« Home | Seruling Malam III ( Sebuah Puisi ) » | Pena Berduri ( Sebuah Puisi ) » | Perawan Desa ( Sebuah Puisi ) » | gadis tepi pantai (Sebuah Puisi) » | PENGKHIANATAN JANJI (Sebuah Puisi) » | INSTRUMEN HATI ( Sebuah Puisi ) » | TUBUH TAK BERBADAN (Sebuah Puisi) » | BERITA UNTUK SAHABAT ( Sebuah Puisi ) » | SEKEPING HATI TERTAMBAT ( Sebuah Puisi ) » | SEKEPING HATI TERBELAH ( Sebuah Puisi ) »

RUMAH PANGGUNG ( sebuah Cerpen )

By : Art 02

Pukul 21.00 WITA, kutelusuri sebuah gang kecil menuju pondokanku yang baru. Sudah hampir seminggu aku mendiami pondokan itu. Penghuninya kebanyakan mahasiswa kelas rendahan seperti aku. Dan hampir seminggu pula aku melintasi gang ini, namun keterasingan yang kurasa belum juga sirna. Aku juga tak tahu, mengapa lingkungan yang baru ini terkesan sangat tak bersahabat. Padahal sudahku coba menjalin keakraban dengan beberapa tetangga terdekatku. Bahkan setiap aku pulang kampung tak lupa kubagikan oleh-oleh buat mereka. Tetapi hingga detik ini kurasa itu sia-sia saja. Setiap malam yang dapat aku saksikan saat aku pulang kerja adalah pemandangan yang sama. Yaitu sekelompok pemuda sedang asyik bercanda disertai dengan beberapa botol minuman beralkohol. Jika pagi telah tiba alunan musik dangdut yang saling bertalu terdengar begitu keras dari sound syistem penghuni rumah semi permanen yang memadati sepanjang gang itu.
Aku seringkali berpikir, mungkin suatu saat kawasan ini akan tergusur juga oleh dinas keindahan kota, sebagaimana yang sering aku saksikan di layar TV. Tetapi untuk saat ini aku berdoa semoga hal itu tidak terjadi, karena bagiku inilah satu-satunya tempat yang strategis untuk menghemat dana transpor antara rumah, kampus dan tempatku bekerja. Bersyukurlah, saat ini semuanya bisa kujangkau dengan jalan kaki, mengingat harga BBM semakin membukit, dan otomatis hal itu berpengaruh terhadap naiknya tarif angkot. Sehingga aku yang terlanjur dimiskinkan oleh yang mengaku kaya menjadi semakin tercekik.
Pernah suatu ketika, ada seorang teman yang menawarkan aku untuk pindah ketempat kost-kostannya yang terletak pada salah satu kawasan real estate. Namun aku tetap memilih disini karena menurutku aku ke kota metropolitan bukan untuk rekreasi tetapi kuliah!!! Orang tuaku di kampung yang nota bene adalah pedagang kaki lima pasti tidak akan sanggup mendanai keperluan yang terkesan hedonis, jika aku memilih itu. Cukuplah aku bisa dikuliahkan dan urusan hura-hura sebaiknya dilupakan dulu. Rumahku saat ini terdiri dari beberapa kamar yang saling berhadapan atau lebih dikenal dengan sapaan pondokan. Ia berada di sudut gang dan diapit oleh rumah-rumah kost yang lain beserta rumah penduduk setempat.
Satu hal yang masih menjadi tanda tanya dibenakku, setiap kali aku berdiri di jendela kamarku adalah mitos rumah panggung yang menjadi buah bibir penduduk setempat. Rumah itu berdiri tegak tak jauh dari jendela kamarku, sehingga setiap kali aku membuka tirai jendela, pemandangan pertama yang menusuk mataku adalah rumah panggung itu. Beberapa kali penduduk pernah memperingatkanku agar berhati-hati dengan rumah panggung tersebut, namun aku tak memberikan tanggapan apa-apa karena menurutku rumah itu tampak biasa saja. Tak ada kesan menakutkan apalagi mesti harus kujahui. Kalau sudah begini aku lebih memilih diam, setiap kali nada-nada sumbang itu kudengar dan selanjutnya kukubur rasa lelah diantara heningnya malam yang sesekali diriuhkan oleh petikan gitar pemuda-pemuda yang ingin menghabiskan malamnya dipinggiran jalan.

***

Tak terasa ternyata malam menemaniku begitu lama. Pukul tiga dini hari aku masih tetap terjaga. Mungkin ini adalah pengaruh secangkir kopi yang kuteguk semalam, disaat mataku mulai meredup.
“Aku harus tetap terbangun karena tugas kuliahku belum selesai.” Bentakku dalam hati sebagai motivasi diri.
Menjelang adzan subuh berkumandang, kembali kugeser tirai jendela kamarku untuk menjemput cahaya benang putih dicakrawala. Namun lagi-lagi pandanganku berpendar pada rumah panggung itu. Tetapi sebagaimana biasanya, kesan yang dapat kulihat, rumah itu tampak sunyi dan gelap gulita. Kupalingkan pandanganku ke arah yang lain, dan tiba-tiba saja sekelebat cahaya lampu pijar menerangi sisi belakang rumah itu dan selanjutnya cahaya itu padam.
Mungkinkah rumah itu berpenghuni? Atau jangan-jangan ada yang ingin merampok isi rumah itu? Pikirku.
Dan seketika pikiranku tentang apa yang kusaksikan tadi menjadi buyar oleh kehadiran Pak Darmo, seorang imam mesjid di tempat itu.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya.
“Wa’alaikum salam,” jawabku sambil melangkah ke arah sumber suara.
“Bagaimana kabarmu, Nak? Apa kamu betah tinggal di tempat ini?” tanyanya.
Aku tersenyum karena kukira dia akan mengajakku shalat subuh berjama’ah, tetapi ternyata shalat subuh telah usai mereka laksanakan. Aku baru tersadar bahwa sedari tadi waktuku begitu banyak terkuras oleh peristiwa rumah panggung tadi. Sampai-sampai adzan subuh tak sempat kudengar. Astaghfirullah .
“Kamu baik- baik saja?” lanjutnya, sambil menatap aneh ke arahku.
“Iy… iya, Pak!” jawabku dengan nada terkejud.
“Kalau begitu bapak pamit dulu. Oh yah, pukul delapan nanti penduduk akan mengadakan kerja bakti untuk membersihkan selokan, dan tumpukan sampah di pojok sana.” Ucap Pak Darmo, sambil menunjuk tumpukan sampah yang berada di ujung lorong. Setelah itu dia bergegas pergi.
Kuhirup udara pagi dalam-dalam, dan segera menghampiri keran air di belakang rumahku untuk berwudhu sebelum subuh benar-benar berlalu dan kutambatkan diriku di telapak Tuhan.

***
“Kak, jangan dekat-dekat rumah itu,” ucap seorang anak kecil saat kakiku telah berpijak di bawah kolong rumah panggung tersebut.
Aku terdiam sejenak.
“Hei… sobat!!! Sebaiknya kamu istirahat saja.” Teriak penduduk yang lain.
Kucoba memalingkan wajah, untuk menghindri bau tak sedap dari aroma air selokan dan kuperhatikan disekelilingku. Ternyata semuanya sudah bersih, kecuali halaman rumah panggung ini. Satu persatu penduduk memasuki atapnya masing-masing. Sementara sebagaian yang lain mulai menjalankan aktivitas rutinnya seperti menggayuh becak dan menjajakkan kue-kue kecil.
Dengan agak berat, kulangkahkan kakiku untuk kembali ke pondokanku juga, istirahat dan bersiap-siap ke toko MEBEL ABADI tempatku bekerja.

***
Hari ini, aku harus kerja lembur. Ada pasokan barang yang baru tiba malam tadi. Aku sangat lelah, langkahku kubiarkan lambat dan sesekali mataku menoleh pada sekelompok pemuda yang lagi-lagi dimabukkan oleh alkohol. Aku berusaha untuk tidak memperdulikan mereka, karena mereka sudah tak bisa lagi diingatkan. Telinga mereka sudah tuli dan hati mereka telah mati. Yang dapat aku rasa, malam ini ternyata udara begitu dingin dan memaksa aku untuk menyalakan sebatang rokok agar dapat menghela kebekuan malam. Aku terus berjalan, sesekali kuperhatikan kepulan asap rokokku yang membentuk lingkaran asap. Tanpa kusadari ternyata aku sudah berada tidak jauh dari rumah panggung itu. Ini berarti sebentar lagi pondokanku akan kucapai. Kupercepat langkahku agar dapat cepat tiba di pondokku, tetapi tiba-tiba langkahku terhenti saat kusaksikan lagi tebaran cahaya lampu pijar di rumah panggung itu. Aku terpaksa menghentikan langkah dan kulirik seiko dipergelangan tanganku. PUKUL 01.00 DINI HARI!!!!
“Siapa sebenarnya yang menyalakan lampu pijar itu? Bukankan rumah ini tak berpenghuni!” ucapku setengah berbisik.
Entah kekuatan apa yang menstimulus keberanianku, sehingga tanpa sadar aku telah berdiri di atas beranda rumah itu. Kubuka perlahan-lahan daun pintunya. Dengan dada berdebar kulangkahkan kakiku ke dalamnya dan aku sangat terkejut. Saat sebatang korek api kunyalakan dan kudapati beberapa helai kain putih menutupi perabot-perabot yang ada di dalam rumah ini. Dan yang paling membuat aku terkejut, ketika kulangkahkan kakiku menuju cahaya lampu pijar yang kulihat tadi dan kudapati beberapa macam makanan untuk sesajen yang dihiasi dengan lilin-lilin merah. Sesaat tenggorokanku terasa sesak oleh kepulan asap dupa yang terperangkap dalam ruangan itu.



Makassar, 13 November 2005