jalan yah, aku akan jemput kamu,” terdengar suara dari seberang sana.
Frenda tidak menjawab dan langsung mematikan ponselnya.
“Enak saja, besokkan aku ada ujian.” Gerutu Frenda.
“Frenda ada yang cari kamu!” seru Isabel, teman sekostnya.
“Siapa?”
“Nggak tahu, tuh.”
Sambil berlari kecil Frenda menuruni anak tangga yang memisahkan kamar kost putra dan putri.
“Eh… Bapak. Silahkan masuk, Pak.” Ucapnya menyambut kehadiran pak RT yang begitu tiba-tiba.
“Perkenalkan, ini Pak Subagya. Beliau adalah petugas kepolisian, malam ini juga kamu harus ikut dia.”
“Loh… memangnya kenapa?” tanya Frenda dengan raut wajah kebingungan.
“Kamu nggak baca yah, pengumuman yang terpasang hampir di seluruh penjuru kampus. Kamu tercatat sebagai salah satu dalang perkelahian di kampus UMI siang tadi.” Ucap Pak Subagya.
“Tapi Pak….” Frenda tidak mampu meneruskan ucapannya, lantaran sepasang borgol besi telah melingkar di tangannya. Bersamaan dengan seretan petugas yang tiba-tiba berhamburan dari balik mobil patroli.
Frenda akhirnya terdiam, menatap teman-teman sekostrnya yang melambai penuh selidik. Di benaknya terbayang coretan kanvas yang selama dua hari menjadi kawan baginya.
“Pak, kesalahan saya apa?”
“Eh… gadis bodoh. Sebaiknya kamu diam saja!” seru salah seorang petugas.
“Sebentar lagi kamu akan tahu sendiri.” Ucap petugas yang lain.
Mobil patroli yang mengantar perjalanan Frenda bersama para petugas akhirnya tiba pada sebuah gedung yang tidak begitu luas. Namun mengeluarkan aroma kegersangan dan keserakahan serta menampakkan kesan penggadaian hukum.
“Kok kantor polisinya ramai bangat. Eh… itukan Rudi, Dandi, dan Iwan! Mengapa semua kawan-kawanku ada di sini? Ini bukan mimpikan!” Frenda semakin kebingungan.
“Kamu kenal dia?” Tanya petugas yang berbadan agak besar.
“Iya, Pak. Tapi apa salah mereka?”
“Kamu jangan pura-pura tidak tahu. Saat terjadi demonstrasi menentang militerisme siang tadi, merekalah yang menjadi dalangnya termasuk kamu. Iyakan?” kini giliran petugas yang berpostur jangkung memamerkan suaranya.
“Oh yah, apa Bapak punya bukti.” Tantang Frenda dengan suara agak meninggi dan disusul dengan langkah kakinya yang seakan-akan menentang keputusan yang terkesan menuduh.
“Duduk… duduk!” seru petugas, yang sedari tadi mengintrogasi mereka.
“Siapa yang menyuruh kalian?”
Frenda terdiam, sementara Dandi, Rudi dan Iwan masih sibuk mengurusi luka di kepala dan punggungnya yang masih terus mengalirkan darah segar.
“Memangnya kalian dibayar berapa?”
“Jangan sembarangan, Pak.” Protes Frenda.
“Mungkin pertanyaan itu lebih pantas untuk aku tanyakan kepada bapak-bapak polisi yang aku hormati.” Kini Dandi mulai angkat bicara.
Ternyata ucapan Dandi dibalas dengan tendangan bertubi-tubi dari petugas yang berbadan besar itu, disusul dengan seretan yang menggiring kami ke sangkar besi. Di sana kudapati sekitar Dua puluh kawanku dengan kondisi berlumuran darah. Kusapa mereka satu-persatu untuk mengalirkan semangat jihad di dada mereka. Kuusap darah yang mengering di dahinya dengan sapu tangan biru. Hatiku menangis melihat kepala kawan-kawanku yang terus mengucurkan darah segar.
“Senapan dan laras itu yang kelak akan memusnahkanmu!” seru Frenda dengan suara lantang.
Ingin rasanya Frenda meraih tangan yang telah memukuli kawan-kawannya, kemudian mematahkan tangan itu dan mengamputasi kaki mereka agar tidak ada lagi kaki-kaki berlaras yang menginjak idealisme yang diperjuangkan mahasiswa. Selang beberapa waktu, terdengar suara bentakan lagi, namun kali ini bentakan itu adalah seruan kebebasan karena memang Aku, Dandi, Rudi, dan Iwan beserta kawan-kawanku yang lain tidak bersalah. Entah siapa yang masih memiliki ketajamn rohani, sehingga tetap dapat memilah sebuah kebenaran yang terkubur ambisi.
***
Seminggu telah berlalu, namun peristiwa itu tidak pernah terhapus dalam benak ini. Tragedi 1 Mei 2004 yang menelan banyak korban, hanya karena perjuangan sebuah kemestian. Namun semua ini kuanggap mimpi buruk yang tak kuharap hadir kembali.
Jam dinding berdetak semakin cepat di antara detik-detik jarumnya. Kuamati lukisan di hadapanku, semakin hari lukisan itu semakin jelas. Inspirasi mengayunkan tanganku untuk melukis sepasang jari yang tak berkuku.
“Kok seram bangat!” seru Isabel.
“Itulah bahasa hatiku,” jawab Frenda.
“Coba seandainya jari manis itu dilengkapi dengan kukunya, dipolesi dengan kutek merah dan dihiasi dengan cincin permata, pasti lukisan itu akan terlihat indah,” timpal Isabel kemudian berlalu pergi.
Frenda hanya terdiam menatap lukisan itu. “Benar juga ucapan Isabel,” pikirnya. Namun perasaanya juga memberontak dan memprotes kalimat pembenaran itu.
“Tidak, aku tidak akan memperindah lukisan ini,” khayal Frenda menebis berontaknya sang batin.
Kemarin sore aku melihat, seorang buruh pabrik memikul Lima puluh kilogram beras dengan keringat bercucuran yang melukiskan beban di pundaknya tidak sepadan dengan usianya. Dengan jari manis itulah recehan mengalir di tangannya sebagai imbalan kerja keras buruh itu. Namun kudapati jari manis itu hitam dan tak terurus.
Pagi ini aku juga melihat, seorang gadis kecil melantunkan musik riang di depan mobil-mobil mewah. Dengan jari manis itu, dia memainkan alat musik dari tutup botol minuman. Saat kuamati, jari manisnya terkelupas dan nyaris tak berkuku.
“Dik, kenapa bisa begini?” tanya Frenda sambil meraih tangan mungil itu.
“Suatu hari ibuku sakit dan perutku sangat lapar, aku tidak punya uang, kemudian aku putuskan untuk mengamen. Tetapi saat uangku telah terkumpul, mereka merampas tanpa sisa. Aku mencoba melawan, namun yang kudapati tanganku terluka dan jari manisku terkelupas oleh injakannya.”
Pedih rasanya batin ini. Dan yang paling mebuatku sakit, saat kudapati jari manis adik bungsuku yang kini tak berkuku. Ketika kutanya apa yang terjadi? Ternyata luka itu karena sayatan silet mungil, untuk mendonorkan darah ke kerongkongannya karena desakan sebuah pil yang terlanjur bersarang di tubuhnya.
“Tuhan…seseram inikah wajah bangsaku?” teriak Frenda dengan batin yang berontak. Namun dia tidak dapat berbuat banyak karena dia hanyalah seorang rakyat kecil.
Sebelum beranjak pergi, Frenda menatap lukisan itu, kembali dia teringat ucapan Isabel . Mungkin memang sebaiknya lukisan jari manis tak berkuku ini, kulengkapi dengan kukunya, kupolesi dengan kutek merah dan kusemayamkan cincin permata. Tetapi itu kuharapkan dilakukan oleh orang lain yang mau berjanji dan sanggup menunaikan janjinya. Dan orang itu yang kelak kusebut khalifah.