Pendar Rindu Rena
“Rena, tak bisakah setitik ruang hatimu kau sisakan untukku? Aku mencintaimu….”
Kadang kebimbangan hadir, menyapa lewat hendakan jendela. Mengirimkan kabar kebisuan, sehening gemerisik daun oleh hembusan angin. Aku bingung dengan realita, kenapa rasa kadangkala membuat manusia terpenjara dalam kebodohan. Aku telah mencoba lepas darinya…ingin lari sekencang mungkin atau larut bersama rinai hujan. Namun aku tak sanggup, semakin aku mencoba menghindarinya, semakin rasa itu mendera. Padahal rasa itu tak boleh kubiarkan berkecambah dalam hatiku, sebab kutahu tempatnya bukan di sana . Ada istana hati yang lain mengunggu benih itu tumbuh, berbunga dan berbuah. Aku resah! Hingga malam berjelaga, mataku enggan terpejam. Mungkin karena rindu atau mungkin juga karena aku mulai dibodohi rasa. Entahlah!!!!padahal sudah berkali-kali aku katakan persetan dengan rasa…persetan dengan Cinta, bahkan kadang aku berpikir manusia tak seharusnya mengaku mencinta karena tak ada yang mampu merealisasikannya hingga materi melebur bersama ego.
“Aku … aku… apakah aku memang bodoh?”
Tak ada jawaban, hening berbisik bersama suara winamp yang setia menemaniku.
“Ayo jawab… apakah aku memang bodoh?”
Kudengar retak dinding kamarku. Apakah suaraku terlalu keras, ataukah malam yang terlalu hening hingga bisikpun tak mampu ia sembunyikan?
“Bisakah malam ini kau beri aku jawab? Hingga tak perlu kutunggu esok yang mungkin tak menyisakan jawab.”
Kali ini desahan malam membuaiku. Tetapi aku telah kepalang tanggung, malam ini juga kepastian harus terkabar buatnya. Aku tak bisa terus-terusan begini, benar-benar tidak produktif. Jangan sampai virus pergerakan berwujud rasa sungguh telah mewabah dalam diriku. Buktinya, satu karyapun akhir-akhir ini tak mampu kutorehkan, bahkan sebait puisi hanya mampu kutuntaskan dalam pahamanku. Realitasnya nol besar.
“Bagaimana bisa jawab menghampirimu, sementara engkau hanya duduk terdiam tak berani bertanya apalagi menjempuat jawab!” entah darimana datangnya suara ini.
“STOP! Siapa bilang aku hanya diam, tidakkah kau lihat lantai-lantai ini sampai bosan tergilas injakan kakiku? Tidakkah kau dengar ocehan tirai-tirai jendelaku yang kedinginan karena sedari tadi kubiarkan tertiup angin? Tidakkah… ? akh, sudahlah! Aku yakin kau tak bisa mengerti!”
“Aku tak tahu, siapa yang tidak mengerti. Seandainya sedari tadi kau benar-benar ingin jalan keluar, niscaya akan kau dapatkan. Kau tidak perlu resah, bimbang, bingung dan mencaci maki diri sendiri. Awalnya kau sendiri yang coba bermain api, setelah terbakar mengapa kau tak mencoba memadamkannya dengan kejernihan pikiran. INGAT!!! Api tak mungkin bisa padam dengan api, kamu pasti tahu yang dapat memadamkan api adalah air. Ngerti nggak?”
Aku tersentak, siapa gerangan yang berani menghardikku malam-malam begini! Aku mencoba tak peduli. Kurebahkan punggungku di atas sofa, kuseruput secangkir teh yang tinggal menyisakan dingin. Kutenangkan pikiran lewat lagu-lagu yang bersenandung dari speaker komputer. Benar-benar malam tak bersahabat.
Ass” aq tlah menemukn tlng rusukku! Dinda, dia ada dlm dirimu. Bagaimana mungkin kamu menghlangiku untuk menjmputnya?
Pesan singkat ini mengangetkanku!081342002xxx nomor yang selalu menerorku. Harus kujawab apa? Lelaki ini tak menyisakan sedetikpun waktu untukku berpikir. Tidakkah dia tahu, malam ini dia telah menyiksaku. Kalau mungkin boleh aku katakan malam ini dia telah membunuhku, menjadikan jasadku mumi dalam peti mati. Meski begitu, aku tak bisa membencinya. Sengaja aku tak membalas pesan itu. Toh esok semuanya akan jelas. Aku menyayanginya, tetapi sekeping tulang rusuknya yang hilang tak pernah aku sembunyikan. Aku mencintainya, tetapi tak mungkin raga dan hatiku kuserahkan untuknya. Semua sudah terlambat! Andai kata-kata ini tak menyakitinya….akh!!!!
***
“Rena….” Lelaki itu memanggilku.
Aku menoleh ke arahnya.
“Lupakan apapun ucapanku yang kemarin! Aku hanya bercanda… nggak mungkinlah orang sepertiku mengungkapkan cinta. Aku seorang aktivis kiri, apa kata dunia kalau mereka tahu aku mengungkapkan cinta pada seorang gadis sepertimu?”
Kutatap matanya, dia berusaha menunduk, pandangannya berpendar pada tumpukan tanah. Aku mencari celah kebenaran ucapannya lewat aura mukanya. Detik berikutnya, kutemukan dia berusaha membohongi kata hatinya. Ada hal lain yang terselip rapi dalam tatapannya.
Aku tersenyum, “Baru kali ini kekalahan jelas terlihat pada dirimu!Deny, masihkah engkau Deny yang dulu kukenal? Kawan tempatku berbagi dan membincang tentang negara impian kita. Tanpa penindasan, tanpa kemiskinan apalagi busung lapar. Dimana Ahmad Dinejad dan Chaves mewujud di dalamnya. Mengapa hari ini kau tak lebih dari seorang pecundang yang mengaku kalah sebelum menarik pedang dari sarungnya. Tidak… jangan bohongi kata hatimu!”
“Revolusi beda dengan masalah cinta, Rena! Jangan paksa aku!”
“Justru, revolusi tanpa cinta akan melahirkan manusia-manusia robot. Berbuat tanpa hati, berkata tanpa akal.”
Lelaki itu terdiam.
Sejenak ,”Rena, maafkan aku. Mungkin aku memang pecundang. Semalam aku telah menyakiti hati seorang gadis. Rara… gadis itu bernama Rara. Aku telah menganggapnya sebagai saudara. Aku berusaha menyayanginya karena aku prihatin dengan kebiasaannya mengepulkan asap rokok dengan minuman beralkohol. Kuikuti apa maunya selama ini, rasa sayangku padanya layaknya seorang kakak dengan adiknya. Tetapi ternyata semua perhatianku ditanggapi lain olehnya. Dia mengungkapkan sukanya padaku dan mengancam akan berbuat nekat jika aku tak menerimanya. Ren, apa yang harus aku lakukan. Aku sebenarnya tak mencintai dia!”
Aku menarik nafas dalam-dalam, ternyata pendar duka itu yang membuatnya bingung. “Maafkan aku… aku tak bisa lakukan apa-apa untukmu. Sebenarnya sudah lama aku mengetahui hal itu, tapi sengaja tak kuungkapkan padamu. Aku takut kau tersinggung dan marah!”
“Rena, aku sayang padamu….”
“Aku juga, Den.”
“Maukah kamu menjadi pendamping hidupku.”
“Biarkanlah waktu yang akan menjawabnya, aku berharap kau tetap menemaninya, membimbingnya dan jemput dia kelak saat kau telah siap untuk itu, Den!”
“Aku tak percaya pada waktu, aku tak ingin menunggu jawaban waktu!”
Aku bingung harus menjawab apa? Lagi-lagi aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.
“Rena, kenapa kau tak menjawabku? Bukankah kau menjanjikanku hari ini?”
Aku menatapnya, benarkah dia mengharapkan jawaban ini? Ataukah semua hanya skenarionya untuk mengerjaiku! Dengan nada yang berat, kutarik nafas dalam-dalam lantas kulafazkan basmalah!
“Aku tak bisa, Den………”