« Home | LUKISAN JEMARI TAK BERKUKU (Sebuah Cerpan) » | DIALOG DUA HATI » | Istikhfar ( sebuah Puisi) » | Perempuan Mencinta (Sebuah Puisi) » | Lelaki Kecilku ( Sebuah Puisi) » | Kegelisahan (Sebuah Puisi) » | Kecapi Tak Berdawai ( Sebuah Puisi) » | RINDU KEBISUAN ( Sebuah Prosa Liris) » | HIDUP RINDU KEKASIH ( Sebuah Prosa Liris) » | TUHAN BERBISIK (Sebuah Puisi) »

BULAN SEPEREMPAT (Sebuah Cerpen)

By : Art 02

Sekar adalah seorang perempuan yang harus tunduk pada tradisi yang terbangun dikeluarganya. Di usianya yang ke sembilan belas ia harus menikah dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, karena adanya perjanjian primordial sang ayah. Inilah awal pemberontakannya, sebab Sekar ingin berusaha menerobos gerbang tradisi yang menurutnya tidak relevan lagi.
“Ayah izinkan aku tetap berkuliah, aku belum mau menikah akan; kubuktikan padamu, Yah, bahwa anak perempuan juga harus berkuliah. Dan tidak akan ada musibah jika anak perempuanmu terlambat menikah”. Inilah ucapan terakhir Sekar sebelum beranjak meninggalkan rumah mewahnya.
***
Pagi yang cerah mengiringi gayuhan sepeda Sekar yang lagi menjajakkan Koran. Ia kini sebatang kara sejak terusir dari rumahnya karena menolak perjodohan sepihak dan tetap memilih berkuliah. Ia harus berjuang mengumpulkan kepingan demi kepingan untuk biaya kuliahnya yang sebentar lagi selesai.
“Nak Sekar, kok agak telat nggak kuliah yah pagi ini ?” sapa pak Dirman salah seorang pelanggannya.
“Inikan hari minggu, Pak!”
“Oh yah, bapak sampai lupa, maklum Nak bapak inikan sudah pikun,” sanggah pak Dirman agak malu-malu.
“Tak apalah pak, aku pamit yah! Assalamualaikum”.
Di tengah perjalanan pulang ke rumah kostnya, pikiran Sekar diselimuti oleh bayangan Pak Sudirman. Kalau nggak salah ayah sekarang sudah seusia pak Dirman, bagaimana kabar ayah saat ini? Apakah ayah masih marah padaku, hanya karena aku tak mau menuruti kehendaknya. Layaknya Shinta adikku yang sekarang menjadi seorang pelatih sanggar tari ANDHIKA asuhan ayah bersama suaminya. Dan kak Zohra yang harus menikah dengan uztads Imran seorang imam mesjid di desaku.
Tiba-tiba saja khayalan Sekar buyar seketika mendengar teriakan seseorang memanggil namanya.
“Sekar ada kabar baik nih!!”
“kabar baik apaan sih, Rangga?” tanya Sekar.
“Ad…da aja!, tapi aku mau nyampein kabar buruk dulu.”
“Apa-apaan sih!” seru Sekar tambah penasaran.
“Mau tahu yah. Kabar buruknya, kamu bakalan kehabisan dana buat traktir teman-teman. Kabar baiknya karya tulis ilmiah kamu menang dan katanya, bapak Rektor ingin sekali bertemu orang tua kamu. Soalnya penyerahan hadiah dan tropi dari Rektor wajib dihadiri oleh orang tua para pemenang. Lagian selama ini kanyaknya orang tua kamu nggak pernah kunjungin kamu, iya khan ?” tanya Rangga (sambil menyambung nafasnya yang hamper putus karena terlalu banyak berceloteh).
“Lho kok, kamu ini bukannya bahagia, malah diam saja!?! Kamu sakit yach?” lanjutnya.
“Sorry Ra, makasi yah, tapi aku juga nggak tahu harus berbuat apa (dalam senyumnya ia berusaha menahan air matanya agar tak menetes, soalnya Sekar pantang bangat ketahuan kalau dia lagi nangis).
“Kamu tahu sendiri khan ibuku sudah meninggal dan ayahku itu orangnya super sibuk, jadi aku yakin deh Ia nggak bakalan datang.” jawabnya pada temannya.
Sekar lalu terdiam dan suasana menjadi hening.
“Sekar sudah deh, kamu jangan berpura-pura lagi! Aku tahu selama ini kamu sangat tegar. Kamu ceria seolah-olah kamu adalah orang yang paling bahagia. Maaf Sekar, kemarin saat aku ke rumahmu aku nggak sengaja membaca biografi singkatmu yang tertulis dalam buku diarymu, dan ternyata perjalanan hidupmu tidak sebahagia yang kubayangkan.”
“Rangga sekarang semuanya telah kamu tahu, aku terlanjur terusir dari hangatnya berkumpul bersama keluarga. Ayahku selalu merendahkan aku karena aku anak yang tomboy. Tidak seperti adikku Shinta yang sangat anggun dengan rambut ikalnya yang panjang, terurai layaknya bulan sabit yang senantiasa dipuji orang. Atau kakakku Zohra yang selalu me mancarkan cahaya kelembutan dibalik kerudung panjangnya, layaknya bulan purnama. Ra, kata ayah tak ada yang dapat dibanggakan dari diriku, sehingga aku sering berpikir mengapa bulan sabit dan bulan purnama selalu sangat disayangi dan bahkan tak direlakan untuk pergi, tapi sang bulan seperempat dibiarkan berlalu begitu saja, tanpa senyuman dan sapaan.” Keluhnya berusaha dikatakan pada temannya.
“Sekar, bagiku bulan sabit, bulan seperempat, dan bulan purnama pasti memiliki kelebihan masing-masing. Sungguh picik seseorang jika kadar ke sempurnaan hanya dilihat dari kecantikan luarnya. Dan jika kesucian hanya ditentukan karena identitas busananya. Kalau boleh aku memilih, aku lebih menghargai bulan seperempat yang dengan tegarnya meniti sebuah perjalanan menuju kesempurnaan. Aku lebih menghargai orang yang berpenampilan sederhana, tetapi kata yang ia ucapkan seiring dengan perbuatanya. Sudahlah Sekar aku yakin ayah kamu pasti memaafkanmu, karena sekejam-kejamnya sang ayah, setitik harapan dan keberkahan pasti tersedia untuk anak-anaknya, berusahalah.” Nasehat Rangga berusaha menghibur.
“Thank you very much!”
“You are well come, oh yach..!! Kamu tambah manis deh dengan jubah itu.” Puji temannya pada Sekar yang sementara mengenakan jubah warna Biru langit.